Senin, 12 Maret 2012

Satu Lelaki terhadap Lelaki Lain

Entah di mana ku letakkan otakku hingga dengan santainya aku datang ke rumahnya sepagi ini.  Sebenarnya hari sudah cukup siang begitu ku lirik jam di tangan kiriku, namun terlalu pagi untuk sekadar berkunjung saja, dan ku yakin dia masih terlelap. Namun, ada sebuah urusan yang kali ini membuatku datang kemari. Ambil saja sisi positifnya, aku bisa berjalan kaki merasakan curahan sinar matahari pagi yang memasuki pori-poriku sekaligus  menikmati aura kota ini saat belum terlalu ramai dan berpolusi. Langkahku semakin pelan ketika memasuki pekarangan rumahnya.

Perlahan, aku mengepalkan tangan siap mengetuk daun pintu, namun kembali ku urungkan. Aku yakin dia berpikir bahwa kehadiranku di sini untuk alasan yang dapat ditebak, namun apa dia bisa menerima kehadiranku sebelum kecurigaannya lebih dahulu menang. Akhirnya, ku ketuk pintunya beberapa kali. Ternyata, tidak terlalu lama sampai terdengar suara langkah kaki mendekati pintu, disusul bunyi derit pelan, dan akhirnya kami berdiri berhadapan. Walau sudah ku siapkan diri sebelumnya, aku tetap memasang wajah setengah kikuk saat dia memandang mataku dengan tatapan yang tak bisa ku tebak. Alisnya nampak naik dan bibirnya terkatup, tangannya yang sedari tadi terletak di lehernya bahkan tak kunjung turun untuk sekadar menyalamiku atau memberi gerakan selamat datang, entah dia kaget atau malas dengan kedatanganku. Ya, wajar dia memasang tampang seperti itu, selain karena masalah hati, mungkin aku pun telah mengganggu tidurnya.

“Hai, kau rupanya. Sepagi ini. Masuklah,” katanya sambil membalikkan badan dan berjalan malas.

Aku mengikutinya masuk ke sebuah ruangan yang dari sana dapat dilihat sebuah taman kecil. Taman yang ditumbuhi sebuah pohon besar dan ada sisa kerangka rumah kayu di atasnya.  Taman yang dilengkapi dua ring basket, namun yang satu pun telah dimakan usia. Ingatanku secara otomatis terputar pada beberapa cerita yang telah lalu. Cerita tentang sebuah rumah yang nyaman dan hangat. Rumah yang memiliki taman kecil dengan rumah pohon dan lapangan basket. Taman kecil tempat sepasang sahabat kecil bermain sepanjang waktu, tertawa bersama dan terkadang bertengkar. Ya, Nisya beberapa kali pernah mengisahkannya padaku dengan binar-binar kebahagiaan yang tak dapat ditutupi.

“Apa yang membawamu ke mari? Ini, minumlah,” dia menghentikan lamunanku.

“Sudahlah, kamu pikir aku meracunimu dengan minuman ini,”

Aku tertawa pelan, lalu meraih segelas besar hot chocolate yang dia tawarkan. Nisya pernah bercerita kalau ini minuman favorit mereka berdua saat bersama. Aku menyesap cairannya saat dia duduk menyusul di sebelahku. Beberapa detik tercipta keheningan sebelum aku membuka mulut.

“Ku pikir, kau akan langsung memukulku begitu tau aku yang mengetuk pintu rumahmu sepagi ini.”

 “Untuk apa?” Dia tertawa. Tanpa menjawab pertanyaannya aku berkata:

“Hmm, akhir-akhir ini Nisya bercerita kalau engkau sulit ditemui atau bahkan sekadar menghubunginya. Kenapa?”

Eda hanya memandang ke dalam gelas besarnya dan meminum isinya sebelum benar-benar menjawab pertanyaanku.

“Sebenarnya, kau tidak perlu khawatir, begitupun Nisya. Aku sudah mengatakan padanya, aku akan menemuinya saat aku siap.”

“Siap?”

“Ya, saat aku benar-benar menerima bahwa dia kini sepenuhnya milikmu.”

“Aku tau apa masalahmu, tap di balik semuanya, kau tetap sahabatnya, bukan?”

“Selalu! Aku selalu jadi sahabatnya, dan karena itu aku harus tau porsiku, hanya saja kau pasti tau rasanya kehilangan.”

“Ya, aku harap kau bisa menerima hal ini,  tidak membenciku, atau bahkan membuat dia khawatir.”

Dia memandang ke arahku dengan tatapan yang lebih tenang. Di sini aku makin yakin dia tidak akan memukul atau meracuniku karena cemburu.

“Aku berusaha. Berusaha bisa menerima hal ini, berusaha tidak membencimu, dan berusaha membuat Nisya tak khawatir. Terima kasih kau peduli”

Lalu, imajinasiku kembali pada sepasang sahabat kecil yang berlarian di sebuah taman kecil. Mereka akhrinya dibawa oleh waktu ke sebuah kenyataan yang baru.

Siang itu, ku tinggalkan rumahnya dengan perasaan yang saling berlawanan. Tenang karena tahu dia tak memberi respons yang sebelumnya ku khawatirkan, namun merasa bersalah karena keinginanku akan seorang perempuan membuatnya justru tak bisa meraih apa yang ia inginkan, bahkan mungkin tak akan pernah bisa selama aku ingin Nisya tetap menjadi punyaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar