Rabu, 16 Mei 2012

Tujuh - Prajurit di Tahun Ketiga

             Di singgasana kebesarannya, Ayah tampak gusar. Ibunda duduk di sebelahnya sambil menenangkan Ayah, tak kalah gusar. Prajurit kebanggan Ayah, Lenox, berjalan cepat menghampiri singgasana dengan cepat didampingi dua pengawal kepercayaannya. Bila Ayah selaku pemimpin di kerajaan ini mengumpulkan orang seisi istananya, pastilah ada hal besar yang akan terjadi. Baju kebesarannya berwarna keabuan, seolah senada dengan kegelisahannya. Seketika Lenox langsung meletakkan lututnya di lantai saat tiba di depan Ayah.
“Apa hal penting yang telah membuat Raja mengumpulkan kami di sini?” Tanyanya.
”Pasukan yang dikirim Raja Troy sudah mendekati daerah kita. Dalam waktu dua jam mungkin meraka sudah tiba di sini.”
“Apakah kami harus segera menyelamatkan penduduk ke tempat yang lebih aman, Raja?”
“Ya, usahakan dalam waktu satu jam, utamakan wanita dan anak-anak, termasuk istriku dan puteriku.”
Aku memandang Ayah dan Lenox bergantian. Tatapan kami bertemu di satu titik. Raja Troy bukanlah seorang raja yang bijak. Otoriter dan kejam. Sayangnya, kerajaan yang dipimpin Ayah harus memiliki permusuhan yang mendarah daging dengan Troy sejak dulu. Lenox menyanggupi amanat ayah dan memerintahkan pada seluruh pasukan untuk bergerak. Semua penduduk masuk ke ruang bawah tanah melewati lorong menuju hilir sungai Vein. Aku sengaja menolak pergi lebih dahulu bersama ibu, aku ingin menemuinya.  Di ruang ganti, para prajurit mengenakan pakaian perang dan menyiapkan senjata. Di sini, pun aku ikut sibuk memakaikan baju kebesarannya, berlapis besi dan dipenuhi tali. Dari cermin di depannya, aku menangkap rautnya yang tampak berat meninggalkan orang yang ia sayangi, istrinya, aku. Namun, dia adalah prajurit kebanggan Ayah, dan akan memberikan yang terbaik untuk Ayah.
Semua sudah siap, kuda-kuda telah ramai meringkik seolah ikut merasakan semangat para prajurit dan aroma bahaya dari kejauhan. Kuda terakhir, paling kuat dan berwarna cokelat gelap, menunggu penunggangnya. Sementara dia, masih di gerbang besar memeluk wajahku dengan dua tangannya. Kami sama-sama tahu bahwa setiap saat masa seperti ini akan datang. Masa di mana kami harus rela dipermainkan oleh harapan hidup dan mati dalam membela kerajaan. Begitupun saat Ayah mengabulkan keinginan Lenox untuk menikahiku tiga tahun lalu, pada tanggal ini, dan pada jam yang sama seperti malam ini. Dia mencium punggung tanganku dan mengecup pelan bibirku sebelum menaiki kudanya.
“Doakan kami dan kerajaan ini. Selamat peringatan tahun ketiga pernikahan kita, Puteri Viola. Aku mencintaimu.”
Lalu, dengan sekali aba-aba, dia memimpin ribuan pasukan menuju area mematikan. Aku hanya bisa melambaikan sehelai kain di tangan kananku. Merasakan semangat yang sama dengan mereka. Aku seolah hanya ingin di sini, menantinya pulang dengan luka di pipi, namun dengan kemenangan yang nyata.

30 Second To Mars – This Is War

Tidak ada komentar:

Posting Komentar