Sabtu, 24 Maret 2012

Musim Awal

Memasuki bulan Juli, terik matahari makin terasa. Kali ini, tidak ada lagi cuaca hangat dan berjalan santai di sepanjang trotoar atau taman. Sebagian besar waktu dihabiskan orang-orang di dalam rumah atau justru menggelapkan kulit di pantai. Tapi, tidak menyurutkan sedikitpun niatku untuk pergi keluar rumah mencari berbagai referensi tulisan hari ini.

Echi dan Argi tampak heran melihatku telah rapih untuk ukuran pagi di awal musim panas seperti ini. Dengan long tees A-line putih, legging abu-abu, Indian boots warna khaki, dan earphone yang kuletakkan di bahu, aku berdiri mematung di ujung tangga melihat mereka dengan heran.

"Ada yang salah?" Tanyaku.

"Tidak dengan pakaianmu. Tapi, tumben sekali kau bangun pagi dan sudah siap-siap pergi." Jawab Echi.

"Aku akan terbakar matahari bila pergi lebih siang."

"Ingin ke perpustakaan lagi, huh?"

"Yeah, dan akan mampir ke beberapa tempat. Mungkin Chinatown, coffeshop, atau . . . . hanya menaiki kereta bawah tanah tanpa tujuan."

"Oke. Take care. Kembali sebelum jam makan malam."

Aku membenarkan posisi ransel kulitku, melambaikan tangan pada mereka, dan terdengar alunan nada lembut blues begitu kukenakan earphone-ku. Kupicingkan mata melihat sinar mentari yang menyambutku di luar pintu. Kira-kira 3 bulan aku akan membiasakan diri dengan apa yang mereka sebut 'summer time'. Sementara, di sepanjang jalan orang-orang tampak berjalan lebih cepat karena panasnya cuaca.

Aneh. Di negara dengan ras kaukasian seperti ini, aku justru akhirnya memilih sebuah restoran khas Jepang. Tidak tahu mengapa, hanya saja aku ingin. Setelah seorang pelayan berbaju kimono merah menyambutkan ramah dengan mengucapkan 'irrasshaimashe'*, aku duduk di atas tatami yang terletak di ujung ruangan. Lebih tenang dan akan membantuku menulis, tampaknya.

Tanganku sibuk mencoretkan beberapa kata di atas notes yang kubawa saat seorang pelayan datang membawa ocha yang kupesan. Wangi minuman itu menggodaku untuk segera meminumnya. Rasanya yang agak sedikit pahit dan aroma teh hijau membuat pikiranku sedikit terlapangkan. Namun sedari tadi, tak ada sedikitpun kalimat berarti yang dapat kubentuk menjadi sebuah cerita. Sial, di mana ide-ide itu, gerutuku.

Hingga kuhabiskan beberapa gelas ocha, tidak ada juga yang kuhasilkan di atas kertas-kertas ini. Kutinggalkan tempat itu dengan kesal. Langkah kakiku bergerak entah kemana. Aku hanya menikmati pemandangan sepanjang perjalanan hingga tak sadar justru aku sudah tiba di rumah kembali.

"Kau pulang lebih cepat, Nad? Ingin membantuku menyiapkan makan malam?" Echi menyambutku.

"Umm, tentu saja."

"Oh ya, malam ini orang itu akan berangkat dari Jakarta."

"Siapa?"

"Dia yang kamarnya terletak di depan kamarmu tentu saja, pernah kuceritakan tempo hari."

"Oh. Aku ingat."

"Mungkin dia akan tiba di sini esok pagi."

Aku hanya mengangkat bahu dan terus mengaduk bahan sup untuk makan malam. Pikiranku masih berkutat pada sulitnya membuat tulisan. Mungkin masih lama aku harus menetap di tempat ini sampai citaku terwujud. Kulihat cuaca masih sangat cerah di luar. Kali ini matahari mungkin baru akan terbenam pukul 8 malam. Echi menyambut kepulangan Argi di depan pintu. Lalu, kami menikmati makan malam bersama, seperti biasa. Yah, rutinitas yang lama-kelamaan mungkin akan menjenuhkan.

Malam ke-17, di London.

*irrasshaimashe = Selamat Datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar