Selasa, 27 Maret 2012

Rasa Baru

“Lalu, mengapa kau tidak mencoba denganku?”

Kedua kakinya berayun-ayun cepat ketika dia duduk di bingkai jendela kamarku. Sementara, angin panas bertiup masuk ke kamarku dan menerbangkan rambutnya. Dengan santai dia berucap, seolah meledekku. Apa begitu sederhana dunia dalam pandangan matanya. Baru saja, aku sedikit memberanikan diri untuk bercerita, tentang diriku dan hal-hal yang ingin kulupakan,walau tak akan pernah bisa. Bahkan, aku menunjukkan foto-foto gadis cilik di layar laptopku. Mungkin itu yang justru membuatnya  berani berkata demikian. Mengapa tidak mencoba denganku? Sudah pergi kemana akalnya perempuan di depanku ini. Terlalu banyak menuliskah dia? Atau masalah-masalah di masa lalunya yang membuat dia seperti ini?

Seseorang yang pernah kukenal. Dia begitu berbeda dengan Nadia. Kesamaan mereka hanya terletak pada obsesi menulis. Nadia, tampak sangat suka bercerita lewat obrolan, sedangkan orang itu sering kali hanya menjadi pendengar dan menjawab dengan singkat kata. Gadis ini sangat ringan dan seenaknya, sedangkan Nisya selalu berpikir panjang dan butuh untuk diberitahu, selalu.  Lalu, mengapa aku harus membandingkan mereka berdua? Di mana aku meletakkan pikiranku? Kalau begitu . . . .

“Bagaimana dengan pergi makan malam keluar?” Tanyaku.

Dia tertawa, lalu berdiri menghampiriku. Sambil meninju pundakku, dia menggigit bibirnya dan tampak berpikir.

“Baiklah. Kita harus mencoba.” Jawabnya.

Malam itu, aku menunggu dia di depan pintu kamarku. Aku telah siap dengan beberapa ke-formal-an dalam pakaianku, dan aku harus menaikan alis saat melihatnya keluar kamar.  Dia memakai kemeja flanel besar, blue jeans, dan sebuah fedora di atas kepalanya. Aku mengahampirinya dan meraih topi itu dari kepalanya.

“Kita tidak berangkat untuk menonton konser Jaz, Nad.” Protesku.

“Oh, sebuah kencan yang cukup serius. Alright?” Jawabnya sambil mengumbar senyum lebar.

Kembali aku harus menunggunya di sini hingga kami benar-benar pergi berdua malam itu. Sepanjang perjalanan tak henti-henti kudengar mulutnya menimpali apa yang dia lihat atau sekadar menyanyikan lagu-lagu kesukaannya. Sepertinya aku sudah melupakan rasa laparku karena sibuk memperhatikan perempuan ini. Keberadaannya di sebelahku memberikan beberapa rasa baru yang mungkin sebelumnya asing. Sesuatu di dalam dirinya telah membuatku membuka diri, tanpa disadari. Dia memang bukan hal terbaik dalam hidupku, setidaknya sampai sata ini. Kenyataannya,  aku selalu tertarik untuk menikmati hariku bersamanya. Seperti cokelat murni yang rasanya tidak terlalu manis sampai diberi tambahan rasa, namun mampu membuat seseorang menjadi pencandu. Begitupun hal-hal baru yang dia perlihatkan dalam duniaku, aku tidak pernah merasa puas, namun butuh lebih.

“Hei, Nad!”

Dia menengok ke belakang melihatku yang mulai tertinggal karena terlalu banyak berpikir.

“Ya?”

“Kau tahu jenis cokelat Couverture atau real chocolate?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar