Rabu, 18 April 2012

Hey, Sebelas!

That morning, i touched your chin and said: hey, this is an anniversary day, isn't it? Then, you smiled at me and said: congrats! 

Peringatan 16 ke-11. Satu bulan lagi menuju hitungan satu tahun. Mungkin sebuah ukuran yang singkat bagi orang lain, yang lebih tangguh. Tapi, ini sebuah proses yang tidak terlalu mudah buat kita. Jadi, umur bulan ke-11 seperti sebuah hal yang sangat menyenangkan. Satu hal yang mungkin harus disayangkan (atau tidak jadi masalah andai kita tidak mejadikannya beban) adalah peringatan yang bertepatan dengan kenyataan bahwa kita harus merasakan sebuah rentang lagi. Maaf, pagi itu harus merepotkan lagi, mengantar gue sampai naik ke gerbong dan merasakan momen yang sama seperti perpisahan sebelumnya. Seberapa pun sulit, memang harus dibiasakan. Walau sudah selama ini, tampaknya lebih mudah untuk berteman dengan "kekosongan" dibanding saling menguatkan, saat 423 km itu harus dihadapi lagi. Tapi, ayolah! Sepertinya, tulisan untuk peringatan ke-11 ini cenderung agak "desperate" dibanding tulisan pada peringatan-peringatan sebelumnya. Harusnya ini bukan kita. Kuatlah kembali. Oh iya, untuk sabtu-minggu-senin lalu, terima kasih. Juga untuk perjalanan 1 jam naik motor itu (Kendal). Tidak menyesal. Hahaha. Sebenarnya, nggak ada kalimat berat yang harus ada di sini. Semua hanya pengulangan dari doa-doa kita sebelumnya. Amin. Ti amoooo *dancing*

Selasa, 03 April 2012

Lebih Indah

Bila aku berkata bahwa apakah aku akan gagal, maka salah satu cara untuk mengetahuinya adalah dengan mencoba.
Bila aku berkata apakah aku boleh kembali dan menemuimu, maka itu dengan membawanya dan mengenalkannya padamu.
Dan, mungkin nasib akan membawaku untuk memenuhi janjiku padamu bahwa kita akan kembali bertemu saat kita sudah menemukan kebahagiaan kita masing-masing.

Sepertinya, tiga pernyataan itu terus-menerus kuingat dalam kepalaku untuk meyakinkan bahwa hari ini aku telah menang. Tiga kalimat itu seolah lebih penting untuk kuikrarkan dibanding janji-janji terlontar yang bergaung di pagi itu, janjiku pada Nadia di salah satu hari bersejarah dalam hidup kami. Mataku memandang ke sekelilingku. Pernahkah aku membayangkan saat ini akan datang? Pernah, ya mungkin pernah. Tapi dulu, saat aku belum menemukan Nadia. Bayangan bahwa aku akan bersama dengan seseorang yang pada akhirnya tak memilihku, kecuali untuk menjadi sahabat sejatinya. Dia yang telah mengajarkan bahwa masih ada yang harus kucari, selain dirinya. Dia yang sekarang memberiku selamat. Dia yang datang bersama lelakinya dan gadis kecilnya yang sudah pandai berbicara. Nisya memelukku dan Nadia bergantian. Tampak setetes air mata di ujung matanya. Air mata kebanggaan karena aku telah memenuhi janji kami, untuk bahagia. Sementara Nadia terlihat sangat cantik dengan gaun merah bernuansa keemasan yang dikenakannya hari ini. Bunga-bunga merah terlihat dari berbagai sudut. Aku pun menyentuh kemeja berwarna senada yang terbalut tuksedo.

“Apa kau tahu sesuatu, Nad?” Tanyaku.

“Apa?”

“Aku bahagia.”

Dia tersenyum dibalik bibirnya yang berlapis lipstick berwarna terang, namun tak memandangku.  

“Mungkin tak akan sebahagia ini andai yang telah kita lalui terlalu mudah.” Jawabnya.

“Dan andai kita tidak saling menguatkan.”

“Atau bila kita tak pernah merasa ingin menyerah.”

“Bisa ini disebut kemenangan?”

“Tidak. Selama masih ada hal lain yang akan kita mulai setelah hari ini.”

“Oh ya, aku lupa! Ini hanya sebuah titik awal.” Jawabku.

Sontak aku memeluk tubuh Nadia, walau tanpa aba-aba dari siapa pun, kecuali dari dalam diriku sendiri.

Me love you.”

“Aku tahu.”

“Selama ini aku merasa bosan karena hanya menemukan aku sebagai diriku saja, aku butuh untuk dimiliki.”

“Maka, jadilah milikku selamanya.” Jawab Nadia menutup romantika dalam dekapanku.

Sebenarnya terlalu sederhana bila dibandingkan dengan yang telah kami lalui. Selayaknya hanya sebagai perayaan, maka hari ini tidak akan berarti apa-apa bila telah berakhir. Hal yang lebih menyenangkan adalah peristiwa-peristiwa yang telah mengantar kami sampai pada hari ini. Keterpurukan dalam kisah lama, keberanian untuk memulai, jarak, keraguan, dan apa pun itu. Tiba-tiba Ryry memanggilku.

“Hei, ada yang ingin berbicara dengamu.” Katanya sambil menyerahkan sebuah ponsel.

Selamat berbahagia. Maaf kami tidak bisa datang. Echi pun sangat menyesal tak dapat datang ke hari penting adiknya sendiri. Kata Argi di seberang sana.

Karena kau terlalu sibuk, huh?

Ya, mungkin minggu depan kami akan ke Indonesia. Sampaikan salam kami untuk Nadia, dan Nisya tentu saja.

Baiklah. Apa kabar di sana?

Kau sudah melewatkan musim dingin. Its summer again here. Kapan kembali ke sini?

Segera

Aku menutup telepon dan membisiki Nadia.

“Kau berminat pada kisah Hunchback of Notre Dame dalam teater di Old Royal Naval College?”

“Dalam festival musim panas lagi? Ke London?” kata Nadia sumringah.

“Ya, musim di mana kita bertemu.” Jawabku.

Senin, 02 April 2012

Metro

Aku menunggu kedatangan metro yang akan membawaku pergi. Di sepanjang jalur, tampak banyak orang pun melakukan hal yang sama, menunggu. Kebanyakan mereka bergerombolan atau berpasang-pasangan. Ada juga para backpacker yang tertidur di lantai stasiun London Underground System ini. Berbaris-baris dengan kantung tidur yang menjadi alas dan tas-tas besar yang menumpuk di sisi kanan-kiri mereka. Tampak nyenyak kelelahan dan tak memperdulikan keramaian.

Tak lama, metro yang kutunggu datang. Kulangkahkan kakiku masuk melalui salah satu pintu dan duduk di tempat kosong di depan seorang lelaki tua. Lelaki itu mengangguk-angguk karena kantuk, sementara tangannya menggenggam sebuah surat kabar yang menampilkan halaman utama tentang London Summer Festival di Hampton Court. Sebuah festival besar yang sempat kudatangi sekita dua bulan lalu, bersamanya saat musim panas, sekarang semua orang sudah mengenakan kembali mantel-mantel wol mereka untuk menghalau udara lembab dan dingin. Karena sudah musim gugur di sini. Sementara, metro yang kutumpangin terus berjalan menembus sinar-sinar lampu yang berpenjar, mengantarkanku ke bandara Heathrow. Tak tahu kapan akan kutemui lagi semua hal di sini.

Hawa dingin, ras kaukasian, metro yang sunyi, dedaunan yang mulai berjatuhan ke tanah, wangi hamburger dari pedagang-pedagang sepanjang jalan, dan orang-orang yang berjalan cepat. Semuanya kususun menjadi memori tersendiri dalam otakku sebelum kutinggalkan tempat ini. Kini, aku berada di terminal V bandara. Aku melihat sebuah cafetaria di salah satu sudut. Tak sakit namun keraba pelipisku. Mengingat sebuah kenangan yang masih tersimpan erat. Di sanalah aku menemukan bagian takdirku. Urutan-urutan mulai dari; aku menemukan visa tertinggal, melihat seorang gadis dengan dua orang polisi yang sedang adu mulut, pulang ke Indonesia, kembali ke London dan menemukan suatu kebetulan bahwa gadis itu tinggal serumah denganku, London Summer Festival, surat dari Middlesbrough, pesan chat setiap malam, dan sebuah e-mail balasan dari Indonesia, semua menambah berat langkahku. Namun, seperti janjiku pada Nadia bahwa aku akan mengambil langkah, maka setengah jam kemudian aku telah berada di atas pesawat yang akan membawaku ke suatu tempat. Kesenderkan kepala ke atas kursiku, memejamkan mata, dan berusaha menenangkan diri sendiri bahwa semua akan berjalan sesuai rencana.

Sudah mulai gelap ketika kutiba. Memandang ke sekeliling dan aku tau bahwa keadaan di sini tak jauh berbeda dengan London. Merasa lelah, aku duduk sambil meluruskan kaki di sebuah kursi besi. Kuraih ponsel menghubungi seseorang.

Aku sudah sampai tujuan.

Oh, syukurlah. Aku senang kan dapat mengambil keputusanmu dengan berani. Sekarang, temui dia.

Ya, terima kasih, Nisya.

Kuletakkan kembali ponselku ke dalam saku kananku, dan meraih sebuah benda bulat di saku kiriku. Kubuka tutupnya dan berpendarlah cahaya tipis dari benda berwarna emas. Aku tersenyum untuk menghilangkan gemetar. Baiklah. Mari selesaikan apa yang harus diselesaikan, apa pun itu hasilnya.

Berjalan keluar bandara, kuhentikan taksi, menyebutkan sebuah alamat, dan meninggalkan tempat itu. Sebuah papan besar berwarna perak seakan menyambutku. Middlesbrough Airport.

Re: .....
Dari: Eda
Kepada:  Nisya
Sent: Monday, August 18, 07.02 P.M

Tentu saja bukan aku bila se-ringan kau (Just kidding). Menurutmu, bagaimana dengan pergi ke Middlesbrough dan menemui Nadia. Mungkin dengan membawa sebuah cincin, lalu mengajaknya pulang ke Indonesia. Kau pun ingin melihatnya kan? Tentu saja, bila nasib mengizinkanku, maka aku tak akan gagal.


Re: ......
Dari: Nisya
Kepada: Eda
Sent: Monday, August 18, 04.13 P.M

Apa maksudmu dengan pulang ke Indonesia? Bukan seperti Eda yang kukenal. Ayolah!