Senin, 19 Maret 2012

Wangi Apel, Perapian, dan Musim Semi

Sudah memasuki pukul 7 malam, namun cuaca masih terang benderang. Di saat musim panas atau musim semi, memang siang hari terasa lebih panjang di sini. Akan tetapi, cuaca malam hari tetaplah dingin. Kepulan uap keluar dari mulutku saat aku menghembuskan nafas sambil menggosokkan kedua tanganku untuk menghangatkan diri. Aku berhenti di depan sebuah rumah bergaya khas. Rumah dengan lantai kayu yang dilengkapi dengan tangga menuju pintu depannya, mengingatkanku akan sebuah rumah yang dulu sering kusinggahi, rumah dari seseorang yang  kusayangi, teman masa kecilku yang sekarang telah menjalani kehidupan barunya. Rumah ini cukup besar,  berlantai dua, berdinding  warna abu-abu, berdaun jendela merah tua, atap dan tiang penyangganya berwarna putih, serta memiliki cerobong asap cukup besar. Rumah yang terlihat nyaman dan hangat untuk melarikan diri dari udara malam tak bersahabat. Aku merasa beruntung bisa tinggal di rumah ini. Saat kedatanganku ke negara ini setahun yang lalu, nasib membawaku untuk bertemu dengan seorang teman lama yang kebetulan juga melanjutkan sekolah musiknya di sini, hanya saja dia telah lebih dulu lama datang ke negara ini, dan kini dia tinggal bersama istrinya. Mereka berbaik hati mengizinkanku tinggal bersama mereka, memberiku sebuah kamar besar di lantai dua, dan menjadikanku bagian dari keluarga mereka.


Aku memasuki pintu depan dan melepaskan baju hangatku. Tidak terdengar suara siapa pun dari dalam. Biasanya, jam-jam seperti ini mereka sedang mempersiapkan makan malam di dapur. Mungkin mereka masih di luar atau Argi, nama temanku itu, masih sibuk di kampusnya, dan sang istri menunggu di sebuah restoran kecil yang khusus menjual pasta yang terletak di depan kampus kami. Mereka sering melakukan ritual tersebut. Sebuah rutinitas yang manis dari sepasang anak manusia, kembali mengingatkanku akan hal-hal yang telah berusaha kulupakan. Apakah di sana dia juga sebahagia Argi dan istrinya di sini?

Melepas lelah, kurebahkan badanku di atas sofa empuk berwarna hijau toska di ruang tengah yang memiliki tungku perapian. Ketika hampir terlelap, aku mendengar suara langkah kaki masuk diiringin suara canda tawa. Aku menyunggingkan senyum mengetahui siapa yang datang, ingin kupejamkan lagi mataku, namun tergagalkan karena mendengar namaku dipanggil.

“Hai, Da! Sudah pulang rupanya?” Argi menyapaku.

“Kebetulan sekali, kami baru saja membeli bahanan makanan untuk makan malam, dan guess what? Malam ini kita akan makan masakan Indonesia.” Echi melanjutkan.

Aku berdiri dan menghampiri mereka.

“Dari mana kalian mendapatkan semua bahan ini? Chinatown?”

Yes, kupikir akan sempat memasak opor ayam dan sup tofu untuk makan malam.” Jawab Echi.

“Ya, aku rindu makanan-makanan rumah. Masakan malam ini akan semakin membuatku ingin pulang.” Aku bersungut-sungut.

Argi tertawa dan memegang bahuku.

“Lalu, apa yang masih menghalangimu untuk pulang? Kau kesulitan membawa terompetmu?” Candanya.

“Aku belum ingin pulang, itu saja, entah mengapa.” Jawabku.

Afraid about something, aren’t you?”

“Hei, apa maksudmu?” Aku menjawab sambil mengalihkan pandangan, namun kemudian menjawab:
“Ya, mungkin benar katamu.”

Echi memandangi kami sambil terus membereskan meja makan. Dia menghampiri kami berdua.

“Sekarang, bersihkanlah diri kalian, lalu kembali ke dapur ini saat kupanggil.”

“Baiklah.” Jawab Argi.

Aku mendahului langkah menuju kamarku di lantai dua. Masih mendengar tawa Argi atas celetukan Echi yang menegurnya karena telah menggodaku. Aku memasuki kamar disambut dengan wangi apel dari pengharum ruangan yang bercampur dengan bau masakan dari lantai bawah. Kututup pintu dan memandang ke arah meja di ujung kamar. Kudekati meja itu dan membuka layar laptop yang ada di atasnya, sebuah tanda di kiri bawah layar berkedip-kedip menunjukkan ada satu e-mail baru masuk.

Hi, uncle Eda. Good night.  How are you there? Here, I enclose some photos of mine. Hope you like it J

Kuunduh beberapa foto yang dikirimkan dalam e-mail tersebut, kuputar sebagai slideshow, dan kulihat paras ceria gadis kecil berumur 3 bulan yang memanggilku Uncle tadi. Tentu saja, ini perbuatan ibunya. Tak mungkin seorang bayi terbangun di tengah malam dan mengirim e-mail.  Aku tertawa. Ya, sudah tengah malam di Indonesia. Anak ini cantik, secantik ibunya. Dan dia memiliki tatapan yang tegas, mungkin seperti ayahnya. Aku berjalan membuka jendela, melihat beberapa kuntum bunga baru mulai bermunculan, mungkin esok siang akan mekar. Tersenyum kuingat wajah mungil dalam foto-foto tadi, kehembuskan nafas dengan kencang, lalu berbalik berniat segera membersihkan diri. Ya, sebelum pasangan itu marah-marah menungguku dengan kelaparan, sebaiknya aku segera bersiap makan malam. E-mail itu adalah sebuah “kado” yang membuat lelahku lenyap terbawa malam. Nisya selalu mengingatku, aku tak perlu khawatir. Memang sekarang dia menjalani kehidupan yang lebih kompleks dan baru, begitupun aku. Tapi, tak masalah selama kami masih saling mengingat dan merindukan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar