Selasa, 13 Maret 2012

Akankah Kau?


“Jadi, ke tempat ini kau ingin mengajakku pergi?”

“Ya, menggantikan rencana kita beberapa hari lalu yang gagal karena hujan.”

“Memang bukan taman bermain yang ingin kita kunjungi, ini hanya sekadar tempat orang menenangkan diri atau mencari ide untuk karya mereka,” lanjutku.

Tempat ini justru mirip sebuah hutan kecil. Oh, oke, bukan hutan. Namun, sebuah kompleks pepohonan heterogen rimbun dengan tanah yang membukit,  beberapa kursi kayu yang dicat putih, tanaman perdu yang merambat menutupi tanah subur, pemandangan hijau menghiasi tiap sudut, dan beberapa orang yang kebanyakan datang tanpa teman. Jelas mereka datang ke sini hanya untuk dirinya sendiri. 

Aku mengajaknya mendekati sebuah kolam kecil di tengah-tengah, dan menunjukkan sesuatu padanya. Kepalanya tampak bergerak-gerak mencari apa yang ku maksud.

“Kau pasti tahu apa ini.”

“Daun semanggi?”

“Ya, atau yang disebut clover, tapi ada hal yang unik, lihat jumlah daunnya.”

Tanpa menunggu dia menjawab, aku meneruskan kalimatku.

“Sebenarnya ini hanya mitos, namun dalam berbagai kisah disebutkan bahwa clover berdaun  lima membawa keberuntungan.”

Dia tampak tersenyum remeh dan mengangkat satu sisi ujung bibirnya. Aku tahu bahwa dia tidak menyukai segala sesuatu berbau mitos atau sekadar legenda. Tapi, kemudian dia mengambil daun itu dari tanganku.

“Baiklah. Biar ku pegang daun ini, berharap akan muncul hal-hal yang menyenangkan datang padaku hari ini.”

Dia menarik tanganku dan kami berjalan bersisian, namun tidak saling menggenggam. Sesekali dia tertawa terbahak mendengar ceritaku. Rambutnya berjatuhan menutupi dahi saat dia berusaha mengejar langkahku yang ku percepat untuk menggodanya. Raut wajahnya sedikit mengguratkan sipu saat aku melepas begitu saja sweater biruku di depannya agar dapat dia pakai menutupi kausnya yang terkena tumpahan air iced lemon tea yang kami beli. Beberapa orang tua memperhatikan tingkah kami, namun kami hanya tak peduli.  

Lalu, aku mengajaknya naik ke bagian tanah yang berbukit. Bagian dengan perdu dan rumput yang lebih menghijau. Di sana, dia terduduk di sampingku yang berbaring di atas rerumputan. Punggungnya tampak naik turun karena kelelahan harus menaiki bukit kecil ini. Langit senjakala yang mulai memperlihatkan warnanya, membuat dia ikut merebahkan diri di sebelahku. Di tempat ini, kami merasa lebih dekat dengan langit. Warna senja yang merah, kekuningan, dan bercampur ungu tampak seperti kapas manis aneka rasa. Beberapa saat kami terus tertawa dan bercerita, hingga aku mengeluarkan benda berwarna merah tua dari saku celanaku. Hadiah yang sedianya ku berikan di hari ulang tahunnya kemarin. Aku duduk, memintanya mengikuti, lalu mengeluarkan kata-kata yang seharian kemarin terus berputar di kepalaku. Aku tahu dia menangkap maksudku saat ku tunjukkan benda itu padanya, namun ia masih menunggu kata-kata.

"Ti amo, mi vuoi sposare?"*

Dia hanya terdiam penuh arti, dan tidak ada penolakkan saat aku meraih jari manisnya.

*I love you, would you marry me?" (in Italian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar