Jumat, 30 November 2012

Bulan ke-18

Sudah terlambat sebenarnya. Tapi, begitu membuka blog ini dan melihat tulisan mengenai peringatan bulan ke-17, agak kurang rasanya bila tidak menulis;

Selamat bulan ke-18 (tanggal 16 November kemarin) . . .

Delapan belas bulan berarti satu setengah tahun ya (: Selamat menempuh bulan baru yang pastinya akan sama seperti hari-hari sebelumnya atau justru akan semakin berat. Kebetulan, tanggal 16 kemarin kita lagi bareng, jadinya memang tidak acara surat-menyurat seperti biasa. Ucapannya bisa dikatakan langsung dan hadiahnya adalah kebersamaan kita saat itu. Terima kasih untuk 18 bulan terakhir. Kira-kira 18 bulan lalu hubungan kita sedang seperti apa hayooo . . . :))

Oia, untuk apa yang didengar dari sekeliling semoga bisa dijadikan acuan dalam bertindak selanjutnya. Semoga tidak membuat kita justru menjauh karena menjadi bukan diri kita sendiri seperti sebelumnya. Berterimakasihlah atas itu (ngomong sama diri sendiri) . . .

Untuk semua yang telah memberatkanmu (termasuk antar jemput stasiun saat gue datang #justkiding hehehe.. maksudnya segala perilaku gue terhadap lo) maaf ya *:

Selamat dan love you *hug

Senin, 12 November 2012

Pendidik dan Kekerasan

Bila mendengar kata "pahlawan" kebanyakan dari kita akan berpikir tentang orang-orang yang berjuang di medan perang untuk memperjuangkan hak bersama atau mempertahankan integritas bangsa. Pahlawan memang identik dengan usaha mewujudkan kemerdekaan atas penindasan apa pun itu, baik penjajahan, pembodohan, atau pembatasan hak mutlak individu. Kini, tentu makna pahlawan telah mengalami perluasan seiring dengan perkembangan zaman. Kita yang sudah dihadiahi kemerdekaan oleh para pendahulu tentu saja tinggal menikmati hasilnya. Negara merdeka, pengakuan dunia, dan bahkan kerja sama menguntungkan dengan negara-negara yang pernah menjajah sebelumnya. Namun, bukan berarti istilah pahlawan hanya dapat disandang oleh orang-orang yang berperang pada masa dulu. Justru sekarang, kita dapat melebarkan maknanya, bahkan menjadi pahlawan itu sendiri tanpa harus berperang melawan kebatilan.

Dulu, para pemuda harus memanjat hotel Yamato, Surabaya, untuk merobek bagian biru pada bendera Belanda agar menjadi sang saka merah putih mahakarya Ibu Fatmawati. Dulu, harus ada W. S. Mallaby yang terbunuh hingga menjadi pencetus pertempuran pribumi dan pihak penjajah. Dulu, harus ada Soekarno-Hatta yang disembunyikan di Rengasdengklok demi untuk mewujudkan hari proklamasi. Dulu, harus ada 3,5 abad di bawah tindihan otoritas warga Belanda. Kita semua sekarang patut bersyukur tidak lagi hidup di masa itu. Namun, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, saat ini semua orang dapat menjadi pahlawan. Manusia tidak harus seperti tokoh Hiro Nakamura yang dapat menembus ruang dan waktu atau menjadi Peter Petrelli yang memiliki keabadian dalam serial Heroes. Serial yang menceritakan tentang orang-orang yang memiliki kekuatan tak biasa yang ditujukan untuk melindungi dunia dan masa depan. Tentu saja karena hal tersebut fiktif belaka dan karena definisi pahlawan di dunia modern sekarang ini justru lebih sederhana.

Dari sekian banyak definisi pahlawan, salah satu yang pernah saya dengar adalah bahwa pahlawan merupakan orang yang berani melakukan sesuatu hal di saat yang lain tidak ingin. Tentu saja kita bisa menyetujui pendapat ini atau mencetuskan opini lain. Kita pun tentu memiliki pahlawan masing-masing. Mungkin itu ibu, guru, atau siapa pun. Lalu, apa makna bahwa "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa"?

Tanda jasa. Sebuah benda atau keabsahan yang diberikan badan tertentu kepada orang yang berpengaruh. Guru? Mereka adalah orang-orang yang menghabiskan hampir seluruh masa hidupnya untuk belajar agar dapat mengajar. Menyumbangkan ilmu dan berbagi pengalaman. Mereka rela menempuh pendidikan untuk akhirnya mendidik. Belajar mengajar bagi mereka adalah semangat sekaligus hasrat hidup. Bahkan, seseorang pernah berkata pada saya bahwa terdapat dua profesi yang akan sangat dihormati walau oleh orang yang memiliki jabatan di atas kita. Dua profesi itu adalah dokter dan guru.  Tidak heran tentunya. Siapa yang tidak membutuhkan seorang guru sejak ia kecil bahkan sampai dewasa. Long life education. Walau pendidikan tidak hanya secara formal, namun tidak dipungkiri bahwa pendidikan formal dengan peran guru di dalamnya seolah menjadi kebutuhan pokok setiap manusia. Ilmu yang diberikan guru dapat menjadi bekal hidup bagi kita. Membuat kita siap terjun ke masyarakat. Membuka mata akan hal yang sebelumnya buram, bahkan hitam. Mengantarkan kita ke pintu gerbang dunia yang lebih luas. Bahkan sejak kita diajar hal terkecil, yaitu membaca dan menghitung. Sejak saat itu pintu dunia seolah terbuka lebih lebar bagi kita.

Keberadaan guru sebagai seorang pahlawan kadang masih diragukan oleh sebagian orang. Mengapa? Karena totalitas guru sekarang dan terdahulu sudah berbeda. Dulu, tidak perlu sesulit saat ini bila hendak menjadi seorang guru. Setiap orang yang memiliki kemampuan dan kemauan dapat terjun menjadi pendidik. Terlebih lagi saat Indonesia masih dalam masa penjajahan dan saat baru saja merdeka. Sulit untuk mencari sumber daya manusia yang benar-benar mau menyumbangkan kemampuannya sebagai guru. Sekarang, harus ada beberapa kriteria tertentu yang dipenuhi seseorang agar dia dapat menjadi guru.

Dalam dunia perkuliahan salah satunya. Seorang calon guru harus menuntut ilmu di universitas dengan jurusan kependidikan, sehingga saat dia lulus dia akan mendapat sertifikat tertentu yang disebut Akta IV sebagai modal untuk mengajar. Kabar terakhir yang saya dengar adalah bahwa sekarang seorang lulusan pendidikan yang mendapat Akta IV pun harus kembali menempuh pendidikan selama kurang lebih satu tahun untuk mendapat ilmu pengajaran. Bila dibandingkan dengan masa sebelumnya, bukankah proses menjadi guru sekarang lebih sulit? Mungkin program ini bertujuan membentuk tenaga yang benar-benar berkualitas. Namun sayangnya hal ini membatasi orang-orang yang memiliki kemauan dan kemampuan tapi tidak memiliki latar belakang yang cocok atau tidak mampu menjalani proses yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pendidik.

Sulitnya perjalanan untuk menjadi seorang pendidik hendaknya dapat diimbangi dengan kualitas yang baik mengenai pribadi pendidik. Namun, apa yang akan kita katakan mengenai masih adanya tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya di berbagi institusi? Padahal, dalam perkuliahan pendidikan guru biasanya mendapat mata kuliah yang berkaitan dengan psikologi anak didik. Bukankah seharusnya mereka memahami tata cara memperlakukan pembelajar dengan ilmu mereka? Paling tidak, mereka bisa memposisikan diri mereka sebagai orang tua murid yang menerima perlakuan kasar.

Dalam hal ini, memang tidak ada pemecahan yang mudah. Tidak bisa dilakukan pengawasan terus-menerus terhadap tindak tanduk guru. Terkadang, masalah ini baru diketahui saat sebuah kasus kekerasan sudah terjadi.  Hal-hal yang dapat dilakukan adalah sosialisasi demi sosialisasi dari berbagai pihak dalam tiap kesempatan akan pentingnya penerapan disiplin tanpa kekerasan. Sosialisasi ini dapat datang dari guru lain atau kepala sekolah saat dilakukan pertemuan, seperti upacara dan rapat guru. Selain itu, pemerintah melalui menteri pendidikan juga perlu membuat suatu langkah pemecahan mengingat tindak kekerasan masih banyak terjadi. Tindakan lain yang dapat dilakukan masyarakat adalah saling mengingatkan agar selalu mengawasi anak-anak mereka apabila mendapat tindakan tidak menyenangkan dari guru mereka agar mau segera melaporkan kepada keluarga. Kita juga dapat menulis artikel bahkan buku mengenai masalah ini agar dapat membantu membuka mata masyarakat, siapa pun itu, agar dapat mewujudkan pendidikan yang bersih dari kekerasan.

Intinya, semua bagian masyarakat ternyata dapat membantu menciptakan kondisi dan iklim pendidikan yang aman dan nyaman. Membantu mewujudkan peran pendidik yang juga bersih dari tindakan sewenang-wenang terhadap anak didiknya. Bukankah anak didik adalah calon pendidik bagi generasi berikutnya, baik dalam keluarga atau masyarakat. Contoh yang diberikan tak pelik akan mereka praktikan dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu ada baiknya kita, khususnya para pendidik, memberikan contoh yang baik dalam proses pembelajaran. Hal ini perlu dilakukan karena sekali lagi guru adalah pahlawan (yang memang) tanpa tanda jasa. Jasa mereka adalah kekal. Pemberian mereka adalah bekal. Ilmu mereka adalah penyelamat bagi mereka sendiri. Berharga di dunia dan tabungan di akhirat. Oleh karena itu, gelar sebagai pahlawan tak patut dikotori oleh penilai buruk karena tindakan mereka yang tak patut terhadap anak didiknya. Semoga akan masih banyak orang-orang yang menjadikan belajar dan mengajar sebagai tujuan hidup mereka. Semoga masih ada pula orang-orang yang mampu membayar kebaikan para guru dengan cara masing-masing. Terima kasih guruku, selamat hari pahlawan.