Rabu, 16 Mei 2012

To: Joko

Hey love, how come it could been one year? Happy anniversary, btw. You know, I just can’t guess that we can make the time so true. After all, we win, at least until this number in relation with kinda of taste from difference that we called distance! *laugh
Oh, what should I say now? I love you? Would you marry me? When can I visit your mom? Why do you hate cat and bean the most? Errrrr, just kidding. But, I can’t say nothing. Ich vermedise, Ko!
*Jabat tangan lo erat-erat* Selamat yaaaaaa…. *hug *eh

Sembilan - Pertanyaan Ayah dan Ibu

           Setelah mengantar Ayah dan Ibu pulang ke rumah, aku kembali menaiki mobilku. Siang ini semua berjalan lancar. Tak kukira ibu yang sangat cerewet dapat sangat kompak dalam menyusun semua rencana hari besar dengan Ibu Rina. Sampai pulang pun Ayah selalu larut dalam obrolan bersama Pak Nando. Sementara aku dan Jihan membentuk suasana sendiri di dapur kecil dengan perapian milik di rumahnya. Sebelum akhirnya, mereka berempat memanggil kami untuk berkumpul.
Masih kuingat beberapa perkataan mereka tadi:
“Jadi, mengapa kalian berdua memilih angka 16?”
Jihan memandangku untuk menunggu apakah aku yang akan menjawab pertanyaan Ayah. Tapi, selayaknya sebuah kesepelean yang berharga, aku berjanji untuk tidak memberitahu siapa pun akan rahasia angka itu. Jihan pun hanya tertawa-tawa kecil, salah tingkah ketika harus berbohong bahwa kami berdua hanya suka angka itu, bukan karena alasan lain.
“Baiklah, kami mengikuti pilihan kalian. Tanggal 16 bulan kesembilan.” Kata Ibu Rina, ibu dari Jihan.
Setelah itu, ibu kami kembali ramai membicarakan persiapan mulai dari makanan hingga pakaian. Memang bukan acara yang begitu harus dibesarkan menurut kami, namun bagi mereka tidak begitu.  Menurut mereka, anak sulung seperti Jihan anak bungsu seperti aku ada baiknya bila hari besarnya dimeriahkan. Padahal, aku rasa cukup dengan kehadiran kedua belah pihak keluarga. Toh, ini hanya lamaran, belum pernikahan. Ya, biarkanlah mereka merencakan semuanya. Bila mereka suka.
Malam ini, setelah mengantar Ayah dan Ibu, aku menemuimu di sudut yang sama. Kau masih sama menariknya dengan bulan-bulan sebelumnya ketika menungguku dengan dress kuning muda dan sandal biru laut malam itu.
“Akankah kita tidak akan memberitahu mereka alasan kita memilih tanggal?” Tanyamu.
Aku tertawa dan berkata:
“Tidak perlu, mereka tidak perlu tahu bahwa itu hanya rahasia kecil tentang arti sebuah angka di mana pada tanggal itu kita bertemu dan pada tanggal yang sama kita akhirnya memutuskan berpacaran.”
“Tepat dua bulan dari sekarang, di tanggal ini, hari besar itu tiba, ya hari besar bagi mereka terutama.” Jawabmu.
“Tentu saja, karena hari ini juga tanggal 16. Selamat bulan kelima belas, Sayang.”
Di langit malam itu, kita masih melihat bulan yang sama di tanggal yang juga sama, semoga selalu terulang.

Train – Marry Me

Delapan - Helaan Nafasku Saja

 Sepagi itu aku sudah menemuimu. Di saat hari masih sepearuh terasa dingin karena embun, dan langit belum sepenuhnya disinari matahari, aku sudah datang ke tempatmu. Bukankah ini hari yang penting bagi kita?
Kau masih diam di sana, bahkan saat langkahku makin dekat denganmu. Aku memperlambat jalanku dan menggenggam bunga-bunga kesukaanmu. Semoga kau bahagia pagi ini atas kedatanganku. Aku duduk tak jauh dari kau berdiam. Menyapamu dan memandangmu terus, walau kau hanya membalas semuanya lagi-lagi hanya dengan diam.
“Apa kabar? Kau nyaman di sini?”
Suara burung-burung yang terbang berhijrah dari utara ke selatan akhirnya mengisi ruang hampa di antara kau dan aku. Aku sedikit bergidik karena menurutku lebih baik bila hanya kita berdua di sini. Aku kembali bicara:
“Tenanglah, aku terus berdoa agar kau selalu mendapatkan yang terbaik. Oh iya, ini beberapa kuntum Lily untukmu. Kau selalu suka bunga ini, cantik.”
Aku meletakkan rangakaian bunga itu di dekatmu. Bunga cantik dan berwarna putih. Menggambarkan dirimu dan hatimu, cantik dan putih, terutama saat terakhir aku melihat wajahmu. Semua masih sunyi, bahkan di hari penting kita ini. Hari di mana lima tahun lalu kita merasakan kebahagiaan tumpah ruah dalam sebuah fase baru yang disebut pernikahan. Sebuah ikatan berkomitmen yang nyatanya membuat kita justru semakin ringan tanpa merasa terikat. Kebahagiaan lima tahun lalu yang harus selesai dua tahun kemudian karena satu hal, leukemia. Kau masih diam, tak ada suara, kecuali helaan nafasku dan suara seorang penjaga makam yang tengah bekerja menyapu rerumputan. Aku menyentuh pusaramu yang tanahnya sedikit basah karena embun, kemudian memejamkan mataku.
“Selamat hari jadi kelima tahun, cantik. Entah sampai kapan aku bisa lepas dari bayang dirimu. Bahagialah terus di sana.”
Lalu, air mataku menetes tanpa dikehendaki. Aku tahu kau tidak suka aku begini. Di sana, aku yakin kau melengok untuk melihatku. Tak apa bila kau mengasihani aku, cantik.

Blue – Breath Easy

Tujuh - Prajurit di Tahun Ketiga

             Di singgasana kebesarannya, Ayah tampak gusar. Ibunda duduk di sebelahnya sambil menenangkan Ayah, tak kalah gusar. Prajurit kebanggan Ayah, Lenox, berjalan cepat menghampiri singgasana dengan cepat didampingi dua pengawal kepercayaannya. Bila Ayah selaku pemimpin di kerajaan ini mengumpulkan orang seisi istananya, pastilah ada hal besar yang akan terjadi. Baju kebesarannya berwarna keabuan, seolah senada dengan kegelisahannya. Seketika Lenox langsung meletakkan lututnya di lantai saat tiba di depan Ayah.
“Apa hal penting yang telah membuat Raja mengumpulkan kami di sini?” Tanyanya.
”Pasukan yang dikirim Raja Troy sudah mendekati daerah kita. Dalam waktu dua jam mungkin meraka sudah tiba di sini.”
“Apakah kami harus segera menyelamatkan penduduk ke tempat yang lebih aman, Raja?”
“Ya, usahakan dalam waktu satu jam, utamakan wanita dan anak-anak, termasuk istriku dan puteriku.”
Aku memandang Ayah dan Lenox bergantian. Tatapan kami bertemu di satu titik. Raja Troy bukanlah seorang raja yang bijak. Otoriter dan kejam. Sayangnya, kerajaan yang dipimpin Ayah harus memiliki permusuhan yang mendarah daging dengan Troy sejak dulu. Lenox menyanggupi amanat ayah dan memerintahkan pada seluruh pasukan untuk bergerak. Semua penduduk masuk ke ruang bawah tanah melewati lorong menuju hilir sungai Vein. Aku sengaja menolak pergi lebih dahulu bersama ibu, aku ingin menemuinya.  Di ruang ganti, para prajurit mengenakan pakaian perang dan menyiapkan senjata. Di sini, pun aku ikut sibuk memakaikan baju kebesarannya, berlapis besi dan dipenuhi tali. Dari cermin di depannya, aku menangkap rautnya yang tampak berat meninggalkan orang yang ia sayangi, istrinya, aku. Namun, dia adalah prajurit kebanggan Ayah, dan akan memberikan yang terbaik untuk Ayah.
Semua sudah siap, kuda-kuda telah ramai meringkik seolah ikut merasakan semangat para prajurit dan aroma bahaya dari kejauhan. Kuda terakhir, paling kuat dan berwarna cokelat gelap, menunggu penunggangnya. Sementara dia, masih di gerbang besar memeluk wajahku dengan dua tangannya. Kami sama-sama tahu bahwa setiap saat masa seperti ini akan datang. Masa di mana kami harus rela dipermainkan oleh harapan hidup dan mati dalam membela kerajaan. Begitupun saat Ayah mengabulkan keinginan Lenox untuk menikahiku tiga tahun lalu, pada tanggal ini, dan pada jam yang sama seperti malam ini. Dia mencium punggung tanganku dan mengecup pelan bibirku sebelum menaiki kudanya.
“Doakan kami dan kerajaan ini. Selamat peringatan tahun ketiga pernikahan kita, Puteri Viola. Aku mencintaimu.”
Lalu, dengan sekali aba-aba, dia memimpin ribuan pasukan menuju area mematikan. Aku hanya bisa melambaikan sehelai kain di tangan kananku. Merasakan semangat yang sama dengan mereka. Aku seolah hanya ingin di sini, menantinya pulang dengan luka di pipi, namun dengan kemenangan yang nyata.

30 Second To Mars – This Is War

Enam - Pagi untuk Kalian

Selamat ulang tahun pernikahan ke-14 tahun, Mama
Dari: Papa
Secarik kertas yang aku temukan saat aku terbangun dari tidur pagi ini. Kau letakkan di sebelah  kado kecil berisi anting-anting indah yang kuinginkan sejak lama. Kau selalu begini. Memberikan kejutan demi kejutan, bahkan saat bukan hari penting yang kita rayakan. Walau sudah kukatakan jangan, namun sulit melawan kerasnya kemauanmu. Aku beranjak keluar kamar untuk mencarimu, lagipula tumben kali ini kau yang bangun lebih dulu.
Di luar, kau tampak sedang bercengkrama dengan dua jagoan kita. Si sulung 13 tahun dan si bungsu 11 tahun. Kalian duduk membentuk setengah lingkaran di depan televisi. Membicarakan dengan seru apa yang kalian tonton. Sesekali si kakak tampak terbahak menggoda adiknya, dan sang adik memasang muka kesal, sedangkan kau tersenyum sumringah di tengah kedamaian itu. Aku tersadar dan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan untuk kalian. Nasi goreng telor mata sapi dan susu cokelat. Menu sederhana namun sangat enak bila aku yang menyiapkan, begitu kata kalian.
“Selamat pagi, Ma.” Kata si sulung sambil mengecup pipiku saat menghampiri mereka.
Si bungsu berdiri dan seperti kebanyakan anak terakhir yang suka dimanja, dia memeluk pinggangku yang masih memakai celemek jingga. Aku menciumi kening mereka satu-persatu seolah untuk menggantikan kata: ‘Kalian harta yang sangat kujaga.’
Kau memandang ke arah kami dengan wajah teduh. Dengan isyarat tangan dan mata aku mengatakan bahwa aku sudah menerima hadiahmu pagi ini. Kau mengangguk bijak menambah rasa cintaku yang tak pernah sia-sia karena balasmu.
“Ayo, semua ke meja makan. Mama sudah siapkan sarapan kesukaan kalian.”
Kedua jagoan bersorak dan berlari menuju dapur. Aku menghampirimu dan merunduk agar dapat sejajar denganmu yang duduk.
“Terima kasih, Pa. Atas kesediaanmu menjadi suami dan bapak yang membahagiakan kami selama ini, juga atas cintamu itu.”
Kau membalasnya dengan sebuah senyum dan mulut yang bergerak-gerak entah mengatakan apa. Karena itulah kau menuliskan ucapan untukku pagi ini. Aku berdiri dan mendorong kursi rodamu. Kursi yang sudah kau tempati selama 2 tahun terakhir sejak kecelakaan mobil yang membuat kau lumpuh dan sulit berbicara. Aku selalu sayang kamu, Pa.

Tulus – Teman Hidup

Lima - Tahun Bersama Dani

“Berapa sendok gula yang kau berikan untuk kopiku pagi ini?”
Kau tertawa sambil terus mengaduk untuk cangkir yang lain.
“Sudahlah, aku tidak sepikun itu.” Jawabmu.
“Ya, setidaknya setelah tahun perak kita, sebelumnya kau masih pelupa.”
“Ini, minumlah. Lagipula, pada tahun emas kita, kau masih saja meminum kopi.”
“Aku tahu minuman ini tak baik untukku. Apalagi, lambungku mulai tak bisa diajak kompromi. Tapi, aku menyukainya, setiap esapan mengingatkan aku akan saat-saat terbaik kita.”
“Ya, dulu memang kita sering menghabiskan malam berdua, dengan kopi dan kue jahe buatan ibuku. Tapi aku sudah tidak meminumnya sekarang.”
Aku memegang sebelah kiri rongga perutku sambil meringis. Dia menyadarinya dan membantuku duduk di kursi rotan favoritku.
“Lihatlah akibat kerasnya kepalamu.”
Aku tersenyum di balik sakit.
“Besok pagi kau boleh mengganti isi cangkirku. Memang harusnya aku belajar sehat, bahkan Dani kita sudah dewasa sekarang.”
Bersamaan dengan itu, lelaki berumur di pertengahan 20-an masuk menghampiri kami, dia mencium tanganku dan istriku bergantian.
“Jam berapa kau berangkat dari Makassar sehingga sepagi ini sudah sampai di sini, Dani?” Tanyaku.
“Dengan pesawat paling awal. Aku rindu kalian, Kek, Nek. Selamat ulang tahun perkawinan ke-50. Aku punya ini untuk kalian.” Katanya sambil memakaikan sepasang syal hangat berwarna senada di leherku dan istriku bergantian.

Sheila on 7 - Hingga Ujung Waktu

Empat - Terbenam

            Sambil menekuk wajah kau tampak panik mengejar gerak roda-roda sepeda yang terus kukayuh dengan sangat cepat. Walau tak berkata, aku tahu kau memintaku untuk menunggu. Aku hanya tertawa dan tak menghiraukan wajah kesalmu. Hey, marilah bersenang-senang hari ini, sayang! Beberapa kali sepedamu tampak hampir mengalahkan laju sepedaku. Namun, aku tertarik untuk terus menggodamu sehingga tidak sedikitpun memperlambat kayuhan.
Di sisi kanan kita, mulai tampak hamparan pasir putih kecokelatan yang seolah membungkus rata genangan air berwarna biru bercampur hijau. Beberapa batang pohon kelapa tumbuh dan menjatuhkan buahnya ke atas pantai, sedangkan di sisi utara sebuah pulau kecil melongok turut memperindah keadaan. Aku kembali memandangmu di belakang, tampak wajahmu mulai berseri melihat keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini. Tapi maaf, aku tak berniat mengizinkanmu menang mencapai tujuan lebih dahulu sore ini. Tentu saja karena kita mengejar waktu untuk satu hal yang sama; tenggelamnya matahari.
Kilau cahaya dari besi berwarna kuning dari sepedaku memancarkan sinar saat ditimpa sinar senja. Teduh dan tenang. Mengingatkanku akan sepasang matamu; pemilik hatiku sejak 8 bulan yang lalu, tepat di tanggal ini. Bahkan, bila boleh berlebihan, kehangatan udara di sini akan tetap bersaing dengan rasa hangat kasih yang telah kau beri selama ini.  Andai ada yang dapat kulakukan untuk menggambarkannya. Aku sesungguhnya ingin berterima kasih. Tapi ingatlah, aku tidak akan membiarkankan kau mendahuluiku sore ini untuk matahari itu. Ayolah, bersenang-senang!
Sepuluh meter menjelang tempat yang kita tentukan, aku tersadar akan suatu ide dan berubah pikiran. Aku memperlambat ayuhan kaki yang memang sudah lelah. Tak lama kau tiba di sampingku dan terheran, namun tetap mendahuluiku. Tentu saja karena kita mengejar hal yang sama. Aku tahu kau paham maksudku.
Kau tiba dan berhenti lebih dulu. Meletakkan sepeda dan tidak langsung mencari matahari, namun berjalan ke arahku dan menungguku berhenti. Kau menyambar begitu saja kedua tanganku dan menariknya ke belakang tubuhmu. Ya, inilah tujuanku membiarkan kau tiba lebih dulu. Sepedaku terjatuh begitu saja ke atas pasir. Dengan tetap mendekapku berjalan ke sebuah titik. Dari sana tampak jelas sepenggal matahari yang sudah hampir tenggelam. Kau tertawa ringan melihatnya dan kemudian menatapku penuh rasa yang tidak bisa digambarkan.
“Kau lelah?” Tanyamu.
“Tidak, setelah berada dalam lingkar kedua tanganmu seperti sekarang.”
Kening kita saling bersentuhan saat aku berkata lebih dahulu:
 “Happy anniversary. Thanks for being mine.”

Nidji – Light of Love

Tiga - Dua Blok Menuju Kamu

             Langit kehilangan warnanya, dan matahari tampak abu-abu. Masih ada dua jajaran rumah membentuk blok panjang yang harus kulewati dengan berlari untuk dapat menemuimu. Tak kuhiraukan peluh yang menetesi leher hingga dadaku. Suara hela nafas pun tidak lagi serasi dengan pikiran atau ratusan langkah yang ketempuh.
“Aku tak bisa membayangkan nanti, saat kita berjauhan. Apa bisa mengambil risiko itu.”
“Mungkin sulit, dan bila kita berhasil, maka itu hadiah terbesar bagi kita.” Jawabmu.
Aku terjatuh karena kedua kakiku saling bersinggungan. Sakit di siku bertambah perih karena terkena asinnya peluh. Namun, aku hanya menatap ke depan. Sinar matahari terik yang tadi kubilang abu-abu membuat pandangan di depan tampak berbayang. Sedikit kuseka peluh di pipi dengan tanganku, kemudian berlari lagi.
“Aku sekeluarga akan berangkat lusa. Semua persiapan telah selesai. Apa kau akan menemuiku?”
“Entah apa aku kuat.” Jawabku.
Tuhan, aku anggap kelelahan ini tidak akan seberapa bila aku dapat melihat lagi senyum dengan dua lesung pipi di wajahnya, walau untuk terakhir kali, sampai kami bertemu lagi. Satu blok lagi akan terlewati. Matahari tak sedikitpun memberikan kemudahan atas jalanku. Sambil sedikit mengerang aku melihat jam di tangan kiriku, dua puluh menit lagi.
“Sesampai di sana aku akan segera mengabarimu. Aku paham bila kau tidak ingin datang saat kepergianku.”
“Apakah waktu akan berjalan sangat lambat saat kau tak ada?” Tanyaku.
“Ya, seperti waktu tanpa kau di sisiku.”
Dan, dengan sisa nafas yang masih ada, aku berhenti di depan rumahmu. Kau tampak memasukkan boneka panda besar ke dalam mobil. Pemberianku sebulan lalu. Kau menyadari kehadiranku di balik hiruk-pikuk persiapan kepindahanmu dan keluarga ke kota lain. Kau tersenyum dan memberi tanda agar aku mendekat.
“Aku datang. Semua akan tetap berjalan sesuai rencana?” Tanyaku masih tak percaya.
“Ya, aku tahu kau akan datang. Tentu saja semua akan tetap berjalan sesuai rencana. Sebentar lagi kami berangkat.”
Kemudian, kau memelukku tak peduli dengan sisa peluh yang masih ada.
“Aku akan merindukanmu, sangat. Selamat hari jadi bulan ketujuh untuk kita.”
Lalu aku hanya bisa membalas dekapanmu dengan lebih erat sambil berdoa agar air mata ini tidak jatuh.
  
Evan and Jaron – Distance

Dua - Kidung

Di tanganku, enam dawai itu masih bergelinjang, bergantian memadukan nada per nada menjadi sebuah ritme, dan akhirnya membentuk alunan kidung yang bergema terbawa angin di tempat kuberdiri sekarang. Sedari tadi, cukup banyak orang berlalu-lalang lewat di depanku dan tak sedikit yang menoleh kemudian melemparkan koin dan kertas ke dalam kotak gitarku.
Kebanyakan dari mereka, yang lewat, adalah orang-orang yang memilih untuk berjalan di sore hari ketimbang menaiki sepeda atau transportasi umum. Bukan karena jarak yang dekat, namun lebih karena lamanya waktu dapat membuat mereka menikmati lebih lama pula indahnya sore bersama orang-orang yang mereka butuhkan. Sepasang suami-istri muda berjalan beriringan dan sang istri mendorong kereta bayinya, kakek-nenek yang berjalan sangat pelan dan tampak menceritakan kisah-kisah mereka satu sama lain, anak-anak kecil yang bergerombol dan berlarian pulang sekolah, atau sepasang perempuan-lelaki yang saling mengaitkan jari mereka.
Aku ingat sebuah lagu. Lagu dari segala lagu. Terbaik dari beberapa yang kusuka.  Mengapa aku baru mengingat lagu ini sekarang, sejak keberadaanku di depan toko kue ini sepanjang sore hingga malam sejak seminggu yang lalu. Nada riang mengawali. Lalu, aku tak menginginkan siapa pun peduli, aku hanya ingin menyanyi dan merasakan momen yang sama tiap bulannya. Mereka diam-diam menyimak dan mendekat. Makin lama, makin banyak. Tersenyum, berdendang, dan menggerakkan badan. Hingga lagu ini selesai diiringi tepuk riuh berpasang-pasang tangan dan hujan koin, juga kertas. Aku tertawa memamerkan gigi-gigiku, bukan sekadar karena euphoria ini, namun karena kahadiranmu dari balik jalan. Kemudian, berhenti tak jauh dariku.
“Bagaimana pertunjukkanmu hari ini?” Tanyamu saat aku menghampiri.
“Terbaik dari beberapa hari yang sudah-sudah. Karena sebuah lagu.”
“Aku mendengarnya. Lagu yang sama setiap bulannya. Dan kau selalu melakukan yang terbaik” Jawabmu.
Happy anniversary.” Kataku di depan wajahmu.

Plain White T's - 1, 2, 3, 4 I Love You

Satu - Detik dan Detak

            Duduk di ruangan berwarna jingga. Tidak ada yang dapat kudengar selain detik jam yang beriring dengan detak jantung. Aku menempelkan telinga ke dinding dan berusaha mencari suara lain. Ramai, tapi bukan nyata. Ramai, namun maya dalam ingatanku. Detik terasa lambat seperti menunggu sembuh saat sakit. Begitulah aku, si penurut yang tidak pernah membangkang, saat menunggu satu tahun untuk menemuimu lagi.
Sekelebat bayangmu dengan wajah sedih hadir. Aku masih merasakan hangatnya air mata yang kau biarkan jatuh dipundakku. Masih terasa, hangat dan eratnya dekapan saat kau terisak dan aku meredakannya. Merupakan masa yang mengagumkan, saat kau percaya bahwa aku dapat menjadi terbaikmu. Ya, inilah aku, si penurut yang tidak akan berkeras diri, kecuali dalam satu hal, menginginkanmu.
Bagaimana kumelihat kau saat terakhir kita berdiri berdekatan. Seandainya ujung-ujung jemariku yang menyentuh kulitmu dapat berkata, mungkin tidak akan sesulit ini sekarang. Sebutlah aku gila, tapi ini nyata. Nyata karena kau membuatnya.
Saat ini, seolah air matamu di pundakku belum kering, aku menyentuhnya dan berkata: “Bisakah 365 hari itu dipercepat? Aku ingin memeluk dan merasakan saat melepasmu lagi. Selamat menempuh umur 5 bulan, untuk kita.”

David Choi – By My Side

Jumat, 11 Mei 2012

New Room

Tulisan pertama saat gue udah nggak nempatin kostan lama gue di Rawamangun yang udah gue tempatin hampir enam tahun sejak tahun 2006. Alasan supaya lebih dekat dengan tempat kerja membuat gue memutuskan untuk pindah ke kostan baru di daerah Lenteng Agung. Awalnya gue nemuin kostan ini waktu si ibu pemilik ngeliat gue dan temen gue kebingungan nyari tempat kost, secara di daerah itu lebih banyak lahan kontrakan. Si ibu akhirnya nawarin ke gue rumahnya. Ternyata, di rumahnya ada satu kamar kosong yang pernah dijadiin kamar kos sebelumnya. Akhirnya, gue tertarik sama tawaran si ibu karena gue anggep kostan kayak gitu bisa ngebuat gue lebih ngerasain suasana rumah.

Saat ini, sudah satu bulan gue nempatin kostan yang baru. Sebenarnya belum benar-benar betah. Gue nempatin kostan yang lama sudah hampir enam tahun, dengan teman-teman yang sudah akrab dan lingkungannya pun sudah gue pahami. Sekarang, gue harus sendirian karena cuma gue yang jadi anak kost di rumah itu, ditambah lingkungan sekitar rumah si ibu yang tergolong padat tapi sepi. Mungkin karena mereka juga bekerja atau apalah. Dua minggu awal adalah masa-masa di mana gue sedang "tidak betah banget." Bukan karena keluarga si ibu yang nggak baik. Mereka baik. Ada ibu, dan suaminya, seorang cucu lelaki berumur enam tahun, dua anak lelakinya, dan sering kali anak dan cucunya yang lain datang mengunjungi. Gue masih sering kangen kostan lama, dan tempat main di sana. Kalau dulu sepulang kerja gue lebih memilih pulang dan beristirahat, sekarang gue lebih sering kepikiran untuk main dulu. Mungkin karena sepinya kostan baru, ditambah satu lagi, agak susahnya nyari tempat makan malam. Oh iya, di dekat kostan baru ada sebuah tanah lapang yang digunakan untuk main bola oleh penduduk sekitar pada pagi dan siang hari, namun saat malam gue agak males lewat tempat itu. Ya, hahaha... Gue agak takut zzzz...

Sejauh ini sih gue mulai merasa betah. Sejauh ini hiburannya ya legolas, komik Conan, dan BB, atau TV ibu kost. Semoga kostan baru gue lambat laun bisa gantiin posisi kostan lama gue *nyengir

Sontekan

Siang ini, pacar kembali minta bantuan untuk meng-gugling jawaban ujian. Kira-kira ini jawaban yang dia butuhkan. 

Perbedaan Static Routing dan Dynamic Routing:

Static Routing
Router meneruskan paket dari sebuah network ke network yang lainnya berdasarkan rute (catatan: seperti rute pada bis kota) . . . . . 

Dynamic Routing
Router mempelajari sendiri Rute yang terbaik yang akan ditempuhnya untuk meneruskan paket dari sebuah network ke . . . . .

Good luck with your exam, hon!