Selasa, 13 Maret 2012

Sebuah Hadiah

Sontak terdengar keributan begitu aku memasuki ruang studio di mana aku dan teman-teman biasa bermain musik. Mereka terlihat tertawa dan berkata dengan nada tinggi satu sama lain karena terganggu oleh suara alat musik yang dimainkan. Melihat aku yang terbengong sejak datang dan tak beranjak dari pintu ruangan, mereka tersadar. Argi menghampiriku dan menjabat tanganku. Dia mendudukkanku di salah satu kursi dan menepuk pundakku.

“Lagu kita terus-menerus diputar di sebuah stasiun radio swasta, hal ini membuat sebuah layanan provider berminat memakai lagu kita sebagai jingel iklan mereka. Bagaimana?”

“Bahkan, mereka bersedia memberi kita uang muka. Hari ini kita pergi bersenang-senang.”

“Aku tidak bisa ikut, maaf. Hari ini aku ada rencana sendiri.” Jawabku.

Tampaknya semua temanku sedang bersuka cita merayakan hal ini. Tentu saja mereka bahagia atas keberhasilan ini, begitu pun aku. Aku berjalan menuju keyboard dan memainkan beberapa nada di atas tutsnya. Teringat akan sesuatu yang penting, lantas jemariku memainkan lagu khusus untuk hari istimewa ini. Hari ini, dia bertambah umur. Senang rasanya bisa menjadi bagian penting dari hidupnya saat dia bertambah dewasa. Happy birthday…

Sepulang dari tempat ini, aku akan menghampirinya. Memang semalam sudah ku katakan kalimat ucapan dan doa-doa tulus, namun belum lengkap bila tak melihat wajahnya langsung di hari di mana dia menjalani awal yang baru. Mungkin hanya mengucapkan ulang kalimat yang sama dan mengecup pipinya akan menjadi hal yang paling menyenangkan hari ini.

Aku berjalan melangkah ke luar studio dan meninggalkan teman-temanku. Waktu yang tepat untuk berkunjung, pikirku. Saat ini, dia mungkin sedang menghabiskan jamuan sore harinya, dengan teh hangat, panganan manis, dan buku-buku tebal. Langkah kakiku ringan dan teratur karena terbawa perasaan rindu yang akan terpenuhi. Aku melewati jalanan berwarna  marun dengan banyak lampu yang mulai dinyalakan, beberapa toko mulai menutup tirainya, dan coffeshop di sudut blok mulai terlihat makin marak dan hangat. Beberapa detik kemudian, mataku tertuju pada sebuah toko berukuran besar yang masih buka. Memang sepi, namun pemiliknya masih memajang beberapa barangnya di etalase kaca yang tampak dari luar. Aku berbelok melangkahkan kakiku memasuki pintunya. Pemilik toko menyapaku ramah dan menanyakan kebutuhanku. Tak lama kemudian, aku pergi dengan mengantungi benda kecil berwarna merah tua. Langkahku semakin ringan.

Sekitar 15 meter lagi menuju halaman rumahnya yang rindang, aku justru semakin memperlambat langkah. Aku melihat sosok yang ku kenal dengan pasti. Seseorang dengan sepedanya itu berhenti di depan rumah dan menaiki tangga kayu. Selang beberapa lama, muncul sosok yang ingin ku temui dari balik pintunya. Sosok yang ku rindukan dan ingin ku kecup pipinya sore ini. Lalu, tampak sekali binar wajah bahagia dari si pemilik hari ini, sedangkan sosok yang lain dan membelakangiku tampak mengucapkan sesuatu serta membuka kedua tangannya lebar-lebar. Sontak dia menyambutnya. Seketika, Nisya berada dalam rengkuhan sosok itu dengan raut yang sulit ditebak, namun kebahagiaannya tak dapat disembunyikan lagi.

Aku berbalik dengan berjuta rasa berkumpul dalam dadaku. Jelas aku cemburu, namun mengingat aku sendiri yang kemarin meminta Eda menemui Nisya, seketika aku merasa bodoh. Apa lagi ini hari ulang tahunnya, bukankah aku justru telah memberinya hadiah terindah. Berjalan menjauh dari tempat itu, kemudian ku raih ponselku. Suara Nisya terdengar di ujung sana.

“Halo. Hi, my birthday girl. Hmmm, maaf hari ini aku tak datang. Tapi, bisakah ku ganti dengan esok?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar