Rabu, 28 Maret 2012

Memulai, Kemudian Melanjutkan

Malam kesekian di musim panas. Kali ini aku duduk sendiri di Hyde Park, menunggu. Kami janji untuk bertemu setelah urusannya selesai. Kulihat sisi kanan dan kiriku, tidak terlalu ramai di sini. Udara juga sangat bersahabat, tak ada rasa dingin ataupun angin yang mengigilkan badan. Aku membenarkan ikatan rambutku, melepas syal yang kugunakan karena udara menghangat, lalu mengangkat kedua kakiku ke atas bangku kayu panjang yang kududuki. Posisi yang sangat nyaman mengingat tujuanku kesini selain menunggu juga untuk “bermain” dengan hobiku. Kebetulan teman-teman lama mengajak bertemu secara online malam ini. Aku membuka layar laptop dan tak lama pikiranku telah tenggelam dalam tulisanku, juga masih menunggu dia di sini. Sebuah sapaan muncul dalam kotak Yahoo Messanger. Salah seorang teman dekatku.

Hi, Nad. Sibuk?

Just lil bit. Aku juga sedang menunggu seseorang di sini.

Lelaki yang tinggal di dapan kamarmu itu?

Pembicaraan kami tentang dia bukanlah yang pertama. Bahkan, aku telah bercerita bagaimana dia masih setengah terpuruk dalam keinginan dan pengharapannya atas seseorang di masa lalu. Seseorang yang baginya sangat berarti. Dia tak bisa melepas semuanya semudah meniupkan tumpukan debu. Saat ini, keputusannya untuk memutar arah dan menjalani hal yang baru bersamaku mungkin hanya sebuah kesepakatan yang terlalu berani, atau terkesan sembarangan. Ya, kami hanya mencoba. Tak ada salahnya dalam kata “mencoba”. Aku pun datang dari sebuah kegagalan.

Kau berpikir dia akan menikmati hidupnya dengan cara yang kalian bentuk?

Kami tidak tahu. Tapi berusaha ke sana.

Lalu, bagaimana kalau akhirnya dia tak berhasil “pindah”?

Risiko

Kau pun belum sepenuhnya “pulih”, aku tau

Lalu, kau pikir aku salah saat ini?

Hmm, hanya terkesan seperti mencari pengalihan

Tidak. Namun, kami akan melanjutkan apa yang kami mulai

Tampaknya kau harus berpikir ulang, dan meyakinkan diri…

Aku menghela nafas berat. Senang saat beberapa orang peduli akan dirimu, tapi terkadang mereka yang peduli justru membuatmu sulit untuk mempertimbangkan suatu hal. Apa aku salah? Pikiran itu kembali mengitari otakku. Bukankah setiap orang boleh mengikuti kata hati? Aku yang mempermudah, tapi mereka memperberat. Tiba-tiba sepasang tangan memeluk pinggang dan leherku dari belakang. Panas napasnya berhembus di atas tengkukku, membuatku merasa tidak sendiri lagi.

“Berapa lama aku terlambat?” Tanya Eda.

“Tidak terlambat sampai kau sendiri yang mengingatkan.” Jawabku.

Aku berbalik dan memeluk tubuhnya erat. Mencari ketenangan atas kegelisahan yang sebelumnya tercipta.

“kita hanya beberapa jam berpisah. Begitu rindukah kau padaku?” Tanyanya mengejek.

Dengan anggukan, tanpa kata terucap dari bibirku, aku menjawab pertanyaannya. Sebenarnya lebih dari semua rasa itu, aku sedang menguatkan diri sendiri. Juga meyakinkan diri, bahwa aku sungguh telah menyayanginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar