Jumat, 24 Februari 2012

Friday, i am in love. Surely, with my own love. And after all, it's friday anyway :)

Kamis, 16 Februari 2012

9th Month For Us

Hey. Its 16 again. So happy that we could face a moment like this again. Happy 9th month anniversary. I hope we can meet another 16, together. Thanks for being my "favourite item." Love you love :)

Rabu, 15 Februari 2012

Song Of "Very Sleepy" Wednesday

Vindicated, i am selfish, i am wrong, i am right
I swear i am right, swear i know it all along
And i am flawed,  but i am cleaning so well
I am seeing in me now, the things you swore you saw yourself

Dashboard Confessional-Vindicated

My Bday Boy

Memang telat dari waktunya. Tapi, tulisan siang ini gue kasih untuk yang baru saja bertambah umur. Telat karena ulang tahunnya jatuh di dua hari yang lalu, tepatnya tanggal 13 Februari. Maaf soalnya gue baru bisa buka blogspot hari ini :p

Senang untuk mengetahui bahwa seseorang yang kita sayang bertambah umur saat dia sedang bersama kita. Senang saat bisa menemani orang itu saat hari pertambahan umurnya. Senang seseorang yang kita butuhkan bisa bersama kita saat kita juga bertambah umur. Apa lagi kalau pertambahan umurnya dilalui dengan banyaknya hal baru dan hal baik yang telah didapat selama kalian bersama.

Happy belated birthday. Senang bisa menjadi "teman" lo saat lo bertambah usia, saat lo memiliki kemungkinan-kemungkinan baru untuk dipilih dan dinikmati di usia baru lo ini. Saat di mana lo akan bertambah tua secara umur juga pemikiran. Seperti gue, seperti yang lainnya.

Terkadang lebih suka bingung ingin memberi doa apa saja untuk yang berulang tahun. Doa yang tidak biasa. Makanya, gue minta lo yang berdoa, sedangkan gue yang mengucap "amin." Doa untuk sehat, bahagia, dan sukses selalu pasti akan ada. Doa agar lo bisa menyelesaikan apa yang ingin lo selesaikan. Mencapai apa yang lo inginkan, atau mempertahankan apa yang lo yakini. Gue harap ada gue di dalam poin-poin itu :p

Gue senang karena bisa menjadi salah satu orang yang ada di pertambahan umur lo, seperti lo yang menjadi orang yang ada saat gue bertambah umur. Selamat menikmati fase baru dan lanjutkan apa yang sudah ada. Mulai yang baru dan perbaikin yang salah. Laf you

Jumat, 10 Februari 2012

Whoa!!!

Perempuan hampir selalu berteriak saat terkejut. Respons yang tentu saja gaduh, tapi membuat mereka tenang. Mereka juga berteriak saat bahagia, saat sedih, atau saat takut. Mayoritas. Gue sendiri saat merasa kaget, seingat gue, tidak berteriak. Gue lebih suka memukul sebagai gerak refleks. Pernah mencoba untuk berteriak saat melihat idola di panggung, namun merasa kalau teriakan gue tidak "semerdu" perempuan umumnya. Pernah mencoba berteriak saat menaiki wahan di Dufan, tapi yang ada hanya memasang tampang shock. Terkadang, berteriak susah juga.

Kali Ini Mirip Badai

Lihat keluar, hujan deras. Kali ini disertai petir dan angin kencang, mungkin bisa disebut badai. Tapi, entah mengapa, gue selalu suka bagaimana pun hujan itu. Apalagi, dilihat dari jendela kaca. Namun, hujan akan dibenci oleh orang-orang di luar. Ya, gue tau :)

Air laut yang menguap karena panas matahari, membentuk gumpalan berat yang disebut awan. Saat gumpalannya sudah keberatan, isinya dikeluarkan turun ke tanah, meresap ke arah sumber-sumber air, lalu kembali menguap menjadi awan. Begitu saja terus berulang. Simpel tapi hasilnya luar biasa.

Song Of Friday

But you won't be the end of me
If you were the one you wouldn't hurt me so bad...

Westlife-How To Break a Heart

Dua bait di atas adalah bagian terbaik dari lagu ini, menurut gue. It's such a love quote.

Kamis, 09 Februari 2012

Song Of Thursday

I bruise easily, so be gentle when you handle me
There's a mark you leave, like a love heart carved on a tree
I bruise easily, cant scratch  the surface without moving me underneath
I bruise easily... I bruise easily...

Natasha Bedingfield-I Bruise Easily


Jumat, 03 Februari 2012

Song Of Friday

And i dont want the world to see me
Cause i don't think that they'd understand
When evertything's made to be broken
I just want you too know who i am...

Goo-Goo Dolls-Iris (City Of Angel Ost)

This week i started to play this old sad song again and again, then watched the video clip. I do love the movie too, City Of Angel. Hear this when you feel nobody can save anything of your own, but just yourself.

Kamis, 02 Februari 2012

Kapannnnn...


Berumur 1 tahun 1 bulan. Jatuh beberapa kali, stem beberapa kali, namun belum bisa juga gue mainkan. Sabar ya Orly. *Pukpuk Orlando*

Nyesek


Kenapa kalo gue ikut kuis iseng, (beberapa kali) gue menang. Kayak kuis ini. Tapi, akhirnya nggak bisa dateng gara-gara konsernya weekday dan akomodasi ke Bali nggak ditanggung pihak penyelenggara kuis :(

Bhahaha


Entah karena terlalu cepat mengetik teks atau apa, tapi gue menyebutnya disleksia :')

Ngalas Kaki


My favourite old white sneakers


Dibeli dengan gaji magang pertama


My friend said, this shoes makes me look like am a beliebers

Read This!!!

Ada beberapa postingan baru, beberapa cerpen lama yang ada di folder komputer. Maaf kalau font-nya beda-beda dan acak-acakan :)

Song Of Thursday


And Mama i've been cryin'
Cause things ain't how they used to be
She said, "The battle's almost won
and we're only several miles from the sun."

Maroon 5-The Sun

Hear this song when you start a day with a fully cheerful sun above your head.

Father, Like No Other


Based on Dancing With My Father by Luther Vandross
In Project of "11 Days Project (hari ketujuh, buku kedua)" by www.nulisbuku.com

Tidak akan pernah ada narasi yang tidak menyisakan keharuan bila harus menceritakan ayah. Seorang sosok yang keras perangainya, namun rasa sayangnya berlimpah ruah. Seumur hidup Ayah, aku selalu takut padanya, selalu segan, dan terkadang antipati. Bukan aku membenci Ayah, hanya saja sifatnya seperti utara dan selatan bila dibandingkan dengan Mama. Mama, dengan sifatnya, aku berani saja membangkang atau merengek. Ayah, sedikit saja aku melanggar jam pulang sekolah, maka keras perangainya akan terlihat. Ayah tidak pernah memukul, tidak pernah menyakiti fisik. Hanya saja, di dunia ini, ada beberapa sosok yang hanya dengan kata-katanya bisa membuat aku tertunduk, menangis, lalu antipati.

Ayah, sosok keras perangai yang setiap adzan subuh bahkan belum berkumandang, sudah membuka jendela rumah dan memasak air untuk mandinya sendiri. Ayah, yang sampai saat ini tidak akan bisa aku kenang sosok disfungsionalnya karena bagiku, dia selalu fungsional, taat pada kewajibannya sebagai sosok yang seharusnya. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila aku berkata kalau tidak akan ada ingatan tentang Ayah dalam sosok yang lucu. Mungkin karena waktu kami terlalu singkat dan aku terlalu segan padanya. Sayang karena takut, bukan sayang karena sebenarnya sayang seperti rasa sayang aku ke Mama.

Tapi, di balik semua kenangan tentang sosok keras perangai itu, tidak tahu mengapa aku selalu mengaguminya. Selalu ada rasa haru  yang harusnya berubah jadi bakti seandainya Ayah bisa merasakannya, saat ini. Namun, semua itu mungkin berbeda kalau Ayah masih ada dalam dunia konkret. Bukankah semua akan terasa indah saat sudah tidak ada. Di balik semua sifat Ayah yang cenderung aku takuti atau tepatnya segani, tetap selalu ada sifat yang ingin aku temukan lagi dalam sosok lain, mungkin kakak lelaki aku atau ayah dari anak-anak aku nanti. Ayah si keras perangai, selalu membuka jendela setiap pagi, bahkan sebelum adzan subuh berkumandang. Ingat, tidak boleh ada sesak untuk sesuatu yang sudah tidak ada.

Mama has to read it! :)

Back To My Hometown



In project of "Mudik Story" by www.nulisbuku.com

Hari minggu tanggal 28 Agustus kemarin, gue akhirnya bisa pulang mudik ke kampung halaman gue bareng kakak gue. Karena tadinya lebaran dijadwalkan jatuh pada tanggal 30 Agustus (selasa), maka mudik pada H-2 lebaran merupakan waktu yang tepat menurut gue. Sesampai di Lampung, dan begitu tiba di rumah, gue langsung ‘cabut’ ke rumah teman SMA gue untuk acara buka puasa bareng. Sepulang dari BukBer dengan diantar teman-teman lainnya, acara sesampainya di rumah adalah membicarakan rencana beres-beres dan masak-memasak keesokan harinya. Ternyata, keluarga besar uwak (kakaknya nyokap) berencana datang pada hari lebaran pertama dengan membawa rombongan dalam 3 mobil. Besoknya, kakak gue mau gak mau harus masak ketupat tambahan karena jumlah ketupat di rumah yang dibuat hanya 20 buah. Kakak cowok gue pun (pada keesokan harinya) merelakan diri menjaga tungku ketupat sambil "bermain" dengan burung-burung peliharaannya, sedangkan kakak cewek dan kakak ipar gue bertugas masak di dapur, mulai dari sayur ketupat hingga rendang daging sapi.
Singkatnya, senin sore semua makanan untuk menyambut hari lebaran udah lengkap dan siap. Bahkan, makan malam pun gue sekeluarga udah pake makanan lebaran. Tapi, malamnya ada kabar kalau kemungkinan besar lebaran diundur jadi hari rabu (31 Agustus). Whooott!!! Biasanya, setelah sholat magrib, mesjid-mesjid di deket rumah gue udah diramein sama suara orang takbiran, tapi karena kabar yang belum pasti itu, hanya sekitar satu atau dua mesjid yang mengadakan takbiran. Sambil nonton sidang ishbat di TV, gue dan keluarga masih harap-harap cemas, berharapnya sih lebaran tetap jadi selasa. Tapi, akhirnya, pemerintah memutuskan lebaran jatuh pada hari rabu. Ya sudahlah, walau ada beberapa yang merayakan lebaran pada hari selasa, ikutin aja kata hati, dan lebih baik ikut kata pemimpin (alias ikut yang rame).
Lebaran yang pada awalnya dijadwalkan jatuh pada hari selasa, tentu saja membuat suasana kampung udah siap menerima euforia lebaran, termasuk tutupnya pasar dan beberapa toko. Sialnya, kakak gue butuh beberapa bahan mentah tambahan gara-gara sayur ketupat yang dimasak sehari sebelumnya basi. Untungnya, kakak ipar gue berhasil nemuin bahan-bahan yang dibutuhkan. Singkat cerita, sore itu kami kembali ke dapur. Berharap semoga lebaran gak ditunda lagi. Malamnya, suasana menjelang lebaran benar-benar kerasa. Gue malah sempet mikir "ini malam takbiran atau tahun baru ya?" karena tumben-tumbennya banyak banget yang ngidupin kembang api dan petasan. Jadi, malam itu adalah pertemuan antara suara takbir, kembang api, petasan, dan pawai keliling.
 Akhirnya, Rabu 31 Agustus 2011 hari yang dinanti pun tiba. Seperti biasa, jika hari raya seperti Idul Fitri, gue pasti diajak bangun lebih awal untuk beberes dan siap-siap sholat ied. Segala makanan (ada yang sempet dibuat ulang karena lebaran diundur) sudah rapih di atas meja makan. Hanya saja, gue dan keluarga memutuskan untuk pergi sholat Ied dulu sebelum makan-makan.  Sepulang dari sholat Ied, gue dan keluarga sempet berkeliling ke rumah beberapa tetangga untuk sedikit silaturahim, setelah itu makan-makan, dan pergi ziarah. Ziarah ke makam bokap-nyokap dan kakak "kecil" gue. Tepatnya sih, bukan cuma makam bokap-nyokap, tapi makam kakek-nenek dan bibi gue yang dimakamin dalam satu area (makam keluarga). Agak merasa bersalah juga sih cuma bisa menengok makam mereka saat lebaran L Sepulang dari ziarah, gue dan kakak-kakak berkunjung ke rumah paman (adek bokap) dan juga kakek gue yang lainnya. Di rumah paman, agak "kaget" juga karena udah lama gak ngumpul serame itu. Ada nenek gue, paman, bibi, kakak ipar, keponakan, hinggasepupu. Baru ingat, kalau di hari lebaran pertama itu, setelah dzuhur masih ada "pasukan" lain yang bakal dateng ke rumah gue dan itu bakal lebih rame dari pasukan di rumah paman gue ini. Benar saja, setelah dzuhur ada tiga mobil dan beberapa motor yang ngebawa rombongan keluarga besar uwak gue. For your info, uwak gue punya 7 anak yang semuanya udah menikah dan sekarang cucu uwak gue itu mencapai 14 orang (kalau gak salah), jadi walaupun kemarin semua keluarganya gak dateng, tapi cukup untuk membuat rumah gue menjadi "TK dadakan". Hari kedua lebaran, seperti biasa, gue dan temen-temen SMA selalu ngadain kegiatan "keliling" dari rumah-ke-rumah, ya rumah-rumah temen-temen gue juga maksudnya. Jadi, kami akan mendatangi salah satu rumah dari kami, berkumpul di sana sebagai start, lalu mulai mendatangi rumah-rumah dari kami lainnya hingga ada sebuah rumah yang menjadi tempat "finish". Di setiap rumah, kami selalu ada kegiatan yang sudah terjadwal tiap tahunnya. Misal, di rumah si "A" adalah tempat makan siang, dll. Hampir tiap tahunnya juga, kami berusaha menyempatkan diri berkunjung ke rumah salah satu guru favorit kami, guru les matematika kami saat SMA. Hal yang paling kami tunggu saat berkunjung ke rumah guru kami ini adalah empek-empek dan ramalan. Kebetulan ibu guru yang satu ini sangat lihai sekali membuat empek-empek khas Palembang. Biasanya, saat kami berkunjung ke rumahnya, kami akan menggoreng sendiri empek-empek mentah untuk dinikmati bersama. Selain itu, suami sang ibu guru, ternyata memiliki “kemampuan lebih” dalam melihat sekilas masa depan kami. Sejak jaman sekolah dulu, kami acap kali berebut meminta beliau untuk meramal kami: mulai dari karier hingga jodoh. Begitulah kegiatan yang selalu kami lalui di lebaran hari kedua.
Jumatnya atau tepat dengan lebaran hari ketiga, gue memutuskan untuk kembali ke tempat beraktivitas. Namun, sebelum kembali ke Jakarta, gue berencana mampir ke tempat kakak gue di Serang, Banten, untuk beristirahat semalam sebelum kembali ke Jakarta pada hari sabtu. Alasan gue dan kakak untuk kembali pada H+1 lebaran adalah agar kami tidak terlalu terjebak suasana ramai arus balik.  Jumat pagi itu, dengan sedikit berat hati, gue meninggalkan kampung halaman. Berat hati karena masih ada rasa kangen pada segala sesuatu yang ada di tempat itu. Mulai dari udaranya, masyarakatnya, rumah gue dan segala isinya, juga teman-teman yang masih menghabiskan sisa liburan mereka di sana. See you all in the next Ied friends…

We Both Are Disfunctional

...Cerpen lama juga nih...

Kisah hidup seorang anak perempuan dengan kakak lelaki yang sudah menjadi teman bertengkar sejak kecil. Lalu, berubah menjadi partner in crime semenjak sama-sama beranjak dewasa.
Gue adalah seorang anak bungsu dari lima bersaudara dengan dua orang kakak perempuan dan dua orang kakak lelaki. Hubungan antara gue dan keempat kakak gue cukup dekat bagai terman walau jarak di antara kami lumayan berjauhan. Jarak umur gue dan kakak pertama gue adalah 17 tahun dan jarak dengan kakak keempat adalah enam tahun. Ya, dia, kakak keempat gue, seorang lelaki yang kini berumur 29 tahun, namun masih menyisakan perilaku mudanya yang sedikit (mungkin sangat) disfungsional. Seorang kakak lelaki yang telah gue ceritakan pada paragraf pertama narasi ini. Seorang kakak yang menjadi teman bertengkar, namun sekaligus partner in crime bagi gue. Bisa dibilang, kami adalah pasangan kakak beradik yang sama-sama disfungsional.
Oh iya, kakak gue ini adalah seorang anak lelaki yang sejak masa sekolah, terutama masa SMA, dikenal sangat bandel, mulai dari tawuran dan harus dijemput oleh ayah ke kantor polisi, hingga pulang sekolah dengan leher terluka oleh senjata tajam. Tapi, entah mengapa, dia selalu menjadi teman yang cocok bagi gue. Berikut adalah beberapa kisah yang gue rasakan sejak dulu bersamanya, beberapa kisah dari sekian banyak tentunya. Kebaikan di balik kebandelannya. Kisah unik di balik sifatnya yang keras dan pembangkang.
Suatu hari, Marta (nama sang kakak), ingin pergi main basket bersama seorang temannya yang juga gue kenal baik. Seorang lelaki tinggi dan manis yang umurnya lebih muda dari Marta. Saat itu, hari menjelang sore dan mendung. Saat gue mengintip ke luar rumah untuk mengecek apakah hujan sudah turun, gue melihat Marta sedang mengakat ummm…maaf...underwear koleksi gue yang sedang dijemur. Padahal, saat itu dia sudah berpakaian olahraga lengkap. Dapat gue tangkap isi pembicaraannya, seperti ini:
Marta               : “Coba, kurang baik apa gue sama adek gue, celana dalem aja gue angkatin.”
Sang teman      : (Cuma duduk dengan cool, sambil memandang Marta yang mengangkat setumpuk underwear).
Ternyata, di balik kelakuannya yang sangat pembangkang, Marta memiliki kepedulian soal efisiensi waktu penjemuran pakaian yang akan memakan waktu bila terkena air hujan kembali. Hmmm…
Di lain waktu, Marta berniat menikah dengan pacarnya yang hanya berbeda umur satu tahun dengan gue. Kebetulan, gue mengenal cukup baik calon istrinya ini dan gue sangat terkejut dengan keputusan Marta untuk menikah dengan pacarnya yang saat itu baru berumur 18 tahun. Apalagi, gue mengenal Marta sebagai sesosok Player
Gue      : “Kak, lo yakin mau merid?”
Marta   : “Iya, kenapa? Gue yakin kok bakal sayang dan tanggung jawab sama istri gue ini nanti.”
Gue      : “Tapi, lo kan masih anak kecil (dalam artian kekanak-kanakan).”
Marta   : (Dengan enteng menjawab) “Gue anak kecil, tapi udah bisa bikin anak kecil.”
Gue      : “Hmmmm oke… (speechless)”
Satu hal lagi, hal yang tidak dapat gue ubah dari Marta adalah sifatnya yang pemalas. Dia bahkan masih ‘bolong-bolong’ dalam hal ibadah sholat dan puasa. Saat bulan Ramadhan, gue akan sangat terkesan bila dia berpuasa satu hari penuh. Keterlaluan memang. Suatu hari, saat gue hendak makan siang di kantor, ada sebuah SMS darinya…
Marta   : Sudah jadi beli notebook-nya dek?
Gue      : Nanti pulang ngantor kak. Kenapa?
Marta   : Gak apa-apa, hati-hati ya nanti.
Gue      : Iya. Lah lo gak shalat jumat kak?
Marta   : Ini lagi ngisi khotbah kok.
Gue      : (speechless)
Lain hari, kakak ipar gue, sedang membereskan gudang di ruang bawah rumah kami. Kakak ipar gue ini memang dikenal rajin dan berjiwa keibuan walau umurnya hanya beda satu tahun dari gue. sangat mengimbangi sifat Marta yang cenderung ‘nyeleneh’ dan kadang kekanakan. Dalam kegiatan bersih-bersih itu, kakak ipar gue menemukan sebuah koper milik Marta saat dia masih kecil. Sebuah koper usang berwarna cokelat. Saat kakak ipar gue hendak membuang koper tersebut, Marta melarangnya.
Istri      : “Kopernya udah jelek, dibuang aja ya, Yah? Kalau gak dikasihin aja sama orang.”
Marta   : “Jangan! Jangan, Bu!”
Istri      : “Kenapa? Udah gak kepake gini.”
Marta   : “Buat nanti anak kita sudah gede mau ayah ajarin jadi mafia. Kan butuh koper-koper gitu.”
Istri      : (geleng-geleng).
Pernah pula suatu hari, kakak ipar gue bercerita bahwa acap kali anaknya yang saat itu masih duduk di bangku Pre School atau Pendidikan Anak Usia Dini menangis sebelum pergi ke sekolah. Tebak mengapa? Saat orangtua lain memaksa anaknya untuk pergi tepat waktu dan sekolah dengan rajin, namun di sisi lain si anak merasa malas, Marta justru membuat anaknya menangis karena hal yang berlawanan. Sangat tidak masuk di akal, Marta justru melarang anaknya pergi sekolah dengan alasan seperti ini:
Marta   : “Ngapain masih kecil udah ngoyo pergi ke sekolah, nyantai aja sekali-kali.”
(Dan di sisi lain, sang anak meraung ingin pergi ke sekolah)
Lagi-lagi gue yang mendengar cerita tersebut dari mulut kakak ipar gue hanya bisa… speechless
Itulah beberapa kisah tentang kakak lelaki gue, Marta. Dia yang selalu merebut makanan gue saat gue masih kecil, hingga gue sempat menyembunyikan makanan di balik lipatan baju dalam lemari pakaian. Marta yang pernah gue lempar dengan hiasan gelas kayu milik ibu gue hingga mengenai kepalanya dan dia menangis. Marta yang gue tendang tulang kering di kakinya saat gue kalah dalam adu argumen. Marta yang suka menentang aturan sangat berbeda dengan gue yang cenderung menyukai sesuatu yang teratur, namun terkadang dibuat malu dengan keteraturan itu sendiri. Gue cenderung tertata, namun sering kali malu-maluin. Ya, gue dan Marta sepertinya sama-sama seseorang yang disfungsional. berikut adalah beberapa hasil dari ke-disfungsional-an gue:
Setiap pagi, saat duduk di bangku SMA, gue berangkat pukul 7 pagi dengan menaiki kendaraan umum seperti ojek untuk berangkat ke sekolah. Urutan kegiatan hendak berangkat sekolah sangat terjadwal dan teratur dalam otak gue, namun entah mengapa suatu hari, urutan itu teracak. Biasanya, sebelum berangkat sekolah, gue meminta izin kepada ayah gue dengan mencium tangannya dan mengucapkan salam sebelum menutup pintu rumah, lalu pergi ke luar gerbang untuk menghentikan ojek.
Pagi itu…
Gue      : “Yah, Desi pergi dulu ya. (Mencium tangan) Assalamu’alaikum.”
(Ke luar rumah, menghentikan ojek)
Saat ada sebuah motor ojek lewat, gue menghentikannya…
Gue      : (Begitu menaiki boncengan) “Bang, Assalamu’alaikum.”
Hah? Gue menyadari ucapan gue. harusnya gue mengatakan: “Bang, jalan!” Untungnya, si abang ojek itu tidak menyadari ucapan gue. Malu.
Lain pagi, lagi-lagi kisah dengan tukang ojek…
Tukang ojek     : (Begitu gue menaiki boncengan) “Sekarang jam berapa ya neng?”
Gue                  : “Ke SMA XXXXX bang.”
Ops, lagi-lagi tidak nyambung karena gue sudah terprogram untuk menjawab seperti itu setiap kali menaiki ojek saat ingin berangkat sekolah.
Kejadian saat duduk di bangku SMP juga pernah membuat gue malu di depan teman gue. saat itu, gue hendak pergi ke kantor pos terdekat dengan sekolah saat waktu istirahat tiba. Seorang teman mengantar. Gue termasuk tipe orang yang tidak mudah mengingat jalan atau tempat, walaupun sudah pernah mendatangi kantor pos tersebut satu kali sebelumnya.
Saat memasuki sebuah gedung yang dituju…
Gue                  : (Melihat ke sekitar ruangan dengan perasaan agak asing) “Mbak, beli perangko yang harga tiga ribu, dua biji ya.”
Penjaga            : (Memandang agak heran) “Wah, Dek, kantor posnya di gedung sebelah. Ini tempat bayar rekening telepon.”
Gue                  : (Malu) “Oh, makasih ya mbak. Pantes kok tadi ngerasa kantornya agak berubah.”
Teman gue       : “Bego, lo kan udah pernah ke kantor pos sekali. Malu-maluin gue aja lo.”
Gue                  : (Ngeloyor).
Ternyata, banyak juga hal unik dari sifat yang terlalu tertata. Bukan hanya keunikan dari sifat pembangkang yang sering Marta buat. Kami adalah dua orang bersaudara yang memiliki sifat bertolak belakang. Namun, kami sama-sama memiliki sisi ‘aneh’.
Semoga sifat-sifat kami ini paling tidak dapat membuat orang sekitar kami sedikit terhibur, atau justru kesal. Walau akhirnya membuat kami terlihat seperti badut.



Bilakah?

Based on Wont Let Me Go by Mocca
In project of Tribute To Mocca by www.nulisbuku.com

Aku melihatmu berdiri di sudut itu, sejak setengah jam yang lalu. Sudut yang sama, seperti biasa. Sudut di mana kita selalu berjanji untuk bertemu dan berangkat ke tempat yang menjadi tempat kesukaan kita. Tempat yang sebenarnya biasa saja, tidak begitu menarik atau mahal, namun entah mengapa selalu jadi tempat kita untuk duduk bersama dan tertawa untuk hal yang sering kali tidak penting.
Di sudut itu, kau tampak kesal karena sudah menunggu kedatanganku yang terlambat dari waktu yang semestinya. Aku menghampirimu yang memasang muka kesal, namun tetap menarik, selalu, di mataku. Aku menggenggam dan menarik tanganmu sebelum kau sempat melontarkan kata-kata kesalmu. “Sorry, macet banget. Ayo buruan kita ke sana! Nanti, nggak kebagian tempat duduk.” Kau, tentu saja tidak sempat berkata apa-apa.
Kembali, di tempat itu. Di tempat yang selalu kita datangi hampir setiap minggu, terutama saat kita merayakan hari jadi kita. Tempat yang sekali lagi, sungguh tidak menarik atau mahal. Aku kembali memesan segelas besar hot chocolate, tidak espresso hangat seperti biasanya, namun kau, selalu sama, kembali meminta segelas besar ice capucinno tiramisu favoritmu. Oh boy, why did you never change your taste! So, how about your feeling to me? Apakah kamu masih meminum ice capucinno tiramisu itu di saat kita tidak bersama? Apakah semua akan berubah saat kita tidak lagi bersama kelak?
Di sini kita bersama, tertawa, namun tak jarang diam tanpa tahu apa yang harus dibahas. Namun, di sana, dalam detik-detik di mana kita hanya diam, aku masih merasakan semua tentangmu. Nyaman, lebih dari sekedar kenikmatan saat menyesap hot chocolate di gelas besar ini. Seketika kau mengajakku kembali tertawa, memandang ke dalam mataku, mengubah tiap mimik dalam wajahmu saat kau bercerita, menghembuskan wangi tubuhmu dalam setiap gerakmu, dan aku hanya bertugas menyerap semua yang terlihat dan terdengar dari sosokmu. Menikmatinya, semua keindahan dan harapan yang kau lontarkan. Harapan yang mungkin sama dengan yang aku miliki. Harapan di mana, minggu depan, bulan depan, dan bahkan tahun depan, kita masih bisa menikmati kebersamaan seperti ini. Aku menikmati semua yang kau lontarkan, selagi aku bisa.
Kau selalu memberikan semburat mimpi dan harapan yang terkadang bagiku tidak masuk di akal. Seorang lelaki, apakah harus selalu seperti itu? Lalu, aku seoarng perempuan, tidak ingin terlalu berharap akan semua pengucapanmu itu. Tahukah kau bahwa seseorang akan merasakan sakit saat ia justru memiliki espektasi. Aku, layaknya berada di dua sisi “keakuan” yang tidak dapat aku kendalikan. Di satu sisi, aku bahkan mungkin memiliki impian yang jauh lebih tinggi daripada milikmu, impian di mana aku melihat kita masih bersama hingga tangan Tuhan membawa kita ke alur hubungan yang lebih baik. Namun, di sisi lain, aku berpikir bagaimana suatu saat aku justru yang menyelesaikan segalanya? Bukan, bukan karena aku meragukan begitu besarnya segala yang telah kau berikan untukku hingga saat ini. Justru, aku mungkin tidak akan menemukan hal yang sama di sosok lelaki lain. Namun, apa pun bisa terjadi, dear! Sejauh ini, kita hanya berjalan beriringan dengan ringan layaknya tanpa arah. Aku menyukainya. Apa pun yang ku lalui bersamamu, aku menyukainya. Maaf bila aku masih merasa lemah. Aku hanya bersikap realistis, bahkan bila itu sulit.
Lalu, apa yang harus aku lakukan bila kudengar kau berkata, “Seandainya kita tetap bersama hingga nanti…” atau “Jika kita menikah nanti…” Oh, segala keindahan yang kau berikan dalam tingkah dan tutur katamu sudah kenikmati walau mungkin tidak akan pernah terpuaskan dahagaku akan semua itu. Tapi, tahukah kau bahwa semua itu dapat menjadi beban bagiku. Lalu, bilakah suatu saat semua berakhir, apa yang tersisa dari semua ini? Apakah kau akan melakukan yang terbaik setelahnya? Lalu, akankah aku kerindukan semua tentangmu? Apakah kau masih memesan es capucinno tiramisu-mu saat itu?  But, for now, trust me, i am in love with you, everyday! Terima kasih karena sudah bersedia aku miliki, untuk saat ini….

Tempat Hidupku Berawal

In project of  "My Hometown Buku 1: Keluarga Anak Layangan" by www.nulisbuku.com

Hari ini, hari ke 25 di bulan Juni tahun 2011. Di umurku yang menjelang 23 tahun pada bulan Desember esok, merupakan tahun kelima aku meninggalkan tanah kelahiranku, oh lebih tepatnya hampir lima tahun sejak aku memutuskan kuliah di Jakarta bulan Agustus tahun 2006. Yah, kutinggalkan tanah kelahiranku di daerah Talang Padang, Lampung Selatan. Sebuah wilayah kecil yang menjadi tempatku dibesarkan dengan berbagai momentum penting dan berkesan.
Lampung sebenarnya menjadi daerah tujuan tranmigrasi yang cukup diminati oleh penduduk Indonesia, terutama oleh pendduduk di Provinsi Jawa. Mungkin karena Lampung terkenal kaya akan sumber daya alam, seperti hasil perkebunan, pertanian, dan juga perikanan karena sebagian besar wilayah Lampung bahkan belum terjamah atau masih berbentuk lahan liar. Selain itu, banyak terdapat kawasan perairan di  sana. Namun, hal tersebut tidak membuat tempat itu bersuhu terlalu panas. Di daerahku sendiri, Talang Padang, bersuhu cukup dingin, sehingga membuatku bisa bergulung dalam selimut tebal pada pukul 10 siang. Suatu hal yang pasti tidak akan bisa kulakukan saat di Jakarta, karena pukul 6 pagi pun terkadang sudah terasa gerah. Menjadi daerah transmigrasi membuat Lampung memiliki banyak kekayaan etnis, yaitu orang-orang dari bermacam suku yang membuat kelompok di desa-desa tertentu, bahkan nama desa-desa tersebut dapat mencirikan berasal dari mana suku yang mendiaminya. Misal, di Lampung ada desa bernama Sinar Banten yang sebagian besar penduduknya bersuku Banten, desa Sinar Semendo yang penduduknya bersuku Semendo (Semendo adalah suku yang bermigrasi dari daerah Sumatera Selatan) atau desa bernama Wonoharjo yang dari namanya dapat ditebak bahwa sebagian besar warganya bersuku Jawa.
Begitulah, sekilas cerita tentang tanah kelahiranku. Ayah ibuku sendiri bukanlah orang Lampung asli. Ayah berasal dari Banten, beliau datang ke Lampung saat ditugaskan sebagai  Pegawai Negeri Sipil yang saat itu bernama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), sedangkan ibuku berasal dari Sumatera Selatan dan pindah ke Lampung karena sejak kecil keluarga ibu memang tinggal di sana, lagi pula ibu juga berprofesi sebagai kepala sekolah sebuah Sekolah Dasar di daerah Talang Padang, sehingga membuat dia terus tinggal di sana, sampai akhir hayatnya.
Sejak lahir hingga Sekolah Menengah Atas, aku tinggal di Lampung. Saat aku duduk di kelas satu Sekolah Menengah Pertama tempat aku dan keempat kakakku yang lain bersekolah, semester akhir menjelang kenaikan ke kelas dua, ibuku pergi meninggalkanku untuk selamanya karena penyakit Leukimia yang dideritanya. Kedekatanku dengan ibu dan kesegananku terhadap ayahku yang sangat disiplin, bahkan termasuk kolot dalam mendidik anaknya, membuat aku berkeinginan pindah sekolah ke daerah Serang, Banten, ke tempat kakak tertuaku tinggal dengan keluarga kecilnya. Keinginan ini sebenarnya sudah muncul sejak lama, saat ibuku masih ada. Aku tertarik untuk sekolah dan tinggal di Serang karena kupikir di sana lebih maju dan memiliki lebih banyak fasilitas dibanding kampungku. Namun, sebelumnya ayah ibuku tidak pernah mengizinkanku pergi ke sana, mungkin karena saat itu aku masih terlalu kecil. Setelah kepergian ibuku, entah mengapa ayah memperbolehkan aku tinggal di Serang. Mungkin karena pengaruh kakakku juga yang membujuknya. Akhirnya,aku menghabiskan masa  Sekolah Menengah Pertama di sebuah sekolah di sana dan tinggal bersama kakakku selama kurang lebih dua tahun lamanya. Ya, aku memang merasakan apa yang ingin kurasakan. Pergi sekolah dengan angkutan umum bersama gerombolan teman-temang sekolahku, bermain ke mall terdekat saat pulang sekolah, berolahraga ke stadion-stadion olahraga bagus yang ada di kota tersebut, dan fasilitas lainnya yang seharusnya membuatku betah, tetapi ternyata tidak. Ketidakbetahanku bukan karena keadaan kota yang tidak mendukung, tetapi hanya karena aku merindukan tanah kelahiran dan keluargaku di sana, juga teman-teman lamaku sejak kecil. Hal itu yang membuatku memutuskan kembali ke Lampung untuk melanjutkan pendidikan di jenjang Sekolah Menengah Atas.
Kembali ke tanah kelahiran sejak dua tahun kutinggalkan memunculkan begitu banyak rasa dalam diriku. Aku memang masih merasakan nikmatnya tinggal di kota berkembang seperti Serang, namun ternyata aku menyukai tempat tinggalku sejak kecil. Aku tahu di rumah sudah tidak ada sosok ibu yang menemani, hanya tersisa banyak kenangan dalam rumah dan kamarnya yang membuatku selalu ingat padanya. Toh, aku masih memiliki ayah yang semakin terlihat menyayangiku sejak kepergian ibu. Ayah tidak pernah menikah lagi karena lebih menyayangi anak-anaknya dibanding dirinya sendiri. Aku pun masih memiliki dua kakak lelaki yang sudah besar dan selalu menjadi teman bercerita atau justru menjadi partner in crime. Inilah tempatku seharusnya, tempat aku terjatuh saat berlarian bersama teman-teman sekolah hingga membuat ibu harus membawaku ke dokter karena luka yang tercipta cukup parah, tempat di mana aku menangis karena bertengkar dengan kakak lelakiku hanya karena berebut makanan, tempat aku pertama kali mengagumi sosok lelaki temanku saat duduk di bangku Sekolah Dasar, tempat aku dimarahi ayah karena pulang sekolah terlampu telat, tempat aku menemani ibu berbelanja ke pasar tradisional dan pulang dengan menaiki becak, tempat aku melihat sungai kecoklatan yang mengalir tepat di belakang rumahku, tempat di mana aku pulang sekolah dengan berjalan kaki tanpa harus menaiki kendaraan umum atau pergi bermain ke mall, termasuk tempat di mana akhirnya aku menemukan sosok yang aku sukai selama empat tahun terakhir.
Selepas lulus SMA, aku memutuskan untuk berkuliah ke Jakarta. Melalui sebuah tes bertaraf nasional, akhirnya aku dapat lolos menjadi mahasiswi sebuah universitas negeri di Jakarta. Sebelumnya aku juga mendaftar untuk masuk di universitas di daerah Lampung, namun aku justru mendapat jalan untuk berkuliah di ibu kota. Ayah, aku harus meninggalkannya. Ayah yang sejak kepergian ibu telah berubah menjadi sosok yang sangat berbeda. Menjadi sosok ayah sekaligus ibu. Dia memintaku untuk pulang sesering mungkin agar dapat melihat keadaanku. Ya ayah, aku pun akan selalu merindukan wangi minyak gosok yang selalu tercium dari tanganmu saat kucium setiap habis shalat atau sebelum pergi sekolah. Aku pun akan selalu merindukan tanah ini. Udaranya, masyarakatnya, suara air sungai yang mengalir di belakang rumah, langit malamnya yang selalu dipenuhi bintang, bahkan bunyi pengeras suara masjid di dekat rumahku. Apapun yang tersisa dari desa ini akan membuatku pulang kampung kapan pun aku bisa.
Momen di mana aku pasti pulang adalah saat mudik lebaran. Saat yang selalu aku nantikan. Keluarga besarku akan berkumpul di rumah induk semang kami. Rumah yang sudah cukup tua, namun sarat akan banyak kenangan. Kenangan saat aku dibesarkan di desa ini. Desa yang hampir semua warganya saling menegur saat bertemu. Pekerjaan ayah dan ibu sebagai PNS dan guru membuat mereka banyak dikenal orang, sehingga ke manapun kami berjalan, banyak orang yang sekedar menegur atau menyapa. Saat lebaran tiba, aku dan keluarga besar selalu menjalankan ibadah sholat ied di sebuah lapangan bola yang cukup dikenal warga di sana. Dapat kulihat, semua orang dengan suku berbeda berkumpul di sana saat sholat ied. Semakin saja aku mencintai tempat ini. Setelah sholat kami akan saling mengunjungi rumah kerabat yang menyediakan berbagai macam makanan tradisonal hingga modern. Ini merupakan momen yang tidak pernah terlupakan dari desaku. Begitupun dengan sifat kedaerah yang masih cukup kuat. Orang-orang di sana masih menggunakan bahasa daerah mereka masing-masing dalam percakapan sehari-hari. Bahkan, terkadang seseorang dari sebuah suku dapat berbicara dengan bahasa suku lain dengan cukup lancar, semua itu karena mereka tinggal dan bergaul dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan suku atau mungkin agama. Ayahku mengenal banyak orang yang menjadi jemaah di sebuah masjid tempat ayahku biasa beribadah, namun ayah juga bersahabat dengan seorang pemilik toko hasil bumi yang bersuku cina. Di sekolah, teman-temanku adalah orang dengan suku beragam yang masih sering menggunakan bahasa ibu mereka saat bercakap. Hal tersebut membuatku mengenal lebih dari satu bahasa daerah walau aku tidak dapat menerapkannya secara lancar dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini juga menjadi tanda khusus dari tanah kelahiranku. Ya, suku yang sangat beragam.
Sejarah yang membentuk kehidupan seseorang di masa depan. Pernyataan itu juga berlaku bagiku. Semua yang kurasakan dan menjadikanku seperti saat ini juga dipengaruhi oleh masa laluku, terutama masa-masa saat aku tinggal di tanah kelahiranku. Walau tak dapat dipungkiri, banyak juga hal di kota ini yang memengaruhiku. Tentu banyak sekali perbedaan antara kehidupan di desaku dulu dengan tempatku tinggal saat ini. Di desaku, orang-orangnya memiliki rasa saling menghormati yang lebih besar daripada masyarakat kota. Individulisme di kota tentu lebih besar karena seriap orang merasa perlu memburu apa yang mereka butuhkan. Mungkin semacam hedonisme. Di desaku, bahkan saat ada pengumuman berita duka cita di masjid, orang-orang akan menghantikan aktivitas atau pergi ke luar rumah hanya untuk mendengar berita itu secara lebih jelas. Apa di kota akan ditemukan seperti hal seperti itu? Di desa, orang akan meminta izin saat lewat di hadapanmu atau meminta maaf secara sungguh-sungguh saat dia menginjak kakimu, sedangkan di kota, orang-orang yang mengejar waktu tidak akan memperdulikan sekitarnya seperti itu. Di desa, setiap malam aku masih bisa menikmati pemandangan alam raya seperti bintang atau bulan, sedangkan di kota ini, semua terhalang oleh light pollution, sehingga hanya cahaya lampu kota yang dapat memenuhi langit.
Aku yakin aku akan selalu pulang selama aku bisa. Tidak hanya saat mudik lebaran tiba. Teman-teman sekolahku saat ini sudah terpencar di berbagai tempat untuk melanjutkan kuliah atau bekerja. Namun, kami selalu menyempatkan diri untuk berkumpul saat liburan tiba. Mereka teman-teman dekatku saat Sekolah Menengah Atas. Teman-temanku dengan suku yang beragam. Mereka juga yang selalu jadi alasan kerinduanku akan kepulanganku ke kampung halaman.
Kepulanganku pada saat tahun pertamaku di bangku kuliah, tepatnya pada tahun 2006 menjelang kenaikan ke semester kedua, menjadi tahun terakhirku dengan ayah. Ayah meninggalkanku menyusul ibu. Sempat ada kata-kata terlahir dari bibirnya yang selalu dialiri kalimat-kalimat doa. Ayah yang sangat religius berkata di saat aku menyuapinya dalam sakitnya yang cukup parah “Semoga kebaikanmu nak, membawa kamu ke surga.” Ayah, aku harap pun begitu, suatu saat kita dapat bertemu di sana, juga dengan ibu. Sungguh terasa berbeda keadaan yang terasa setelah kepergiaan ayah menyusul ibu. Rumah induk semangku di desa, kini diurus oleh salah satu kakak lelakiku. Namun, aku tidak pernah jera untuk pulang. Karena, desa itu telah memberi banyak sejarah dalam hidupku. Aku merindukan desa itu selalu. Tempat di mana aku dibesarkan oleh empat tangan manusia yang saat ini makamnya berdampingan. Karena itu, aku akan selalu pulang ke desaku, menengok rumah abadi ayah dan ibu walau hanya saat lebaran tiba.
Aku sudah terbiasa pulang kampung seorang diri sejak duduk di tahun terakhir Sekolah Menengah Atas. Lagi pula, Lampung tidak terlalu jauh dari Jakarta, 10 jam perjalanan sudah sampai. Bahkan, bisa kurang dari itu bila perjalanan lancar. Aku akan melewati perjalanan darat sekaligus menyebrang laut Selat Sunda. Kenangan yang selalu menyenangkan untuk diingat adalah saat melewati perjalanan laut ini. Juga saat melewati lahan liar yang belum disentuh tangan manusia atau jurang-jurang dangkal yang ditumbuhi berbagai pepohonan. Lahan yang terlihat sangat subur hingga kepulanganku baru-baru ini ke sana. Pemandangan hijau akan digantikan oleh kota yang semakin berkembang saat aku memasuki daerah Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi. Maskot provinsi, patung gajah yang sedang bermain sepak bola menghiasi air mancur pusat kota. Bukankah Lampung terkenal dengan sekolah gajah Way Kambas yang sampai saat ini belum pernah aku kunjungi sama sekali. Hamparan kain tapis yang juga menjadi ciri khas dari Lampung menghiasi berbagai sudut jalan. Kain tapis yang selalu dipakai dalam berbagai acara adat atau pernikahan, terutama oleh suku asli Lampung sendiri. Kain berhias benang emas yang sangat indah. Selain itu, akan tampak deretan toko penjual oleh-oleh khas Lampung, seperti keripik pisang beraneka rasa dan kopi khas Lampung yang terkenal akan aroma dan rasanya yang khas. Semua hal itu, akan kutemui dalam perjalanan pulang, pulang ke tanah kelahiranku.
Selalu ada perasaan yang sama dan pengalaman baru setiap kepulanganku. Perasaan yang membuatku selalu kembali ke masa laluku di tempatku lahir. Rasa rindu akan segala hal yang ingin kutemui kembali. Wangi udaranya, cuacanya, hangatnya selimut tebalku di kamar, bunyi aliran sungai di belakang rumah, langit siangnya yang sangat biru, suara gerbang kecil rumahku, suara anak-anak sekolah yang pulang bergerombol, hingga suara penjual ikan yang melewati depan rumah. Sebenarnya, aku merindukan wangi minyak angin di tangan ayah dan wangi baju ibuku, namun itu harus bisa aku abaikan. Karena wangi dapat terhapus oleh waktu, hanya kenangan yang dapat abadi dalam otakku.
Bulan ini sudah dua kali aku pulang. Dua-duanya dalam waktu yang singkat untuk menyelesaikan suatu urusan bersama keluargaku di sana. Kepulanganku bahkan mencuri waktu kerjaku. Kepulanganku bahkan tidak membuatku menikmati desaku secara sungguh-sungguh karena singkatnya waktu yang kumiliki. Ternyata, ada sedikit perubahan di desaku. Bukan pada air sungainya yang masih kecoklatan, bukan juga pada kemeriahan pasar tradisionalnya. Hanya saja, aku merasakan bahwa desaku ini sekarang sudah agak terasa panas. Suhu udara yang mulai berubah, entah kenapa. Aku belum melihat perubahan pada lahan liarnya. Ah, mungkin aku tidak melihat perubahannya. Mungkin saat ini masyarakat di desaku sudah mulai mengembangkan kehidupan mereka dengan cara mengubah lingkungan. Semoga tempat ini kelak tidak menjadi Jakarta berikutnya. Yah, maksudku dalam perubahan alamnya, bukan pada hal kemajuannya.
Sebesar apa pun keinginanku untuk pergi mencoba tempat baru, jauh dari desaku, tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu hari hidup baruku akan dimulai kembali dari sana. Mungkin suatu saat aku akan menemukan pekerjaan di sana atau menemukan masa depanku di sana. Menemukan calon ayah dari anak-anakku kelak. Mungkin dia orang baru atau bahkan seseorang yang pernah kukenal dulu. Mungkin aku tidak akan seperti kedua kakak perempuanku yang tinggal jauh dari tempat kelahiran kami, namun justru mengikuti jejak dua orang kakak lelakiku yang mendapat jodoh di sana, lalu membentuk pasukan kecil keluarga mereka. Ya, saat ini aku akui belum ada keinginanku untuk pulang dan menetap di sana, aku ingin melanjutkan hidupku di kota ini dulu. Mencari apa yang belum aku dapatkan. Merasakan apa yang belum pernah aku alami. Mendamba apa yang selalu tampak menarik bagiku. Namun, aku yakin aku akan selalu kembali ke sana, ke tempat aku lahir dan dibesarkan oleh empat tangan mulia yang kini makamnya berdampingan. Aku harus memastikan masa depan itu, entah itu akan tercipta di sana dan akan kutemukan bagian-bagian yang tercecer dari masa depan itu, yang kelak akan saling melengkapi. Memiliki tempat untuk diingat adalah hal yang sangat menyenangkan. Oleh karena itu, beruntunglah aku, seseorang yang memiliki kampung halaman. 

Penunggu Hujan

....Sebuah cerpen lama yang baru ditemukan dari dalam folder....


Minggu pagi ini, Rea duduk di pinggir jendela besar di kamar mungilnya. Kamar dengan cat biru muda dan tatanan apik. Merupakan sebuah kesenangan tersendiri bagi Rea, saat di mana dia bisa duduk di atas meja kecil di pinggir jendela kaca besar saat hujan turun. Duduk dengan ditemani secangkir hot chocolate dan sweater over size warna plum kesayangannya. Jendela kaca dengan gorden putih berhias sulaman ibunya. 
Sedikit demi sedikit, isi di dalam gelas besar itu pun habis. Namun, hujan belum kunjung reda. Malas pergi ke dapur untuk membuat segelas lagi, Rea memutuskan untuk mendengar alunan jazz dari music player yang ada di sampingnya. Perfect, begitu pikirnya. Di saat begitu banyak orang yang membenci hujan, Rea justru tidak bisa lepas dari momen saat hujan turun. Baginya, hujan adalah sebuah misteri yang dapat menghapus rasa sakit dan menjadi penyembuh beban.
Sebuah SMS menghentikan lamunan Rea sesaat. Pesan singkat dari Obi, teman dekatnya di sekolah. Secepatnya Rea membaca isi pesan tersebut dengan hati berdebar. Kehadiran tetes air di luar jendela bahkan terlupakan olehnya. 
Re, besok gue liat PR matematika lo ya. Oke mbel.. hehe..
Rea tercenung saat membaca pesan itu, Mbel alias Gembel, itulah panggilan Obi untuknya. Panggilan akrab sekaligus jahat baginya. Tapi, tak apalah, justru itu yang dia tunggu dari Obi. Bahkan, Rea ganti membalas panggilan tersebut dengan sebutan kupuk atau plesetan dari kupluk karena seringnya Obi memakai topi kupluk ke sekolah. Rea juga tak tau sejak apa alasan di balik panggilan gembel dari Obi untuknya, tak mengapa, asal Obi suka.
Oke, pluk, besok gue kasih tau, tapi bawain gue cokelatnya yah. Ga ada yg gratis kali : 
Obi membalas. Gumam Rea…
Hehe…
Kembali Rea menikmat alunan suara yang keluar dari music player-nya. Sisa hujan masih menetes, hampir tergantikan oleh cahaya matahari yang datang tipis-tipis di balik hujan. Sinar yang perlahan masuk ke jendela kaca besar di kamar Rea. Perlahan, sinarnya yang menyilaukan membuat Rea beranjak dari duduknya, beringsut kembali ke dalam selimut tebalnya. Cuaca di luar masih mengantarkan udara dingin ke dalam kamar Rea. Masih bisa males-malesan, sampai jam 10 deh, baru mandi. Pikir Rea.
Selesai mandi, Rea kembali di depan notebook-nya. Duduk di atas karpet bergambar Tazmanian Devil kesayangan. Ia mulai membuka tugas yang harus dikerjakan untuk dikumpulkan besok. Tugas matematika yang tadi dibicarakan dengan Obi. Masih ada sisa tiga nomor belum terselesaikan. Harus terselesaikan hari ini agar besok Obi bisa melihat. Yah, Obi sebenarnya anak yang cerdas, hanya saja, seperti kebanyakan anak lelaki yang lain, mereka terkadang sangat malas untuk belajar dan mengerjakan PR.


Senin pagi, di sekolah. Dua puluh menit sebelum bel masuk berdering. Biasanya, jam segini kelas cenderung masih kosong, namun seperti biasa, bial menjelang ujian atau ada tugas yang harus dikumpulkan, sepagi ini kelas sudah ramai oleh siswa yang saling mengerjakan tugas bersama.
"Eh, Re.. Udah dateng aja lo. Pasti buat nyontekin gue ya? Liat dong liat. Dari nomor 1 sampe selesai ya. Please…."
"Huh, giliran ada PR dateng pagi banget lo Bi. Nih, udah beres dan mana cokelat untuk gue?"
"Iya iya, perhitungan banget deh lo sama temen. Nih cokelat lo. Siniin PR lo."
Sekejap Obi langsung memindahkan jawaban dari buku tugas Rea ke dalam bukunya. Rea sangat menyukai raut wajah Obi saat sedang serius seperti ini. Tampak lebih pintar, pikir Rea. Obi yang menyenangkan. Obi yang penuh humor dan banyak teman. Tidak seperti Rea yang hanya nyaman dengan beberapa orang saja, Obi cenderung gampang memilih teman. Obi yang pemalas. Obi yang selalu memakai topi kupluk untuk menutupi rambut ikalnya. Sejak lama, Rea menginginkan Obi, entah sampai kapan. Mungkin hanya sampai batas persahabatan saja kemungkinan yang akan tercipta. Rea selalu berharap. Di luar kelas, hujan rintik-rintik turun ke bumi. Untuk kesekian kalinya, Rea terpukau oleh ribuan tetesan air yang menjatuhi tanah… 
Siang hari, sepulang sekolah…
Re, ikut gue bentar yuk, temenin gue ke toko buku. Ada buku Fisika yang perlu gue beli, kan lo yang banyak tau referensi…
Hah? Hmmm..
Pulang ke rumah gue anter.
Oh, oke ayok.
Kini, duduk di atas motor dan di balik punggung Obi. Rea sesekali memperhatikan sosok yang ia kagumi itu dari belakang. Berulang kali Rea tersenyum. Untuk kesekian kalinya Rea dapat duduk di atas motor Obi. Beruntung pikirnya. Semoga suatu saat, ia dapat merasakan momen itu saat ia berstatus bukan hanya sebatas teman bagi Obi. Rea menunggu. Kini, sudah tahun kedua mereka berteman dan merupakan satu tahun terakhir Rea menyimpan sebuah rasa yang kuat.
Di balik display buku-buku pelajaran…
Re, udah dapet nih buku yang lo saranin. Buku ini kan?
Oia itu. Ya udah gih sana ke kasir. Gue tunggu di pintu ke luar ya..
Selang beberapa menit…
Re, gue traktir yuk. Mau ngemil apa lo? Apa mau makan siang lagi? Abis itu, baru gue anter pulang.
Di sebuah sudut kafe kecil ini sekarang mereka berdua duduk. Rea memegang erat secangkir hot chocolate favoritnya, sedangkan Obi tampak asyik dengan segelas besar lemon tea. Di depan mereka sepiring kudapan hangat tersedia, menunggu, karena kini tampak hanya kebisuan di antara mereka. Hingga akhirnya Obi membuka pembicaraan.
Dorr… Diem aja lo Re. Gue mau cerita nih.
Hehe.. Cerita aja Bi. Hot chocolate-nya enak sih.
Eh, tapi  kayaknya mendung. Mending gue anter lo pulang dulu deh. Cerita bisa kapan-kapan. Buruan abisin minuman lo. Makanannya juga nih…
Obi mengantar Rea hingga tampak gerbang rumah mungil yang kamar-kamarnya dihiasi jendela kaca besar. Rea turun dari motor dan memandang Obi.
Makasih ya Bi atas traktiran lo hari ini. Oia, lo belum sempet cerita loh.
Obi tersenyum…
Harusnya gue yang say thanks. Lo udah nemenin gue ke toko buku. Oia soal tadi.. hmmm besok aja deh gue ceritain lengkapnya. Intinya hanya...gue mau cerita kalo gue..kayaknya…suka sama Nay. Lo kenal Nay kan, anak kelas 3 IPS 2 itu? 
Rea hanya memandang Obi…
Ah, besok lagi deh ceritanya. Bisa di sekolahan. Mau ujan juga, lagian udah sore. Udah ya gue pulang. Bye Rea…
Masih bisa Rea memandang kepergian Obi dengan motornya hingga sosok itu tak tampak lagi. Ternyata, hal itu yang ingin Obi ceritakan dan besok semua akan dimulai. Hari-hari yang mungkin akan penuh dengan keantusiasan Obi akan sosok Nay. Semua akan Rea dengar langsung dari mulut Obi. Obi yang menyenangkan. Obi yang selalu memakai topi kupluk untuk menutupi rambut ikalnya. Sejak lama, Rea menginginkan Obi, entah sampai kapan. Obi yang sejak dulu dan selamanya mungkin hanya menjadi sahabat baginya. Seperti biasa, Rea hanya bisa terdiam. 
Kalau memang itu yang lo inginkan Bi, baiklah, besok ceritakan semuanya…
Sekejap Rea memegang gagang pintu rumahnya. Namun, sejenak ia menundanya. Di luar rumah, hujan mulai turun. Hujan yang sejak tadi dibicarakan Obi. Hujan yang selalu Rea sukai. Memandang langit mendung yang tanpa batas, Rea menunggu. Menunggu hujan turun semakin deras, ternyata tidak selama menunggu perasaannya kepada Obi akan terbalas. Namun, Rea tersenyum, sekaligus menangis. Ia datang menghampiri rintik hujan. Menyentuh airnya tetes demi tetes dengan telapak tangannya yang mungil.
Temani aku terus hujan. Samarkan air mata ini. Setidaknya, sampai rasa sakit ini reda…

Rabu, 01 Februari 2012

Song Of Wednesday

There is somethin' about your love
That makes me just wanna open up
Your flavor is the sweetest thing in life
I'm addicted to your chocolate high...

India Arie ft Musiq Soulchild-Chocolate High

Such a nice, warm, and unique love song...

2nd Month of 2012

Hey ya, selamat datang Februari di tahun 2012 dan di tahun naga air menurut penanggalan tahun Cina. Tigapuluh satu hari sudah terlewati dari tahun ini. Kali ini masuk ke 29 hari berikutnya di tahun yang sama. Selamat menimkmati ke-29 hari tersebut. Selamat berulang tahun bagi mereka yang lahir di tahun kabisat. Selamat berusaha yang lebih baik lagi dari sebelumnya.

Februari. The month of love, they said.

Reff

Sangat suka dengan bagian reffrain dari sebuah lagu milik Maroon 5 dari album pertama mereka Songs About Jane, dirilis tahun 2002. Saat itu gue masih kelas 2 atau 3 SMP, kira-kira. Namun, dulu gue nggak begitu tertarik dengan lagu ini, dibanding dengan singel andalan Maroon 5, seperti This Love atau She Will be Loved. Lagu ini, Must Get Out, nggak tau kenapa terasa menyenangkan bagi gue.

The reffrain:
I'm lifting you up, i'm letting you down, i'm dancing 'till dawn, i'm fooling around, i'm not giving up, i'm making your love, this city's made us crazy and we must get out...

xoxoxo
Adam Levine, et al.

In the comic script, xoxoxo means hug and kiss. But now,  especially in social media, xoxoxoxo can describes one kind of laugh, beside hahaha.