Sabtu, 31 Maret 2012

Lebih dari Sekadar Kata

Bagaimana malammu di sana?

Baik, tapi tidak pernah sebaik saat denganmu.

Bahagia?

Selama aku “merasakanmu”.

Kapan pulang? Hahaha, aku bercanda. Bahkan, kau baru pergi dua bulan.

Atau kapan kau ke Middlesbrough?

Maaf, aku belum bisa.

Last message received at 11.17  P.M

BUZZ!!!

Ya?

Kau memikirkan sesuatu? Nadia?

Tidak. Mungkin sudah waktunya tidur. Besok aku harus bekerja.

Ok.

Nite, Eda. Have a nice dream.

You too. I miss U, Nad.

Tak ada jawaban. Entah dia sudah tertidur, entah dia memang memikirkan sesuatu. Hal yang kutau, dia berbeda malam ini. Entah dia lelah hari ini, entah dia mulai ragu. Sudah cukup lama tanpanya. Dan belum ada satu hari pun kami lalui bersama sejak terakhir aku melihatnya, saat dia pergi ke kota itu. Mungkin sebuah perbedaan yang terlalu drastis baginya, bagiku juga tentu saja. Saat kami terbiasa bersama, namun tiba-tiba harus berjauh-jauhan. Kami telah memilih, dan pilihan memiliki risiko. Harusnya dia pun telah bersiap akan hal-hal, seperti kejenuhan, kerinduan yang tak terpuaskan, atau keharusan memberiku kabar padahal dia sedang tak ingin. Memang akan ada masa ini. Aku tahu dia tak berhenti mencintaiku, namun pasti ada hal yang lebih harus diprioritaskan.

Kuingat. Sebuah janji pada seseorang di masa lalu bahwa suatu hari kami akan bertemu kembali dengan membawa kebahagiaan kami masing-masing. Aku memulai sisi hidupku yang lain dan berharap bahagia itu akan datang. Namun kenyataan tak selalu datang sesuai dengan harapan, atau tepatnya tak semudah berharap.  Tak bisa membiarkan kau terbebani, Nad. Aku akan mengambil langkah.

Kubuka e-mail dan membuka kotak untuk mengirimkan pesan baru. Semoga dia di sana akan membaca pesan ini saat dia bangun tidur, tentu saja karena saat ini sudah dini hari menjelang pagi di sana.

Selamat pagi, Nona Penulis. Bagaimana kabarmu? Ryry? Nisya kecil-ku?
Oh baiklah, aku sedang tidak ingin berbasa-basi. Maaf bila mengganggumu dengan bebanku. Aku berharap kau segera membalas pesan ini. Apakah kau pikir aku akan gagal (lagi)? Aku menginginkannya, dan butuh dirinya. Hanya saja, kata cinta memang tidak pernah cukup, setidaknya untuk keadaan kami saat ini. Nisya, bolehkah aku kembali? Ke Indonesia, dan mungkin menemuimu?

Warm regrads from London


Eda

Jumat, 30 Maret 2012

Middlesbrough

Aku duduk tertunduk dengan masih meremas amplop di tanganku. Sempat kulirik dia yang juga duduk, di sebelahku. Bibirnya tampak terpilin-pilin, jelas sedang mempertimbangkan sesuatu. Sementara aku, pun tidak bias tenang di sini. Berulang kali kubolak-balik kertas yang kekeluarkan dari dalam amplop. Sebuah berita, seharusnya memang membahagiakan, namun tidak sepenuhnya membahagiakan bila dalam posisi saat ini. Middlesbrough. Haruskah aku ke sana. Surat ini memberitakan bahwa aku menerima sebuah tawaran besar untuk menjadi seorang penulis naskah di sebuah kantor berita di sana. Mereka melihat tulisan-tulisanku yang termuat di halaman sebuah surat kabar terkenal di negara ini. Lalu, melalui redaksi mereka berhasil menghubungiku melalui surat ini.

“Middlesbrough?” Dia bergumam sendiri.

“Sebenarnya tidak jauh, ya tidak jauh, tentu saja. Bisa di tempuh beberapa jam dari sini.” Lanjutnya.

“Ya, tidak jauh. Andai saja aku tak mengenalmu saat ini, mungkin segalanya lebih mudah.” Jawabku.

“Jadi, aku mempersulit?”

“Kau pikir ini bukan keputusan yang sulit?”

“Lalu, aku harus berpura-pura, berkata ‘pergilah, aku tidak apa-apa’?”

“Dapatkah kita bersikap seolah semua akan baik-baik saja?”

“Semua akan baik-baik saja. Andai kau tidak di sini, bersamaku saat ini.” Dia mengulangi kata-kataku.

“Apa aku harus pergi?”

“Dan, mengapa kau harus takut pergi?”

“Bagaimana bila aku hanya takut kehilanganmu?” Kuberanikan diri untuk jujur.

“Kemana keberanian kita untuk mencoba? Ya, layaknya kita memulai hubungan ini.”

Penguatannya justru membuatku semakin bimbang. Impianku adalah segalanya, sejak dulu, dan aku akan meraihnya dalam tekadku. Hanya saja, sejak kukenal dia, dirinya telah menjadi bagian lain dari impianku. Mungkin bodoh bila melewatkan kesempatan. Kulayangkan pandangan ke arah perapian yang tak menyala. Dia menghampiriku dan menarikku berdiri.

“Jujur aku pun akan merasakan hal yang sama bila ada di posisimu. Ini juga menjadi masalahku.” Eda berkata di hadapanku.

“Aku tahu ini klise. Tapi . . . . Please, don’t make it hard.” Lanjutnya.

I wish I can.”

“Yang membuat kita akan gagal di sini adalah keraguan, bukan perbedaan apa pun, baik itu pendapat, atau pun jarak.”

“Ayolah! Masih banyak jalan ke Roma, oh . . . Ke Middlesbrough, kuralat.” Candanya.

“Kau bias ‘menemui’-ku kapan pun kau mau.” 

Aku mengangguk walau sebenarnya tak yakin. Ya, hanya keraguan yang mungkin membuat kami gagal. Ini sangat berat, tapi aku akan menggunakan logikaku. Lagipula, tak masalah selama kami telah mengalami masa-masa, yang walau singkat, namun membahagiakan. Klise. Sangat klise. Namun, ini pilihan. Dan kami masih berdiri berhadapan di ruang tengah ini. Dengan sebuah keputusan yang sepenuhnya belum bulat. Walau aku tau ini bukan kesalahan. Tapi, Maafkan aku, Eda.

Kamis, 29 Maret 2012

Festival

Good morning, little sunshine.

Hampir saja aku berteriak kaget karena dia tiba-tiba saja berada di depan mataku saat aku bangun pagi dan hendak keluar kamar.

Selamat pagi. Kau hampir saja mematahkan hidungku bila tadi aku menabrakmu . . . .

Belum selesai aku memprotes, dia sudah mengacungkan dua lembar kertas di depan mataku.

Kejutan!

Apa itu?

Hanya dua buah tiket, tentunya.”

Dan?

London summer festival. Pertunjukkan musik di Hampton Court.

Festival ini selalu diadakan tiap tahun. Summer berikutnya, belum tentu kita di sini, atau bersama. Kau suka musik kan?” Lanjutnya.

Yeah, menjelang malam ratusan atau bahkan ribuan orang merasa hangat dan lengket, lalu bergerak bersama karena alunan musik. Mungkin britpop? Dan aku suka!

Eda membalikkan badanku dan mendorongnya pelan.

Kalau begitu, sekarang bersiap sarapan. Mereka sudah menunggu kita di ruang makan.”

Aku menemui mereka bertiga tak lama kemudian. Mangkuk besar bersama sekotak sereal dan satu pouch susu segar telah siap menantiku. Mengapa orang-orang ini tak sekali-kali menyediakan sarapan dalam bentuk makanan Indonesia? Terkadang, perutku juga merindukan nasi goreng buatan rumah. Baiklah, nikmati saja atau aku kelaparan.

Selamat pagi, Nad. Tampaknya sore ini kalian akan pergi bersama lagi?” Tanya Echi.

Oh sial, sekarang rumah ini ditinggali oleh sepasang kekasih.” Tambah Argi.

Yah, mungkin setiap hari kalian akan disuguhi drama.” Jawab Eda sambil tertawa.

Sore itu kami sudah berada tepat di depan panggung pertunjukkan musik di Hampton Court. Kepadatan pengunjung sudah tampak sejak siang, dan akan terus bertambah hingga malam. Dia terus menggengam tanganku menghindari keramaian yang memuncak. Di sisi kanan kiri venue tampak berbagai orang membentuk kumpulan dan berbicara lantang satu sama lain. Ternyata, aku makin mengenal negara ini. Makin nyaman dan terbiasa. Namun, bukan berarti selamanya aku di sini. Ada tempat yang lebih kucintai lebih dari segalanya.

Beritahu aku jika kau merasa lelah, atau haus.

Kau seperti mengajak seorang anak kecil.” Protesku.

Hingga hari beranjak gelap, kami menikmati kebersamaan dalam keramaian. Keramaian yang tetap membuat kami merasa utuh sebagai dua orang yang saling melengkapi. Malam ini, dan setiap malam saat kami berdua, selalu menjadi malam-malam terbaikku. Tiba-tiba tetesan hangat perlahan menjatuhiku, membasahi tubuh, dan meresap ke dalam pori-pori. Hujan di malam yang begitu cerah. Dia memandang ke atas langit dan kemudian melepaskan sweater-nya, meneduhi kepala kami, walau tetesan hujan masih akan membasahi. Dia menatapku dan tersenyum. Sejenak, aku merasakan gravitasi yang begitu kuat menarikku untuk tetap di sini.

“Besok masih ada pertunjukkan teater di Old Royal Naval College. Jadi, sisakan energimu untuk besok.”

Perlahan, terdengar lirik dan nada mengalun di balik hujan dan lampu-lampu pertunjukkan.

I’m not gonna lie
This feeling inside I can’t explain
I’m gonna blame it
On the summer rain . . . .
(The Jonas Brother)

Ding

Woooohhhh. Ngantuk. Kopi mana kopi. Bantal mana bantal. Kasur mana kasur. John Mayer mana John Mayer. Pacar gue mana pacar gue!!! Apa aja deh yang bisa bikin nggak ngantuk ---------------"

Rabu, 28 Maret 2012

Memulai, Kemudian Melanjutkan

Malam kesekian di musim panas. Kali ini aku duduk sendiri di Hyde Park, menunggu. Kami janji untuk bertemu setelah urusannya selesai. Kulihat sisi kanan dan kiriku, tidak terlalu ramai di sini. Udara juga sangat bersahabat, tak ada rasa dingin ataupun angin yang mengigilkan badan. Aku membenarkan ikatan rambutku, melepas syal yang kugunakan karena udara menghangat, lalu mengangkat kedua kakiku ke atas bangku kayu panjang yang kududuki. Posisi yang sangat nyaman mengingat tujuanku kesini selain menunggu juga untuk “bermain” dengan hobiku. Kebetulan teman-teman lama mengajak bertemu secara online malam ini. Aku membuka layar laptop dan tak lama pikiranku telah tenggelam dalam tulisanku, juga masih menunggu dia di sini. Sebuah sapaan muncul dalam kotak Yahoo Messanger. Salah seorang teman dekatku.

Hi, Nad. Sibuk?

Just lil bit. Aku juga sedang menunggu seseorang di sini.

Lelaki yang tinggal di dapan kamarmu itu?

Pembicaraan kami tentang dia bukanlah yang pertama. Bahkan, aku telah bercerita bagaimana dia masih setengah terpuruk dalam keinginan dan pengharapannya atas seseorang di masa lalu. Seseorang yang baginya sangat berarti. Dia tak bisa melepas semuanya semudah meniupkan tumpukan debu. Saat ini, keputusannya untuk memutar arah dan menjalani hal yang baru bersamaku mungkin hanya sebuah kesepakatan yang terlalu berani, atau terkesan sembarangan. Ya, kami hanya mencoba. Tak ada salahnya dalam kata “mencoba”. Aku pun datang dari sebuah kegagalan.

Kau berpikir dia akan menikmati hidupnya dengan cara yang kalian bentuk?

Kami tidak tahu. Tapi berusaha ke sana.

Lalu, bagaimana kalau akhirnya dia tak berhasil “pindah”?

Risiko

Kau pun belum sepenuhnya “pulih”, aku tau

Lalu, kau pikir aku salah saat ini?

Hmm, hanya terkesan seperti mencari pengalihan

Tidak. Namun, kami akan melanjutkan apa yang kami mulai

Tampaknya kau harus berpikir ulang, dan meyakinkan diri…

Aku menghela nafas berat. Senang saat beberapa orang peduli akan dirimu, tapi terkadang mereka yang peduli justru membuatmu sulit untuk mempertimbangkan suatu hal. Apa aku salah? Pikiran itu kembali mengitari otakku. Bukankah setiap orang boleh mengikuti kata hati? Aku yang mempermudah, tapi mereka memperberat. Tiba-tiba sepasang tangan memeluk pinggang dan leherku dari belakang. Panas napasnya berhembus di atas tengkukku, membuatku merasa tidak sendiri lagi.

“Berapa lama aku terlambat?” Tanya Eda.

“Tidak terlambat sampai kau sendiri yang mengingatkan.” Jawabku.

Aku berbalik dan memeluk tubuhnya erat. Mencari ketenangan atas kegelisahan yang sebelumnya tercipta.

“kita hanya beberapa jam berpisah. Begitu rindukah kau padaku?” Tanyanya mengejek.

Dengan anggukan, tanpa kata terucap dari bibirku, aku menjawab pertanyaannya. Sebenarnya lebih dari semua rasa itu, aku sedang menguatkan diri sendiri. Juga meyakinkan diri, bahwa aku sungguh telah menyayanginya.

Selasa, 27 Maret 2012

Rasa Baru

“Lalu, mengapa kau tidak mencoba denganku?”

Kedua kakinya berayun-ayun cepat ketika dia duduk di bingkai jendela kamarku. Sementara, angin panas bertiup masuk ke kamarku dan menerbangkan rambutnya. Dengan santai dia berucap, seolah meledekku. Apa begitu sederhana dunia dalam pandangan matanya. Baru saja, aku sedikit memberanikan diri untuk bercerita, tentang diriku dan hal-hal yang ingin kulupakan,walau tak akan pernah bisa. Bahkan, aku menunjukkan foto-foto gadis cilik di layar laptopku. Mungkin itu yang justru membuatnya  berani berkata demikian. Mengapa tidak mencoba denganku? Sudah pergi kemana akalnya perempuan di depanku ini. Terlalu banyak menuliskah dia? Atau masalah-masalah di masa lalunya yang membuat dia seperti ini?

Seseorang yang pernah kukenal. Dia begitu berbeda dengan Nadia. Kesamaan mereka hanya terletak pada obsesi menulis. Nadia, tampak sangat suka bercerita lewat obrolan, sedangkan orang itu sering kali hanya menjadi pendengar dan menjawab dengan singkat kata. Gadis ini sangat ringan dan seenaknya, sedangkan Nisya selalu berpikir panjang dan butuh untuk diberitahu, selalu.  Lalu, mengapa aku harus membandingkan mereka berdua? Di mana aku meletakkan pikiranku? Kalau begitu . . . .

“Bagaimana dengan pergi makan malam keluar?” Tanyaku.

Dia tertawa, lalu berdiri menghampiriku. Sambil meninju pundakku, dia menggigit bibirnya dan tampak berpikir.

“Baiklah. Kita harus mencoba.” Jawabnya.

Malam itu, aku menunggu dia di depan pintu kamarku. Aku telah siap dengan beberapa ke-formal-an dalam pakaianku, dan aku harus menaikan alis saat melihatnya keluar kamar.  Dia memakai kemeja flanel besar, blue jeans, dan sebuah fedora di atas kepalanya. Aku mengahampirinya dan meraih topi itu dari kepalanya.

“Kita tidak berangkat untuk menonton konser Jaz, Nad.” Protesku.

“Oh, sebuah kencan yang cukup serius. Alright?” Jawabnya sambil mengumbar senyum lebar.

Kembali aku harus menunggunya di sini hingga kami benar-benar pergi berdua malam itu. Sepanjang perjalanan tak henti-henti kudengar mulutnya menimpali apa yang dia lihat atau sekadar menyanyikan lagu-lagu kesukaannya. Sepertinya aku sudah melupakan rasa laparku karena sibuk memperhatikan perempuan ini. Keberadaannya di sebelahku memberikan beberapa rasa baru yang mungkin sebelumnya asing. Sesuatu di dalam dirinya telah membuatku membuka diri, tanpa disadari. Dia memang bukan hal terbaik dalam hidupku, setidaknya sampai sata ini. Kenyataannya,  aku selalu tertarik untuk menikmati hariku bersamanya. Seperti cokelat murni yang rasanya tidak terlalu manis sampai diberi tambahan rasa, namun mampu membuat seseorang menjadi pencandu. Begitupun hal-hal baru yang dia perlihatkan dalam duniaku, aku tidak pernah merasa puas, namun butuh lebih.

“Hei, Nad!”

Dia menengok ke belakang melihatku yang mulai tertinggal karena terlalu banyak berpikir.

“Ya?”

“Kau tahu jenis cokelat Couverture atau real chocolate?”

Senin, 26 Maret 2012

Ujung Pastry Terakhir

Aku memperhatikan Echi dan Nadia sibuk memasukkan roti ke dalam alat pemanggang otomatis dan menangkap roti yang telah matang dan terlontar keluar dari alat tersebut. Tak jauh dari sana, Argi duduk membaca koran pagi sambil menikmati sarapannya, semangkuk telur orak-arik dan segelas orange juice. Lama tinggal jauh dari negara kelahiran, tampaknya juga telah mengubah selara makannya. Aku menghampiri mereka dan mengambil satu lembar roti panggang yang telah tertata rapi di atas piring. Tak lama, kami sudah duduk berempat mengelilingi meja makan untuk menikmati sarapan. Ada yang berbeda di sini. Sejak Nadia datang, kami terbiasa berkumpul berempat saat jam-jam sarapan atau makan malam. Perempuan itu sekarang duduk di sebelahku, sibuk dengan makanannya, ketika Echi membuka percakapan.

“Nad, hari ini kau ingin ikut denganku, berdiam diri di rumah, atau berjalan-jalan sendiri lagi?”

Tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya, Nadia menimpali.

“Kupikir lebih baik aku pergi keluar, udara terlalu panas untuk membuatku tinggal di rumah.”

“Kalau begitu, mungkin Eda bisa menemanimu. Ya, bila dia atau kau tidak berkeberatan.”

Aku berhenti mengunyah dan memandang mereka bergantian.

“Tentu saja. Aku dengan senang hati bersedia bila Eda tidak sibuk.”

Hei! Kupikir dia akan menolak ditemani kesana-kemari layaknya anak kecil, namun dengan menunjukkan barisan giginya yang rapih itu dia justru bersuka cita untuk pergi dengan orang yang baru dia kenal. Ya, baru kenal kembali sejak pertemuan pertama di bandara tentunya.

Maka sore itu, aku mengekori langkahnya, namun kemudian berjalan di sebelahnya. Keputusanku bukan karena terpaksa, kupikir pergi keluar sore hari adalah hal yang selalu menyenangkan. Dan pilihanku jatuh pada menikmati tea time di sebuah restoran pastry kecil di tengah kota, sedangkan dia hanya menyetujui pilihanku tanpa harus menyanggahnya terlebih dahulu.

“Restoran yang tidak terlalu ramai, tapi menyenangkan.” Pendapatnya.

“Kau akan semakin jatuh cinta pada tempat ini setelah kau cicipi menu-menunya nanti.” Jawabku.

“Dan, sore ini kau boleh memesan apa pun yang kau suka. Tempo hari, kau telah menolongku. Maka, izinkan aku membalasnya.”

Aku tertawa mengetahui niatnya. Pantas, dia tak menolak untuk pergi denganku. Hanya sekadar balas budi, heh? Sungguh sebuah hal aneh karena baru, namun tak terasa asing. Dia banyak bercerita, bahkan mungkin terlalu terbuka. Nadia layaknya seseorang yang berasal dari sebuah planet yang tak kukenal. Tiba-tiba datang dengan berbagi banyak cerita, terkadang terkesan dramatis. Dia yang datang ke negara ini untuk mengejar sebagian mimpi, atau dia yang bosan dengan kehidupannya yang lama, berusaha membakar kenangan-kenangan pahit tentang kisah klasik broken home yang ia alami atau kisah tentang hubungannya yang tetap berjalan baik dengan seorang yang ia cintai namun lebih memilih menikahi wanita lain. Bahkan, beberapa cerita tersebut tak pernah kudengar dari Echi.

“Mengapa tidak kau tulis saja ceritamu sendiri menjadi buku?” Tanyaku.

“Umm, mengetahui dan menuliskan masalah lain di luar bebanku sendiri, membuat aku tahu bahwa aku tak sendiri di dunia ini.”

Kami menghabiskan sore dan teh dalam cangkir masing-masing dengan saling bertukar kata, tentu saja aku lebih banyak mendengarkan. Kemudian, sinar matahari yang mulai turun ke ufuk barat membuat mataku terpicing. Di balik jendela kaca besar kami duduk berhadapan. Bibirnya bergerak-gerak lincah, mengajarkanku beberapa hal. Sambil menggigit ujung pastry terakhir aku tersadar, saat ini mungkin aku sedang mencari kebahagiaanku sendiri, seperti janjiku pada Nisya dahulu.

Sabtu, 24 Maret 2012

Keadaan Semula

13 Juli 2012

Pertemuan kedua-ku dengan Nisya adalah saat dia menemuiku di bandara sebelum aku kembali meninggalkan Indonesia. Kali itu, dia datang berdua, hanya dengan gadis kecil-nya. Tidak dengan Ryry. Jelas sekali lelaki itu telah berbesar hati memberiku kesempatan berbicara berdua denga Nisya. Oh, tidak berdua, namun bertiga. Suatu hari, mungkin gadis kecil itu akan mengingat pertemuan ini.

“Mengapa terlalu singkat kau berada di sini?”

“Singkat? Hampir tiga minggu aku di sini.” Jawabku.

“Tapi, dihitung dengan hari ini, kita hanya bertemu dua kali.” Wajahnya tampak kecewa.

“Dua kali pertemuan cukup memuaskan dahagaku akan keinginan bertemu denganmu, Nisya.”

Dia hanya terdiam. Sama denganku, mungkin begitu banyak hal yang mengganggu pikirannya.

“Kapan-kapan, ajaklah dia dan Ryry ke tempatku.” Aku menyentuh lengan gadis kecil dalam gendongannya. Anak itu menyambut jari telunjukku dan memperlihatkan beberapa giginya yang mulai tumbuh.

“Tentu saja.” Jawabnya, masih dengan muka gundah.

“Mungkin ada beberapa hal yang tak mungkin terselesaikan antara kau dan aku. Tapi . . . . ”

Nisya mendongakkan kepalanya ke arahku, menunggu kalimatku yang masih tergantung.

“Tapi . . . .?”

“Tapi, yang kulihat darimu setidaknya telah menjawab rasa penasaranku. Kau tampak bahagia. Lalu, apa lagi?”

“Kau telah memiliki apa yang semua orang inginkan Nisya. Teruslah berbahagia.” Lanjutku.

Dia tersenyum, walau tampak tak sepenuh hati. Aku tahu ada sisi di dalam dirinya yang ingin menahanku atau sekadar membantah kata-kataku tadi. Gadis kecil itu meletakkan kedua tangannya di pipi Nisya. Saat itu, aku yakin dia tak punya kuasa untuk menahanku. Setengah jam lagi, waktu keberangkatanku tiba. Aku menegakkan badanku dan menyelesaikan semuanya.

“Baiklah. Percaya bahwa aku akan kembali. Dan di saat itu, kita benar-benar telah menemukan kebahagian kita masing-masing.”

“Aku harap. Hati-hati, Da” Katanya singkat. Selalu begitu.

Aku mengacak rambutnya. Hal yang selalu aku lakukan sejak dulu. Lalu, aku mencium pipi gadis kecil itu. Senang sekali bisa mengenalnya. Pasti banyak hal menarik saat dia tumbuh. Nisya sempat membalas lambaian tanganku. Kuharap tak ada air mata lagi di sini.  Dan ada banyak hal dari dalam diriku yang akan selalu tertinggal di tempat ini.

15 Juli 2012

Setidaknya, itulah beberapa hal yang dapat kukenang dari kepulanganku kembali ke negara ini. Dua hari yang lalu.  

Dia dan Sebuah Kebetulan

"Bagaimana di sana?" Tanya Argi.

"Kenaikan harga bahan bakar, dan . . . . Tidak ada yang berubah jauh."

"Lalu, apa kau akhirnya menemui Nisya?" Echi menambahkan.

"Aku pulang untuk itu, tentu saja iya."

"Then?"

"Semua sudah lebih baik. Ya, mungkin tidak semua, tapi paling tidak beberapa telah kuselesaikan."

Aku mendengar percakapan dari bawah, tepatnya di ruang tengah. Entah dengan siapa Echi dan Argi berbicara, tampaknya orang itu telah datang. Mungkin sebaiknya kutemui mereka, kebetulan aku butuh minuman dingin di hari sepanas ini. Di bawah, kulihat mereka duduk bersama, dan lelaki itu membelakangiku.

"Hai! Selamat pagi." Kataku.

Sambil terus berjalan ke arah lemari es aku menyapa mereka. Menyadari kedatanganku, pembicaraan mereka terhenti.

"Ah, Nadia. Kemarilah. Ini orang yang selama ini tinggal di dekat kamarmu." Kata Echi.

"Eda, dia Nadia. Adikku."

Masih sibuk dengan isi lemari es, aku sempatkan membalikkan badan dan siap menyapa. Dan, kemudian aku berhenti bergerak karena menyadari suatu hal.

"Hai. Aku mengenalmu, ternyata." Kata lelaki itu.

"Kau?"

Lalu, Echi dan Argi hanya memandangi kami bergantian dengan tatapan heran. Eda. Lelaki di bandara yang menemukan visa-ku. Yes, he is!

Musim Awal

Memasuki bulan Juli, terik matahari makin terasa. Kali ini, tidak ada lagi cuaca hangat dan berjalan santai di sepanjang trotoar atau taman. Sebagian besar waktu dihabiskan orang-orang di dalam rumah atau justru menggelapkan kulit di pantai. Tapi, tidak menyurutkan sedikitpun niatku untuk pergi keluar rumah mencari berbagai referensi tulisan hari ini.

Echi dan Argi tampak heran melihatku telah rapih untuk ukuran pagi di awal musim panas seperti ini. Dengan long tees A-line putih, legging abu-abu, Indian boots warna khaki, dan earphone yang kuletakkan di bahu, aku berdiri mematung di ujung tangga melihat mereka dengan heran.

"Ada yang salah?" Tanyaku.

"Tidak dengan pakaianmu. Tapi, tumben sekali kau bangun pagi dan sudah siap-siap pergi." Jawab Echi.

"Aku akan terbakar matahari bila pergi lebih siang."

"Ingin ke perpustakaan lagi, huh?"

"Yeah, dan akan mampir ke beberapa tempat. Mungkin Chinatown, coffeshop, atau . . . . hanya menaiki kereta bawah tanah tanpa tujuan."

"Oke. Take care. Kembali sebelum jam makan malam."

Aku membenarkan posisi ransel kulitku, melambaikan tangan pada mereka, dan terdengar alunan nada lembut blues begitu kukenakan earphone-ku. Kupicingkan mata melihat sinar mentari yang menyambutku di luar pintu. Kira-kira 3 bulan aku akan membiasakan diri dengan apa yang mereka sebut 'summer time'. Sementara, di sepanjang jalan orang-orang tampak berjalan lebih cepat karena panasnya cuaca.

Aneh. Di negara dengan ras kaukasian seperti ini, aku justru akhirnya memilih sebuah restoran khas Jepang. Tidak tahu mengapa, hanya saja aku ingin. Setelah seorang pelayan berbaju kimono merah menyambutkan ramah dengan mengucapkan 'irrasshaimashe'*, aku duduk di atas tatami yang terletak di ujung ruangan. Lebih tenang dan akan membantuku menulis, tampaknya.

Tanganku sibuk mencoretkan beberapa kata di atas notes yang kubawa saat seorang pelayan datang membawa ocha yang kupesan. Wangi minuman itu menggodaku untuk segera meminumnya. Rasanya yang agak sedikit pahit dan aroma teh hijau membuat pikiranku sedikit terlapangkan. Namun sedari tadi, tak ada sedikitpun kalimat berarti yang dapat kubentuk menjadi sebuah cerita. Sial, di mana ide-ide itu, gerutuku.

Hingga kuhabiskan beberapa gelas ocha, tidak ada juga yang kuhasilkan di atas kertas-kertas ini. Kutinggalkan tempat itu dengan kesal. Langkah kakiku bergerak entah kemana. Aku hanya menikmati pemandangan sepanjang perjalanan hingga tak sadar justru aku sudah tiba di rumah kembali.

"Kau pulang lebih cepat, Nad? Ingin membantuku menyiapkan makan malam?" Echi menyambutku.

"Umm, tentu saja."

"Oh ya, malam ini orang itu akan berangkat dari Jakarta."

"Siapa?"

"Dia yang kamarnya terletak di depan kamarmu tentu saja, pernah kuceritakan tempo hari."

"Oh. Aku ingat."

"Mungkin dia akan tiba di sini esok pagi."

Aku hanya mengangkat bahu dan terus mengaduk bahan sup untuk makan malam. Pikiranku masih berkutat pada sulitnya membuat tulisan. Mungkin masih lama aku harus menetap di tempat ini sampai citaku terwujud. Kulihat cuaca masih sangat cerah di luar. Kali ini matahari mungkin baru akan terbenam pukul 8 malam. Echi menyambut kepulangan Argi di depan pintu. Lalu, kami menikmati makan malam bersama, seperti biasa. Yah, rutinitas yang lama-kelamaan mungkin akan menjenuhkan.

Malam ke-17, di London.

*irrasshaimashe = Selamat Datang.

Kamis, 22 Maret 2012

I Am Here, See!

Sudah dua hari aku berada di negara ini. Menghabiskan waktu di tempat yang benar-benar baru. Beruntung seseorang dapat membantuku, sehingga aku tidak tertahan di bandara hari itu. Aku menyibak kain penutup kaca lebar-lebar dan menyaksikan keindahan pemandangan di luar sana. Wangi kue pie yg dipanggang tercium samar dari ruang bawah, membuat perutku lapar, dan sepertinya sekarang sudah masuk waktu brunch. Semalam, kakakku dan suaminya mengajakku bermain scrabble hingga larut, lalu aku harus melewatkan sarapanku karena bangun terlalu siang. Sekarang, saatnya memenuhi kebutuhan perutku dengan kudapan-kudapan yang menggiurkan itu.

Aku keluar kamar dan melewati lorong menuju tangga untuk turun. Tak jauh dari kamarku, ada sebuah kamar yang tak pernah kulihat penghuninya. Kakak mengatakan bahwa kamar itu milik teman suaminya yang juga berasal dari Indonesia. Sekarang, pemilik kamar tersebut sedang pulang ke Jakarta untuk waktu yang tak bisa ditentukan. Ada benarnya perkataan bahwa “dunia ini sempit,” jauh-jauh aku datang ke negara dengan 4 musim ini, sudah berapa orang Indonesia yang kutemui, termasuk lelaki yang menolongku di bandara saat aku datang kemari.

“Lihat, gadis ini baru bangun saat hari menjelang siang.” Serang Echi saat aku turun.

“Hei, bukankah kalian yang mengajakku bermain scrabble hingga larut malam.”

Mereka berdua tertawa.

“Rugi sekali bila kau tidak menikmati suasana pagi di sini. Apa lagi, sebentar lagi musim semi berakhir.”

“Ya, kau harus melihat Hyde Park saat musim semi. Taman itu sangat terkenal di sini.” Tambah Argi.

“Kalau begitu, besok aku akan kesana. Kebetulan aku juga ingin pergi ke toko buku.” Jawabku.

“Sayang sekali besok kami tak bias mengantarmu, Nad.”

“Sudahlah, aku bukan adik kecilmu lagi, Chi.”

“Kupikir, bila dia sudah kembali dari Jakarta, dia bisa menemani adikmu berkeliling.” Kata Argi pada kakakku.

“Maksud kalian, lelaki yang kamarnya berhadapan dengan kamarku?” Tanyaku.

‘Ya, mungkin tak lama lagi dia akan kembali ke negara ini. Sekarang, habiskan makananmu dan bersiaplah. Jadi ikut kami kan?”

Dengan anggukan kepala aku menuruti perintah kakakku. Lebih baik aku segera berbenah agar mereka tidak berpikir untuk meninggalkanku siang ini. Kakak iparku harus ke kampusnya siang ini, dan Echi mengajakku ikut serta kesana dengan menjanjikan sebuah restoran pasta terenak di kota ini, kebetulan pula aku memang berniat mengunjungi perpustakaan kampus untuk mencari beberapa referensi tentang dunia tulis-menulis. Beruntung aku memiliki kesempatan mengunjungi negara ini untuk mencari ilmu dan kesempatan melanjutkan pendidikan di sini. Ya, mungkin terlalu gegabah. Tapi, aku yakin, karena setidaknya aku mencoba.

Aku siap menjemput nasibku.

Kedatangan

Benar seperti perkiraan, aku tiba pada jam di saat kemacetan pasti masih meraja. Beda dengan di sana yang bercuaca hangat, di kota ini, pukul 9 sudah terasa sangat panas, mungkin di atas 30⁰ Celcius. Aku membenarkan posisi kacamata hitamku dan menarik travel bag kecilku menuju  pintu keluar bandara. Kulihat beberapa manusia ramai berlalu-lalang, sibuk tanpa mempedulikan satu sama lain. Betapa aku sudah lama kehilangan suasana seperti ini. Beberapa yang lainnya tampak menjemput orang yang mereka tunggu, sedangkan aku tak akan memperoleh perlakuan yang sama, bukankah aku tidak memberitahukan kepulanganku pada siapa pun, termasuk padanya.

Sebuah taksi berwarna kuning terang bersedia mengantarkanku ke rumah. Taksi ini mengingatkanku akan tempat di mana aku tinggal saat ini. Di sana, sebagian besar taksi juga berwarna kuning terang seperti ini. Sepanjang perjalanan, kususun kembali kenangan-kenangan akan kota ini. Sebuah sejarah panjang yang dimulai sejak aku masih kecil dan akhirnya meninggalkan kota ini, lalu kembali lagi ke sini.

Kudorong tubuhku sendiri memasuki rumah. Di ruang tengah, kusempatkan memandang ke arah jendela besar yang mengarah ke taman kecil di luar dengan pohon besar dan rumah kayu tua di atasnya. Entah sudah berapa lama kutinggalkan semuanya, seperti ada rindu yang terlalu kuat dan asing. Kenangan masa kecilku kembali berputar. Lalu, tiba-tiba muncul keberanianku untuk meraih ponsel dan menghubungi sebuah nomor.

“Hai, kau rindu padaku?”

“Tunggu! Biar aku tebak siapa ini.” Jawab suara di ujung sana.

Aku menunggu suara itu melanjutkan kata-katanya. Suara yang tidak akan pernah berhenti membuatku nyaman, sejak dulu.

“Ahhh, kapan kau tiba? Mengapa tidak mengabari kami? Sungguh aku . . . . menunggu hari ini, Da.”

“Bagaimana kabarmu? Ryry? Nisya kecil-ku?” Tanyaku lagi.

“Semua baik, selalu baik, dan tidak pernah sebaik ini.” Lanjut Nisya.

“Itu yang kuharapkan.”

“Lalu . . . . bisakah kau menyempatkan waktu untuk menemui kami?”

“Kalau tidak keberatan, besok kami yang akan datang ke sana.” Lanjutnya lagi.

Setelah kuhabiskan malamku kembali di kota ini, aku terbangun pagi itu dengan peluh yang membasahi kaus putihku. Mengapa tempat ini semakin panas saja? Sudah pukul 8, dua jam lagi dia akan datang. Aku beranjak dan membenahi diri. Tampaknya cukup pula waktu untuk mempersiapkan hati.

Beberapa ketukan yang kutunggu terdengar dari pintu luar. Bergegas aku mendekati arah suara. Sebenarnya antara siap dan tak siap. Namun, ada perasaan yang lebih kuat dari sekadar rasa sakit. Dan, rasa itu membuat wajahku menghangat gembira saat kulihat sosoknya di balik pintu. Seorang wanita yang sangat kurindukan. Tak menyangka akan bertemu dengannya lagi. Kali ini dengan keadaan berbeda. Di sebelahnya, berdiri Ryry yang tersenyum padaku. Lalu, dalam dekapan lelaki itu, sepasang mata bundar menggemaskan menghiasi wajah cantik seorang gadis kecil. Lengkap dan bahagia, meski tanpaku. Sebuah pelukan kemudian menyadarkanku.

“Kami merindukanmu, Eda. Bagaimana London?” Tanya Nisya.

Selasa, 20 Maret 2012

Menemui Kisah Lama

Cahaya terang matahari pagi membuka kedua kelopak mataku yang menghitam karena kurang tidur. Sejak malam memang aku sengaja tidak menutup jendela agar sinar matahari menjadi alarm khusus yang membangunkanku agar dapat mempersiapkan segala sesuatu lebih tepat waktu. Alarm dari jam weker sering kali hanya menjadi suara selingan sebelum aku tidur kembali. Pagi ini, aku harus bangun lebih awal untuk mempersiapkan sesuatu. Semalam, aku memikirkan kata-kata Argi beberapa hari yang lalu. Dengan penerbangan malam hari, aku akan pulang.

Lebar-lebar, dengan masih di atas kasur ini, aku merentangkan kedua tangan dan kaki dan menghirup udara pagi yang berbau segar. Terasa hangat temperatur di kamar ini, sebentar lagi suhu mungkin akan mencapai 20⁰C, suhu standar siang hari di musim semi yang sebentar lagi berakhir. Aku menghentakkan kakiku terlalu semangat ketika turun dari tempat tidur, kuharap kelakuanku ini tidak membuat Argi atau Echi berteriak marah karena letak kamar ini tepat di atas kamar mereka. Kubuka jendela double-glazing yang dirancang untuk musim dingin dan membuat ruangan ini akan terasa sangat pengap saat musim panas. Wangi bunga yang entah hanya imajinasiku atau nyata seketika menyatu dengan nafasku. Sebuah tas yang terlalu besar di atas lemari tampaknya cukup untuk melengkapi kepulanganku yang tidak akan lama. Aku mempersiapkan beberapa hal yang harus dibawa; tentu saja beberapa dokumen penting, pakaian, dan oh . . . .  tentu saja aku tak akan membawa baju dingin, di sana udara hanya terbatas pada panas atau hujan, dan tentu saja aku tak perlu membawa terompetku. Kupandangi jam dinding, pukul 7 pagi, saat ini mungkin dia di sana sedang makan siang bersama keluarga kecilnya. Kuangkat bahu dan berdiri untuk segera turun menemui kedua sahabatku. Mereka belum tahu tentang rencanaku malam ini.

“Tidak akan lama. Hanya mengikuti saranmu, mungkin untuk melepas rindu atau menyelesaikan beberapa hal.” Jawabku atas pertanyaan Argi atas kepulanganku yang tiba-tiba.

“Kau memilih penerbangan pukul 8 malam?”

“Ya, aneh menurutmu?”

“Kau akan tiba di sana sekitar pukul 9 keesokan harinya. Bagaimana dengan kemacetan?”

“Justru itu salah satu hal yang ingin kurindukan.” Jawabku konyol.

Argi dan Echi menitipkan ratusan pesan yang seharusnya hanya pantas bagi anak remaja yang ingin bepergian jauh untuk pertama kali. Untuk menghentikan bicara, aku hanya mengatakan bahwa aku akan kembali saat musim panas belum berakhir. Ya, sebentar lagi memasuki bulan Juni, bulan di mana kebanyakan penduduk di negara ini menghabiskan waktunya untuk berjemur di pantai.

Aku sengaja berangkat lebih awal untuk menikmati cuaca sore hari. Melewati sebuah taman yang cukup besar di pusat kota, aku tersenyum lebar melihat hamparan bunga-bunga musim semi; crocus, bluebells, dan daffodila. Walau musim ini sebentar lagi berakhir, namun bunga-bunga itu masih bermekaran dengan marak. Andai suatu hari aku dapat melihat Nisya duduk dengan memegang kertas-kertasnya di tengah taman ini, atau justru sambil mendorong kereta bayinya. Lamunanku terhenti karena sebuah bis merah yang akan membawaku ke bandara berhenti tepat di dekatku.

Tiba di bandar udara Heathrow dengan tanpa hambatan, aku memiliki waktu lebih dari satu jam untuk menikmati makan malam. Aku memasuki sebuah kafetaria dengan pintu kaca putar dan duduk di salah satu sudut. Kupesan dua potong sandwich tuna dan segelas besar hot chocolate, dua buah hal yang mengingatkanku akan sosok Nisya, dan tentu saja masa kecil kami. Segera kuhabiskan pangananku karena tak lama lagi waktu keberangkatan pesawat tiba. Perhatianku tiba-tiba tertuju pada sebuah benda berwarna putih di atas meja di sebelahku; sebuah visa. Siapa yang dengan bodohnya telah meninggalkan benda sepenting ini di tempat umum? Tanpa benda ini, orang tersebut tak memiliki perizinan untuk masuk dan tinggal di negara ini. Kubaca identitas pemiliknya. Nadia Astriani. Jakarta, Indonesia. Aku tertawa mengetahui bahwa pemiliknya berasal dari negara yang sama denganku. Aku bergegas pergi dari kafetaria sambil mengantongi visa itu.

Tak jauh dari Gate V tempat aku seharusnya lewat, kulihat dua orang petugas keamanan sedang berbincang serius dengan seorang wanita yang tampak kukenal. Wanita itu tampak panik, sehingga sesekali bahasa asingnya menjadi tak lancar.

Umm, sorry. She’s my friend from Indonesia. Can I speak with her, for a minutes, if you mind?”

Wanita itu tampak kaget dan heran, namun akhirnya tetap mengikuti arah tanganku untuk mengikutinya.

“Maaf, waktuku tak lama. Tapi, aku pikir kau adalah pemilik visa ini. Wajahmu sama dengan foto yang kulihat di dalam visa. Kau Nadia?”

“Ya, dan barusan aku hampir saja tidak dapat keluar dari bandara ini. I lost my Visa.”

“Beruntunglah kau. Ini ambillah, aku harus segera pergi.”

“Hei, bahkan kita tak saling memperkenalkan diri.”

“Aku Eda, dan berasal dari Jakarta, sama denganmu.”

“Terima kasih, Eda. Kuharap lain waktu kita dapat berjumpa lagi.”

“Ya, semoga. Nikmatilah suasana kota ini.”

Aku melambaikan tangan sebelum meninggalkannya. Wanita itu membalas sambil sesekali membenarkan earphone di telinganya yang tertutup rambut panjang. Wanita yang beruntung, pikirku. Tentu saja karena aku berhasil menemukan visa-nya.

Di dalam pesawat, aku duduk di bangkuku sambil memandang keluar. Tiga belas jam dari sekarang, aku akan menikmati pemandangan dan udara yang lain. Beberapa hal yang telah lama hilang dari hidupku, namun selalu akan memanggilku pulang. Suara mesin pesawat semakin kencang menandakan keberangkatan. Entah mengapa, layaknya merasakan perjalanan perdanaku ke negara ini, jantungku berdetak lebih kencang. Kali ini bukan karena aku akan merasakan pengalaman pertama ke negara baru, namun justru untuk kembali merasakan hal-hal yang tidak akan pernah bisa kulupakan walau telah menjadi sejarah. Aku akan menemui kalian, Nisya dan Nisya kecil. 

Senin, 19 Maret 2012

Wangi Apel, Perapian, dan Musim Semi

Sudah memasuki pukul 7 malam, namun cuaca masih terang benderang. Di saat musim panas atau musim semi, memang siang hari terasa lebih panjang di sini. Akan tetapi, cuaca malam hari tetaplah dingin. Kepulan uap keluar dari mulutku saat aku menghembuskan nafas sambil menggosokkan kedua tanganku untuk menghangatkan diri. Aku berhenti di depan sebuah rumah bergaya khas. Rumah dengan lantai kayu yang dilengkapi dengan tangga menuju pintu depannya, mengingatkanku akan sebuah rumah yang dulu sering kusinggahi, rumah dari seseorang yang  kusayangi, teman masa kecilku yang sekarang telah menjalani kehidupan barunya. Rumah ini cukup besar,  berlantai dua, berdinding  warna abu-abu, berdaun jendela merah tua, atap dan tiang penyangganya berwarna putih, serta memiliki cerobong asap cukup besar. Rumah yang terlihat nyaman dan hangat untuk melarikan diri dari udara malam tak bersahabat. Aku merasa beruntung bisa tinggal di rumah ini. Saat kedatanganku ke negara ini setahun yang lalu, nasib membawaku untuk bertemu dengan seorang teman lama yang kebetulan juga melanjutkan sekolah musiknya di sini, hanya saja dia telah lebih dulu lama datang ke negara ini, dan kini dia tinggal bersama istrinya. Mereka berbaik hati mengizinkanku tinggal bersama mereka, memberiku sebuah kamar besar di lantai dua, dan menjadikanku bagian dari keluarga mereka.


Aku memasuki pintu depan dan melepaskan baju hangatku. Tidak terdengar suara siapa pun dari dalam. Biasanya, jam-jam seperti ini mereka sedang mempersiapkan makan malam di dapur. Mungkin mereka masih di luar atau Argi, nama temanku itu, masih sibuk di kampusnya, dan sang istri menunggu di sebuah restoran kecil yang khusus menjual pasta yang terletak di depan kampus kami. Mereka sering melakukan ritual tersebut. Sebuah rutinitas yang manis dari sepasang anak manusia, kembali mengingatkanku akan hal-hal yang telah berusaha kulupakan. Apakah di sana dia juga sebahagia Argi dan istrinya di sini?

Melepas lelah, kurebahkan badanku di atas sofa empuk berwarna hijau toska di ruang tengah yang memiliki tungku perapian. Ketika hampir terlelap, aku mendengar suara langkah kaki masuk diiringin suara canda tawa. Aku menyunggingkan senyum mengetahui siapa yang datang, ingin kupejamkan lagi mataku, namun tergagalkan karena mendengar namaku dipanggil.

“Hai, Da! Sudah pulang rupanya?” Argi menyapaku.

“Kebetulan sekali, kami baru saja membeli bahanan makanan untuk makan malam, dan guess what? Malam ini kita akan makan masakan Indonesia.” Echi melanjutkan.

Aku berdiri dan menghampiri mereka.

“Dari mana kalian mendapatkan semua bahan ini? Chinatown?”

Yes, kupikir akan sempat memasak opor ayam dan sup tofu untuk makan malam.” Jawab Echi.

“Ya, aku rindu makanan-makanan rumah. Masakan malam ini akan semakin membuatku ingin pulang.” Aku bersungut-sungut.

Argi tertawa dan memegang bahuku.

“Lalu, apa yang masih menghalangimu untuk pulang? Kau kesulitan membawa terompetmu?” Candanya.

“Aku belum ingin pulang, itu saja, entah mengapa.” Jawabku.

Afraid about something, aren’t you?”

“Hei, apa maksudmu?” Aku menjawab sambil mengalihkan pandangan, namun kemudian menjawab:
“Ya, mungkin benar katamu.”

Echi memandangi kami sambil terus membereskan meja makan. Dia menghampiri kami berdua.

“Sekarang, bersihkanlah diri kalian, lalu kembali ke dapur ini saat kupanggil.”

“Baiklah.” Jawab Argi.

Aku mendahului langkah menuju kamarku di lantai dua. Masih mendengar tawa Argi atas celetukan Echi yang menegurnya karena telah menggodaku. Aku memasuki kamar disambut dengan wangi apel dari pengharum ruangan yang bercampur dengan bau masakan dari lantai bawah. Kututup pintu dan memandang ke arah meja di ujung kamar. Kudekati meja itu dan membuka layar laptop yang ada di atasnya, sebuah tanda di kiri bawah layar berkedip-kedip menunjukkan ada satu e-mail baru masuk.

Hi, uncle Eda. Good night.  How are you there? Here, I enclose some photos of mine. Hope you like it J

Kuunduh beberapa foto yang dikirimkan dalam e-mail tersebut, kuputar sebagai slideshow, dan kulihat paras ceria gadis kecil berumur 3 bulan yang memanggilku Uncle tadi. Tentu saja, ini perbuatan ibunya. Tak mungkin seorang bayi terbangun di tengah malam dan mengirim e-mail.  Aku tertawa. Ya, sudah tengah malam di Indonesia. Anak ini cantik, secantik ibunya. Dan dia memiliki tatapan yang tegas, mungkin seperti ayahnya. Aku berjalan membuka jendela, melihat beberapa kuntum bunga baru mulai bermunculan, mungkin esok siang akan mekar. Tersenyum kuingat wajah mungil dalam foto-foto tadi, kehembuskan nafas dengan kencang, lalu berbalik berniat segera membersihkan diri. Ya, sebelum pasangan itu marah-marah menungguku dengan kelaparan, sebaiknya aku segera bersiap makan malam. E-mail itu adalah sebuah “kado” yang membuat lelahku lenyap terbawa malam. Nisya selalu mengingatku, aku tak perlu khawatir. Memang sekarang dia menjalani kehidupan yang lebih kompleks dan baru, begitupun aku. Tapi, tak masalah selama kami masih saling mengingat dan merindukan. 

Jumat, 16 Maret 2012

Layaknya Membaca Buku dan Berpindah ke Bab Baru

Keringat membanjiri tubuhku. Tersenggal-senggal nafasku seiring detak jantung yang belum teratur. Masih terasa sekali sakit yang menyerang badanku, dari perut hingga ke bawah. Namun, sakitnya sudah berkurang ketika perjuanganku seketika berhasil. Kebahagiaan menggantikan semua kesusahan, apa lagi memandang wajah lega orang di sekelilingku.

Aku sempat tertidur hingga beberapa jam kemudian ketika dia memasuki ruang putih berbau obat-obatan ini. Wajahnya bangga dan takjub. Dia menghampiriku dan memperlihatkan seorang perempuan kecil yang terlelap di rengkuhannya. Masih merah, rapuh, dan... apa ini, ada sesuatu yang menjerit-jerit dari dalam dadaku. Perasaan rindu maha dahsyat yang sudah ku pendam sejak 9 bulan lalu. Aku ingin menyentuhnya. 

Kini, sosok itu berada di pelukanku. Orang-orang memberiku selamat atas predikat baruku. Akhirnya, aku dapat merasakan apa yang dulu ibuku rasakan saat membawaku ke dunia. Dia, lelakiku, menyentuh wajahku yang masih menyisakan ringisan. Dikeluarkannya sebuah laptop dari tas-nya, lalu dia menunjukkan sesuatu padaku.

"Ada yang menelponku, dia ingin mengucapkan selamat untukmu."

"Siapa?" Tanyaku.

"Sebentar lagi kau akan tahu, tunggulah."

Beberapa menit kemudian tampak wajah seseorang yang tak lagi asing, wajah yang sedari dulu mengisi hidupku, dan aku merindukannya sejak kepergiannya hampir setahun lalu. Aku yakin, dari webcam ini, dia dapat melihat wajah rindu, bahagia, dan kelelahan sekaligus.

"Hai, Nisya! Dan hai, Nisya kecil! Akhirnya kau datang," sapanya.

"Eda!"

"Ya. Aku tahu kabarmu dari Ryry, lalu aku menelponnya untuk dapat melihatmu."

"Bagaimana kabarmu?"

"Musim semi di sini."

"Lalu, kapan kamu bisa menengok gadis kecil ini?"

"Belum dapat ku pastikan, namun jangan sungkan untuk memintaku menyumbang nama," Eda tertawa.

"Kalau begitu, pikirkan."

"Tentu saja, sekali lagi selamat menjadi seorang ibu. Aku bangga padamu. Aku harus masuk kelas sekarang, lain waktu kita lanjutkan."

"Hati-hati. Segeralah pulang, kami menunggu."

Ryry kembali menutup layar laptopnya. Dia meraih bayiku dari pelukanku dan membiarkanku beristirahat. Setelah ku cium pipi makhluk mungil itu, dan setelah Ryry mengecup keningku, aku kembali terlelap. Aku mencium wangi bayi, mengantarkanku pada mimpi indah bahkan dalam periode awal lelapku. Aku bermimpi dilingkupi oleh kebahagiaan dalam sebuah kehidupan yang sederhana, dalam rumah kecil berwarna salem  dan berjendela kaca besar-besar. Rumah yang di depannya ditumbuhi pohon apel yang tiba-tiba berbuah lebat saat aku keluar pintu dengan menggendong perempuan kecilku. Lalu, di belakangku ada Ryry yang selalu siap menopang lemahku, juga melengkapi sisa umurku. Di balik kebahagiaan itu, akan datang seorang yang akan selalu ku tunggu, sahabat kecilku. Menemuiku, dan bersedia menggendong Nisya kecilnya.

Ini bukan mimpi, namun hal yang harus kuraih dalam dunia nyataku. Thank you my man, love you my little girl, going back soon, Eda!

Just a Number We Called Month

Last nite, I had some bad times, we called it my periode of pre menstruation syndrome.  Yeah, I got some hell around me. I felt everyone just can made me stuck in anger. And you, the one who always be a victim while you wanting me to feel better. Poor you *hug*


But, today, we celebrate it! This is a tenth month anniversary. Hey man, Congrats!

Just can believe that we can stay together for more or less 300 days,with a shit that we called the distance. You did it, we did it. I dunno when and where is the end, either it happy or unhappy, with you or without you. But afterall, thanks for going the uneasy-but-amazing way, with me. Thanks for being my bro and my best friend.

Semoga jalan ini diberkahi-Nya, makin kuat dan menguatkan, makin dewasa dan mendewasakan, berubah ke arah yang lebih baik lagi, makin saling terbuka dan melengkapi, dan tidak mudah kesal hanya gara-gara jadwal kuliah padat atau naskah editing yang susah. Mungkin setelah BlackBerry Messenger, BeepUs, YM, dan sms yang suka pending, masih ada halang rintang lainnya, karena itu bersiaplah. Memang selalu sulit untuk menerapkan poin “siap untuk kehilangan,” tapi  paling nggak, kita sadar bahwa masa itu akan ada, dan kita kuat. (Silahkan mengucap: amin)

Selamat tanggal 16. Miss you a lot J

Kamis, 15 Maret 2012

B)

Badly mood. But, try to back without anger!

Bagian Awal dari yang Baru


Detak  jantungku berdetak lebih cepat seolah tak menuruti keinginan sang empu yang mati-matian menjaga wajahnya agar tak terlihat pucat atau tegang. Terlintas tiba-tiba pikiran seolah aku terlalu berani mengambil sebuah keputusan, seperti keberanian jatuh cinta tapi di sisi lain merasa takut untuk patah hati. Namun, melihat dia berdiri sendiri dalam ruangan yang bersebelahan, perlahan rasa gelisahku memudar. Tak tampak ekspresi ragu dari gurat parasnya. Ya, ini seharusnya menjadi saat yang telah ku tunggu sejak lama, berdiri di hari ini, dan tak membiarkan apa pun mengambil apa yang seharusnya menjadi takdirku. Aku akan memberanikan diri, menanggung pilihanku.

Pagi sakral itu, semua biru dan putih, seperti langit dan awan yang berdampingan. Semua terasa hangat, hangat seperti peluknya, hangat seperti genggaman tangannya, dan hangat seperti cinta kami di atas bukit hijau dengan langit senja berwarna kapas manis. Setelah perhelatan sederhana dan singkat, diiringin doa-doa tulus, juga pemberian restu, dia menghampiriku. Beberapa tamu tampak bersuka cita menikmati apa yang kami sediakan, lagu-lagu cinta tanpa berhenti mengiringi hari kami, sahabat-sahabat yang memberikan selamat dan pelukan haru, semua hanya menjadi awal bagiku dari masa yang baru, sisi hidupku yang lain namun dengan rasa memiliki dan dimiliki.

Kami berdua berjalan menghampiri keramaian, lalu berlawanan menuju ke tempat yang lebih tenang. Di sisi kanan halaman rumahku yang  teduh, dia berkata;

“Terima kasih mau menjadi penyempurna sisa hidupku, tampaknya tak ada cukup kata untuk mengungkapkan semua, tapi..terimalah kejutan satu ini.”

Dia menggeser posisi tubuhnya yang semula berdiri tepat di hadapanku. Muncul sosok yang sudah ku nanti sejak awal acara, bahkan sejak berminggu lalu saat aku disibukkan dengan segala persiapan. Wajahku tercekat. Dia sangat gagah layaknya pria lain yang menjadi bintang utama hari ini. Mengenakan kemeja putih bersih yang lengannya digulung sampai siku dan kancing atas yang dibiarkan tak terpasang, celana berwarna beige, dilengkapi rona wajah yang tak pernah tak mempesonaku, dia menghampiriku, sementara Ryry memberi kami waktu untuk berdua.

 “Selamat memulai bagian baru dalam hidupmu, Nisya.”

Aku tak lantas menjawab, namun merasakan genangan panas di mataku yang perlahan turun. Seperti dahulu, dia menyentuh pipiku dengan ibu jarinya untuk menghapus air mataku.
“Hei, kau menangis?”

Refleks aku memeluk tubuhnya dan terisak pelan di bahunya yang tegap.

“Terima kasih, Da. Senang kau akhirnya datang. Terima kasih, sekali lagi.”

Dia membelai punggungku, mengangguk, dan menarik lenganku agar kami dapat bertatapan. Eda mencium keningku, pelan dan cukup lama.

“Mungkin bisa menjadi hadiah kecil,” katanya dengan senyum tipis.

“Seperti yang ku katakan dalam pesan singkat beberapa hari lalu, aku datang pada harinya, aku ingin mengatakan sesuatu,” lanjutnya.

Diiringin suara ramai para tamu dan musik dari kebun belakang rumah, aku mendengar keputusannya.

“Soal pendidikan musikku . . . Nisya, aku harus pergi. Mungkin tidak lama dan tidak jauh selama kita menganggapnya bukan masalah besar.”

“Itu suatu keharusan?” tanyaku gundah.

Dia menyentuh pundakku, penuh sikap menenangkan.

“Demi mimpi. Dan aku akan kembali. Maukah kau menungguku seperti kita saat kecil yang menunggu saat kita dewasa, dan  seperti aku menunggumu merasakan hal yang sama dulu?”

Lalu apa lagi yang dapat aku katakan. Isakku semakin terasa mengganggu telingaku sendiri. Bajunya basah oleh airmata saat ku kembali menangis di pelukannya yang hangat, hangat seperti hari ini.

Rabu, 14 Maret 2012

The Preparation

Terdengar bunyi bel besi ketika kami memasuki pintu masuk toko ini. Pintunya terbuat dari kayu dan bercat putih, senada dengan warna bangunan toko yang didominasi warna sama. Dia berjalan menghampiri meja kasir dan menekan bel meja untuk memanggil si pemilik toko, sedangkan aku melangkah ke bagian kiri toko untuk melihat apa yang terpajang di etalase. Pemilik toko adalah seorang wanita muda yang menyapa kami dengan sangat ramah. Dress krem sederhana, rambut yang dibiarkan tak terikat, juga make up tipis, membuat wanita ini  terlihat memiliki selera yang cukup bagus dan hal itu dapat ditunjukkan dari penataan tokonya, serta hasil karyanya yang dijual di sini. Ryry bercakap dengan pemilik toko dan kemudian memangilku. Wanita itu menyalamiku, memperhatikanku dari ujung ke ujung, sesekali mengangguk, membenahi rambutku, dan tersenyum.

“Aku tahu yang kalian butuhkan,” katanya.

Kami berdua duduk di sebuah sofa panjang, yang juga berwarna putih, menunggu si pemilik toko menyediakan apa yang kami butuhkan.

“Tadi, aku sudah mengatakan bahwa kita berencana membuatnya serba berwarna biru. Mulai dari warna penataan ruang, bunga-bunga, undangan, dan tentu saja pakaian,” dia berkata di sebelahku.

“Ya, setelah dari sini, ingat kita masih harus pergi ke tempat penyewaan bridal car,” jawabku.

Dia mengangguk dan meletakkan tangannya di atas tanganku. Tak lama, pemilik toko menghampiri kami dengan membawa gulungan satin berwarna biru tua di tangan kanannya, dan gulungan bahan lace dengan warna biru yang lebih muda di tangan kirinya. Dia mengatakan berbagai hal tentang rancangan pakaian ini, mengukur tubuhku dan Ryry bergantian, dan bermain dengan sketsa di atas mejanya. Aku menyukai imajinasinya di atas kertas itu. Apa yang dia lakukan, hampir sama dengan apa yang aku lakukan, yaitu menuangkan “kegilaan” ke atas kertas, hanya saja objek imajiner hasil ciptaan kami berbeda. Aku memperhatikan kelima jarinya bergerak terlalu cepat dari satu titik ke titik lainnya, sementara dia, lelakiku ini, terus meletakkan lengannya di pinggangku.

“Yak, selesai. Seperti ini kira-kira hasil akhir dari pakaian kalian nanti, sebuah gaun sederhana sesuai permintaan Nona penulis dan setelan jas yang cocok untuk  Tuan berkacamata bulat.”

Aku meraih kertasnya dan tertawa pelan. Ternyata memang sebuah gaun yang cantik di balik kesederhanaannya. Setelan jas itu pun tampak gagah dan memang hanya pantas untuk Ryry, menurutku. Aku harap hasilnya akan sebagus sketsanya. Beberapa menit kemudian, kami membuat kesepakatan dan pergi dari toko itu. Bel besi kembali berbunyi saat kami membuka daun pintu dan melangkah keluar.

Kami meninggalkan bridal shop itu dengan perasaan lega. Satu hal telah terselesaikan, meski masih banyak hal yang harus dilakukan. Aku memandang ke arah wajahnya dan dia menggenggam tanganku, bersentuhan dengan jemariku yang telah ia sematkan sebuah penanda, bahwa aku akan menjadi miliknya sendiri.  Bahagia. Satu kata klasik dan sederhana, namun itu yang benar-benar terasa.

Aku merogoh clutch bag-ku, meraih ponsel yang bergetar karena pesan masuk. Dari Eda:

Ada hal yang harus ku beri tahu. Namun karena kau sibuk, tampaknya aku tidak bisa menemuimu sampai hari itu tiba. Sukses dengan persiapannya J

Selasa, 13 Maret 2012

Akankah Kau?


“Jadi, ke tempat ini kau ingin mengajakku pergi?”

“Ya, menggantikan rencana kita beberapa hari lalu yang gagal karena hujan.”

“Memang bukan taman bermain yang ingin kita kunjungi, ini hanya sekadar tempat orang menenangkan diri atau mencari ide untuk karya mereka,” lanjutku.

Tempat ini justru mirip sebuah hutan kecil. Oh, oke, bukan hutan. Namun, sebuah kompleks pepohonan heterogen rimbun dengan tanah yang membukit,  beberapa kursi kayu yang dicat putih, tanaman perdu yang merambat menutupi tanah subur, pemandangan hijau menghiasi tiap sudut, dan beberapa orang yang kebanyakan datang tanpa teman. Jelas mereka datang ke sini hanya untuk dirinya sendiri. 

Aku mengajaknya mendekati sebuah kolam kecil di tengah-tengah, dan menunjukkan sesuatu padanya. Kepalanya tampak bergerak-gerak mencari apa yang ku maksud.

“Kau pasti tahu apa ini.”

“Daun semanggi?”

“Ya, atau yang disebut clover, tapi ada hal yang unik, lihat jumlah daunnya.”

Tanpa menunggu dia menjawab, aku meneruskan kalimatku.

“Sebenarnya ini hanya mitos, namun dalam berbagai kisah disebutkan bahwa clover berdaun  lima membawa keberuntungan.”

Dia tampak tersenyum remeh dan mengangkat satu sisi ujung bibirnya. Aku tahu bahwa dia tidak menyukai segala sesuatu berbau mitos atau sekadar legenda. Tapi, kemudian dia mengambil daun itu dari tanganku.

“Baiklah. Biar ku pegang daun ini, berharap akan muncul hal-hal yang menyenangkan datang padaku hari ini.”

Dia menarik tanganku dan kami berjalan bersisian, namun tidak saling menggenggam. Sesekali dia tertawa terbahak mendengar ceritaku. Rambutnya berjatuhan menutupi dahi saat dia berusaha mengejar langkahku yang ku percepat untuk menggodanya. Raut wajahnya sedikit mengguratkan sipu saat aku melepas begitu saja sweater biruku di depannya agar dapat dia pakai menutupi kausnya yang terkena tumpahan air iced lemon tea yang kami beli. Beberapa orang tua memperhatikan tingkah kami, namun kami hanya tak peduli.  

Lalu, aku mengajaknya naik ke bagian tanah yang berbukit. Bagian dengan perdu dan rumput yang lebih menghijau. Di sana, dia terduduk di sampingku yang berbaring di atas rerumputan. Punggungnya tampak naik turun karena kelelahan harus menaiki bukit kecil ini. Langit senjakala yang mulai memperlihatkan warnanya, membuat dia ikut merebahkan diri di sebelahku. Di tempat ini, kami merasa lebih dekat dengan langit. Warna senja yang merah, kekuningan, dan bercampur ungu tampak seperti kapas manis aneka rasa. Beberapa saat kami terus tertawa dan bercerita, hingga aku mengeluarkan benda berwarna merah tua dari saku celanaku. Hadiah yang sedianya ku berikan di hari ulang tahunnya kemarin. Aku duduk, memintanya mengikuti, lalu mengeluarkan kata-kata yang seharian kemarin terus berputar di kepalaku. Aku tahu dia menangkap maksudku saat ku tunjukkan benda itu padanya, namun ia masih menunggu kata-kata.

"Ti amo, mi vuoi sposare?"*

Dia hanya terdiam penuh arti, dan tidak ada penolakkan saat aku meraih jari manisnya.

*I love you, would you marry me?" (in Italian)

Sebuah Hadiah

Sontak terdengar keributan begitu aku memasuki ruang studio di mana aku dan teman-teman biasa bermain musik. Mereka terlihat tertawa dan berkata dengan nada tinggi satu sama lain karena terganggu oleh suara alat musik yang dimainkan. Melihat aku yang terbengong sejak datang dan tak beranjak dari pintu ruangan, mereka tersadar. Argi menghampiriku dan menjabat tanganku. Dia mendudukkanku di salah satu kursi dan menepuk pundakku.

“Lagu kita terus-menerus diputar di sebuah stasiun radio swasta, hal ini membuat sebuah layanan provider berminat memakai lagu kita sebagai jingel iklan mereka. Bagaimana?”

“Bahkan, mereka bersedia memberi kita uang muka. Hari ini kita pergi bersenang-senang.”

“Aku tidak bisa ikut, maaf. Hari ini aku ada rencana sendiri.” Jawabku.

Tampaknya semua temanku sedang bersuka cita merayakan hal ini. Tentu saja mereka bahagia atas keberhasilan ini, begitu pun aku. Aku berjalan menuju keyboard dan memainkan beberapa nada di atas tutsnya. Teringat akan sesuatu yang penting, lantas jemariku memainkan lagu khusus untuk hari istimewa ini. Hari ini, dia bertambah umur. Senang rasanya bisa menjadi bagian penting dari hidupnya saat dia bertambah dewasa. Happy birthday…

Sepulang dari tempat ini, aku akan menghampirinya. Memang semalam sudah ku katakan kalimat ucapan dan doa-doa tulus, namun belum lengkap bila tak melihat wajahnya langsung di hari di mana dia menjalani awal yang baru. Mungkin hanya mengucapkan ulang kalimat yang sama dan mengecup pipinya akan menjadi hal yang paling menyenangkan hari ini.

Aku berjalan melangkah ke luar studio dan meninggalkan teman-temanku. Waktu yang tepat untuk berkunjung, pikirku. Saat ini, dia mungkin sedang menghabiskan jamuan sore harinya, dengan teh hangat, panganan manis, dan buku-buku tebal. Langkah kakiku ringan dan teratur karena terbawa perasaan rindu yang akan terpenuhi. Aku melewati jalanan berwarna  marun dengan banyak lampu yang mulai dinyalakan, beberapa toko mulai menutup tirainya, dan coffeshop di sudut blok mulai terlihat makin marak dan hangat. Beberapa detik kemudian, mataku tertuju pada sebuah toko berukuran besar yang masih buka. Memang sepi, namun pemiliknya masih memajang beberapa barangnya di etalase kaca yang tampak dari luar. Aku berbelok melangkahkan kakiku memasuki pintunya. Pemilik toko menyapaku ramah dan menanyakan kebutuhanku. Tak lama kemudian, aku pergi dengan mengantungi benda kecil berwarna merah tua. Langkahku semakin ringan.

Sekitar 15 meter lagi menuju halaman rumahnya yang rindang, aku justru semakin memperlambat langkah. Aku melihat sosok yang ku kenal dengan pasti. Seseorang dengan sepedanya itu berhenti di depan rumah dan menaiki tangga kayu. Selang beberapa lama, muncul sosok yang ingin ku temui dari balik pintunya. Sosok yang ku rindukan dan ingin ku kecup pipinya sore ini. Lalu, tampak sekali binar wajah bahagia dari si pemilik hari ini, sedangkan sosok yang lain dan membelakangiku tampak mengucapkan sesuatu serta membuka kedua tangannya lebar-lebar. Sontak dia menyambutnya. Seketika, Nisya berada dalam rengkuhan sosok itu dengan raut yang sulit ditebak, namun kebahagiaannya tak dapat disembunyikan lagi.

Aku berbalik dengan berjuta rasa berkumpul dalam dadaku. Jelas aku cemburu, namun mengingat aku sendiri yang kemarin meminta Eda menemui Nisya, seketika aku merasa bodoh. Apa lagi ini hari ulang tahunnya, bukankah aku justru telah memberinya hadiah terindah. Berjalan menjauh dari tempat itu, kemudian ku raih ponselku. Suara Nisya terdengar di ujung sana.

“Halo. Hi, my birthday girl. Hmmm, maaf hari ini aku tak datang. Tapi, bisakah ku ganti dengan esok?”

Senin, 12 Maret 2012

Satu Lelaki terhadap Lelaki Lain

Entah di mana ku letakkan otakku hingga dengan santainya aku datang ke rumahnya sepagi ini.  Sebenarnya hari sudah cukup siang begitu ku lirik jam di tangan kiriku, namun terlalu pagi untuk sekadar berkunjung saja, dan ku yakin dia masih terlelap. Namun, ada sebuah urusan yang kali ini membuatku datang kemari. Ambil saja sisi positifnya, aku bisa berjalan kaki merasakan curahan sinar matahari pagi yang memasuki pori-poriku sekaligus  menikmati aura kota ini saat belum terlalu ramai dan berpolusi. Langkahku semakin pelan ketika memasuki pekarangan rumahnya.

Perlahan, aku mengepalkan tangan siap mengetuk daun pintu, namun kembali ku urungkan. Aku yakin dia berpikir bahwa kehadiranku di sini untuk alasan yang dapat ditebak, namun apa dia bisa menerima kehadiranku sebelum kecurigaannya lebih dahulu menang. Akhirnya, ku ketuk pintunya beberapa kali. Ternyata, tidak terlalu lama sampai terdengar suara langkah kaki mendekati pintu, disusul bunyi derit pelan, dan akhirnya kami berdiri berhadapan. Walau sudah ku siapkan diri sebelumnya, aku tetap memasang wajah setengah kikuk saat dia memandang mataku dengan tatapan yang tak bisa ku tebak. Alisnya nampak naik dan bibirnya terkatup, tangannya yang sedari tadi terletak di lehernya bahkan tak kunjung turun untuk sekadar menyalamiku atau memberi gerakan selamat datang, entah dia kaget atau malas dengan kedatanganku. Ya, wajar dia memasang tampang seperti itu, selain karena masalah hati, mungkin aku pun telah mengganggu tidurnya.

“Hai, kau rupanya. Sepagi ini. Masuklah,” katanya sambil membalikkan badan dan berjalan malas.

Aku mengikutinya masuk ke sebuah ruangan yang dari sana dapat dilihat sebuah taman kecil. Taman yang ditumbuhi sebuah pohon besar dan ada sisa kerangka rumah kayu di atasnya.  Taman yang dilengkapi dua ring basket, namun yang satu pun telah dimakan usia. Ingatanku secara otomatis terputar pada beberapa cerita yang telah lalu. Cerita tentang sebuah rumah yang nyaman dan hangat. Rumah yang memiliki taman kecil dengan rumah pohon dan lapangan basket. Taman kecil tempat sepasang sahabat kecil bermain sepanjang waktu, tertawa bersama dan terkadang bertengkar. Ya, Nisya beberapa kali pernah mengisahkannya padaku dengan binar-binar kebahagiaan yang tak dapat ditutupi.

“Apa yang membawamu ke mari? Ini, minumlah,” dia menghentikan lamunanku.

“Sudahlah, kamu pikir aku meracunimu dengan minuman ini,”

Aku tertawa pelan, lalu meraih segelas besar hot chocolate yang dia tawarkan. Nisya pernah bercerita kalau ini minuman favorit mereka berdua saat bersama. Aku menyesap cairannya saat dia duduk menyusul di sebelahku. Beberapa detik tercipta keheningan sebelum aku membuka mulut.

“Ku pikir, kau akan langsung memukulku begitu tau aku yang mengetuk pintu rumahmu sepagi ini.”

 “Untuk apa?” Dia tertawa. Tanpa menjawab pertanyaannya aku berkata:

“Hmm, akhir-akhir ini Nisya bercerita kalau engkau sulit ditemui atau bahkan sekadar menghubunginya. Kenapa?”

Eda hanya memandang ke dalam gelas besarnya dan meminum isinya sebelum benar-benar menjawab pertanyaanku.

“Sebenarnya, kau tidak perlu khawatir, begitupun Nisya. Aku sudah mengatakan padanya, aku akan menemuinya saat aku siap.”

“Siap?”

“Ya, saat aku benar-benar menerima bahwa dia kini sepenuhnya milikmu.”

“Aku tau apa masalahmu, tap di balik semuanya, kau tetap sahabatnya, bukan?”

“Selalu! Aku selalu jadi sahabatnya, dan karena itu aku harus tau porsiku, hanya saja kau pasti tau rasanya kehilangan.”

“Ya, aku harap kau bisa menerima hal ini,  tidak membenciku, atau bahkan membuat dia khawatir.”

Dia memandang ke arahku dengan tatapan yang lebih tenang. Di sini aku makin yakin dia tidak akan memukul atau meracuniku karena cemburu.

“Aku berusaha. Berusaha bisa menerima hal ini, berusaha tidak membencimu, dan berusaha membuat Nisya tak khawatir. Terima kasih kau peduli”

Lalu, imajinasiku kembali pada sepasang sahabat kecil yang berlarian di sebuah taman kecil. Mereka akhrinya dibawa oleh waktu ke sebuah kenyataan yang baru.

Siang itu, ku tinggalkan rumahnya dengan perasaan yang saling berlawanan. Tenang karena tahu dia tak memberi respons yang sebelumnya ku khawatirkan, namun merasa bersalah karena keinginanku akan seorang perempuan membuatnya justru tak bisa meraih apa yang ia inginkan, bahkan mungkin tak akan pernah bisa selama aku ingin Nisya tetap menjadi punyaku.