Jumat, 30 Maret 2012

Middlesbrough

Aku duduk tertunduk dengan masih meremas amplop di tanganku. Sempat kulirik dia yang juga duduk, di sebelahku. Bibirnya tampak terpilin-pilin, jelas sedang mempertimbangkan sesuatu. Sementara aku, pun tidak bias tenang di sini. Berulang kali kubolak-balik kertas yang kekeluarkan dari dalam amplop. Sebuah berita, seharusnya memang membahagiakan, namun tidak sepenuhnya membahagiakan bila dalam posisi saat ini. Middlesbrough. Haruskah aku ke sana. Surat ini memberitakan bahwa aku menerima sebuah tawaran besar untuk menjadi seorang penulis naskah di sebuah kantor berita di sana. Mereka melihat tulisan-tulisanku yang termuat di halaman sebuah surat kabar terkenal di negara ini. Lalu, melalui redaksi mereka berhasil menghubungiku melalui surat ini.

“Middlesbrough?” Dia bergumam sendiri.

“Sebenarnya tidak jauh, ya tidak jauh, tentu saja. Bisa di tempuh beberapa jam dari sini.” Lanjutnya.

“Ya, tidak jauh. Andai saja aku tak mengenalmu saat ini, mungkin segalanya lebih mudah.” Jawabku.

“Jadi, aku mempersulit?”

“Kau pikir ini bukan keputusan yang sulit?”

“Lalu, aku harus berpura-pura, berkata ‘pergilah, aku tidak apa-apa’?”

“Dapatkah kita bersikap seolah semua akan baik-baik saja?”

“Semua akan baik-baik saja. Andai kau tidak di sini, bersamaku saat ini.” Dia mengulangi kata-kataku.

“Apa aku harus pergi?”

“Dan, mengapa kau harus takut pergi?”

“Bagaimana bila aku hanya takut kehilanganmu?” Kuberanikan diri untuk jujur.

“Kemana keberanian kita untuk mencoba? Ya, layaknya kita memulai hubungan ini.”

Penguatannya justru membuatku semakin bimbang. Impianku adalah segalanya, sejak dulu, dan aku akan meraihnya dalam tekadku. Hanya saja, sejak kukenal dia, dirinya telah menjadi bagian lain dari impianku. Mungkin bodoh bila melewatkan kesempatan. Kulayangkan pandangan ke arah perapian yang tak menyala. Dia menghampiriku dan menarikku berdiri.

“Jujur aku pun akan merasakan hal yang sama bila ada di posisimu. Ini juga menjadi masalahku.” Eda berkata di hadapanku.

“Aku tahu ini klise. Tapi . . . . Please, don’t make it hard.” Lanjutnya.

I wish I can.”

“Yang membuat kita akan gagal di sini adalah keraguan, bukan perbedaan apa pun, baik itu pendapat, atau pun jarak.”

“Ayolah! Masih banyak jalan ke Roma, oh . . . Ke Middlesbrough, kuralat.” Candanya.

“Kau bias ‘menemui’-ku kapan pun kau mau.” 

Aku mengangguk walau sebenarnya tak yakin. Ya, hanya keraguan yang mungkin membuat kami gagal. Ini sangat berat, tapi aku akan menggunakan logikaku. Lagipula, tak masalah selama kami telah mengalami masa-masa, yang walau singkat, namun membahagiakan. Klise. Sangat klise. Namun, ini pilihan. Dan kami masih berdiri berhadapan di ruang tengah ini. Dengan sebuah keputusan yang sepenuhnya belum bulat. Walau aku tau ini bukan kesalahan. Tapi, Maafkan aku, Eda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar