Selasa, 06 Maret 2012

Kopi, Lensa Bulat

“Apa tidak terlalu malam untuk keluar sekarang?”
Aku berkata setengah kaget karena tak kukira dia berdiri tepat di depanku begitu aku membuka pintu rumah, sehingga aku hampir mencium dadanya. Sekilas kurasakan wajahku menghangat karena bahagia.
“Mungkin terlalu telat untuk makan malam, tapi tidak untuk secangkir kopi.”
Malam ini ia tampak lebih sedikit rapih; rambut panjangnya yang kali ini diikat, blazer cokelat yang melapisi kaus putih favoritnya, sneakers, dan tidak lupa kacamata bulatnya.
“Ayo, kita berangkat sekarang, bila kau tidak ingin pulang lebih pagi.” Katanya asal diselingin dengan tawa yang tertahan.
Aku berjalan di samping kirinya, bersama melewati trotoar sepanjang jalan menuju tempat kami akan mengahabiskan separuh sisa malam di kota kecil ini. Hembusan tipis angin malam yang cukup dingin membawa wangi tubuhnya masuk ke dalam indraku, kemudian berputar dalam otakku menjadi sebuah titik, dan pecah menjadi beribu sari pati mimpi yang akan membuncah saat tidurku nanti.
Begitu terduduk di hadapannya, seketika terdengar alunan musik dengan unsur khas sinkopisasi dan blue note. Pilihan tempat yang lumayan romantis, pikirku. Seperti membaca raut wajahku, dia menjelaskan:
“Ya, itu memang terdengar seperti jazz, namun lebih tepat disebut bazzanova. Kamu pasti mendengar suara beberapa alat musik yang berbeda di sini. Ada trombon, saksofon, dan bahkan terompet. Unik bukan?”
Terompet…
Pembicaraan kami terhenti sebentar oleh datangnya dua cangkir kopi yang kami pesan. Kesan riang tergambar dari sudut matanya yang terhalang lensa itu, uap-uap panas seakan tak menghalanginya untuk menciumi aroma minuman favoritnya itu. Di sini kami menunggu detik-detik penting ini mengubah perasaan kami masing-masing, entah ke arah yang sama atau berbeda. Dan aku siap menunggunya, atau mendengar kisahnya di sisa malam ini.
Dia bercerita tentang musiknya, mimpinya, perjalanannya, kemudian berceletuk bahwa beberapa lirik favoritnya cocok menjadi ide cerita dalam tulisan-tulisanku kelak. Sudahlah, tidak kau beritahu pun aku selalu menjadikan apa yang kau lakukan sebagai ide.
Malam itu tak pernah dingin selama bersamanya. Seperti saat kami berjalan pulang, dia menggengam tanganku saat kami menyebrangi  jalan, walau tidak lama sampai kami tiba di ujung trotoar. Bahunya menyenggol lenganku, di depan pekarangan rumah ketika kami akan berpisah.
“Makasiiihhhh, Nisya. Sudah bersedia pergi malam ini, denganku.” Senyumnya tipis.
“Semoga kopi malam ini tidak membuatmu sulit tidur ya. Belum terlalu larut kan untuk mengembalikanmu ke rumah?”
“Tidur larut justru membantuku menulis, Ry. Dan aku juga senang malam ini bisa keluar sejenak, terima kasih.”
“Good night, semoga tidur nyenyak.” Beberapa detik dia mengacak rambut di puncak kepalaku sebelum pergi.
Sambil menaiki tangga kayu untuk masuk ke rumah, aku sempatkan diri melihat punggungnya yang perlahan menghilang tertutup kabut yang mulai turun. Tangga kayu ini berderit ketika kakiku yang mulai terasa lelah menapakinya. Aku menutup pintu dan naik ke kamarku. Meletakkan tubuhku, lalu memejamkan mata untuk kembali bertemu Ryry, kali ini dalam ilustrasi tak nyata tentunya.

Selasa-02.00 A.M-Lantai dua, kamar Nisya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar