Sabtu, 10 Maret 2012

Langit yang Berubah

Pagi ini ku kembangkan senyum lebar. Menyambut sketsa Tuhan yang indah di pelupuk mata begitu aku membuka satu dari dua jendala kaca di kamarku. Matahari cerah dan menghangatkan, beberapa kumpulan awan bergerak ke satu arah seperti beberapa buah keluarga kecil yang saling bertemu dan menyapa, juga suara anak-anak kecil bersepeda warna-warni yang terdengar dari jalanan depan.  Indahnya alam pagi ini berbanding lurus dengan suasana hatiku. Ku pilin ujung-ujung rambut sambil sekilas memandang jarum jam dinding, masih ada sekitar dua jam lagi untuk bersiap. Aku mempersiapkan pakaian yang akan kukenakan; sebuah jumper pendek dan tees berwarna baby yellow. Ku pikir baju ini tidak terlalu kekanakan untuk destinasi hari ini. Tak lupa ku ambil sneakers favoritku dan meletakkanya di ujung tempat tidur.

Aku mengetuk-ngetuk ujung telunjuk di pipiku, berpikir apa lagi yang kurang. Setelah merasa semuanya sudah siap, aku menuju dapur kecilku. Semalam aku sudah mempersiapkan beberapa bahan makanan di atas meja dapur. Roti tawar, berlembar selada , potongan tomat, lembaran keju, dan daging ikan tuna. Ku harap porsi sandwich yang akan ku buat cukup untuk mengganjal perut kami nanti. Aku juga mempersiapkan dua buah lemon tea kaleng sebagai pelengkap. Lantai kayu berderak-derak saat telapak kakiku mondar-mandir sibuk mempersiapkan semuanya. Ternyata persiapan kali ini memakan waktu lebih lama dari biasa, mungkin karena aku berharap hasilnya lebih sempurna. Jatuh cinta terkadang membuat dirimu lebih sering merasa kurang percaya diri.

Satu jam aku menghabiskan waktu di dapur. Sembari mengusap sedikit peluh di kening aku berjalan cepat menuju tangga dan naik ke kamarku. Aku memiliki sisa waktu sekitar tiga puluh menit untuk menyelesaikan urusan dengan diriku sendiri; bersiap dan memantaskan diri. Sebenarnya waktu sebanyak itu tidak cukup, lagi-lagi karena urusan sedang jatuh cinta yang membuat selalu kurang percaya diri dan berharap sempurna.

Benar saja. Begitu aku selesai dan menghabiskan tambahan waktu sekitar sepuluh menit, dia telah menunggu di depan pintu rumahku. Penampilannya tidak kalah santai denganku. Hanya dengan tees abu-abu dan jeans biru. Saat bola mataku memandang ke belakang tubuhnya, ke atas langit, ternyata saat ini keadaan alam tengah berbanding terbalik dengan suasana hatiku. Cuaca yang begitu cerah kini menjadi kelabu. Tidak ada lagi keluarga awan yang berarakan dan suara anak-anak kecil bersepeda, semua telah menjauh karena satu hal; mendung. Dia menangkap raut wajahku yang ikut kelabu dan berkata:

“Bolehkah aku masuk dulu, Nisya?”

Aku terkaget, mengangguk, dan memberi dia celah untuk lewat. Lalu, kami berjalan dan duduk di sofa merah ruang tengah. Mataku memandang lurus ke arah dapur,  ke atas meja di mana telah ku persiapkan remeh-temeh yang sedianya akan ku bawa ke taman hari ini. Dia mengikuti pandanganku.

“Oh, rupanya kau sudah repot-repot menyiapkan panganan,” dia tesenyum.

“Sudah, bila memang hari ini cuaca tidak memberi kita izin untuk pergi, kita habiskan buatan tanganmu itu di sini,” dia memainkan ujung rambutku yang ku ikat dengan rapih.

Tak lama, seperti yang sudah ditandakan oleh alam. Hujan turun dengan derasnya. Membahasi seluruh pemandangan yang dapat ku lihat dari jendela dan menumbulkan suara-suara berat di atas genting. Di balik rasa kesal karena rencana yang gagal, entah mengapa tiba-tiba aku merasa nyaman. Aku melemaskan tubuhku dan mencium bau tanah di luar. Entah bau ini yang membuatku tenang, entah kehadiran Ryry di sisiku.

“Mengapa kau tersenyum?” tanyanya.

“Hujan ini ternyata menenangkan.”
“……”
“Ku harap kau tidak terlalu kecewa karena rencana kita yang terpaksa gagal hari ini.”

“Sudahlah Nona, bukankah tadi kau yang memasang muka kesal?”

“Justru, sekarang aku berharap hujan ini terus turun.”

“Ternyata, memang selalu ada dua sisi. Layaknya kehidupan kita, selalu ada waktu yang menyenangkan dan waktu yang menyedihkan. Namun, seperti apa kita menilainya, tergantung sudut pandang kita.”

“Maksudnya…?” Ryry tampak bingung.

“Mungkin tadi aku berpikir bahwa hujan ini membuat kita tak jadi menghabiskan waktu bersama. Namun, justru saat ini hujan membuat kau tertahan di sini, bersamaku, entah sampai kapan,” jawabku.

Ku tahu Ryry dapat membaca isi pikiranku sekarang. Lalu, badannya yang sedari tadi tegak karena bingung, melemas diiringi senyum tipis, lalu kedua tangannya menarik tubuhku ke dalam dekapannya.

“Dan aku akan menjadi tempatmu berlindung sampai hujan itu berhenti, dan ketika kau ingin aku ada.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar