Rabu, 14 Maret 2012

The Preparation

Terdengar bunyi bel besi ketika kami memasuki pintu masuk toko ini. Pintunya terbuat dari kayu dan bercat putih, senada dengan warna bangunan toko yang didominasi warna sama. Dia berjalan menghampiri meja kasir dan menekan bel meja untuk memanggil si pemilik toko, sedangkan aku melangkah ke bagian kiri toko untuk melihat apa yang terpajang di etalase. Pemilik toko adalah seorang wanita muda yang menyapa kami dengan sangat ramah. Dress krem sederhana, rambut yang dibiarkan tak terikat, juga make up tipis, membuat wanita ini  terlihat memiliki selera yang cukup bagus dan hal itu dapat ditunjukkan dari penataan tokonya, serta hasil karyanya yang dijual di sini. Ryry bercakap dengan pemilik toko dan kemudian memangilku. Wanita itu menyalamiku, memperhatikanku dari ujung ke ujung, sesekali mengangguk, membenahi rambutku, dan tersenyum.

“Aku tahu yang kalian butuhkan,” katanya.

Kami berdua duduk di sebuah sofa panjang, yang juga berwarna putih, menunggu si pemilik toko menyediakan apa yang kami butuhkan.

“Tadi, aku sudah mengatakan bahwa kita berencana membuatnya serba berwarna biru. Mulai dari warna penataan ruang, bunga-bunga, undangan, dan tentu saja pakaian,” dia berkata di sebelahku.

“Ya, setelah dari sini, ingat kita masih harus pergi ke tempat penyewaan bridal car,” jawabku.

Dia mengangguk dan meletakkan tangannya di atas tanganku. Tak lama, pemilik toko menghampiri kami dengan membawa gulungan satin berwarna biru tua di tangan kanannya, dan gulungan bahan lace dengan warna biru yang lebih muda di tangan kirinya. Dia mengatakan berbagai hal tentang rancangan pakaian ini, mengukur tubuhku dan Ryry bergantian, dan bermain dengan sketsa di atas mejanya. Aku menyukai imajinasinya di atas kertas itu. Apa yang dia lakukan, hampir sama dengan apa yang aku lakukan, yaitu menuangkan “kegilaan” ke atas kertas, hanya saja objek imajiner hasil ciptaan kami berbeda. Aku memperhatikan kelima jarinya bergerak terlalu cepat dari satu titik ke titik lainnya, sementara dia, lelakiku ini, terus meletakkan lengannya di pinggangku.

“Yak, selesai. Seperti ini kira-kira hasil akhir dari pakaian kalian nanti, sebuah gaun sederhana sesuai permintaan Nona penulis dan setelan jas yang cocok untuk  Tuan berkacamata bulat.”

Aku meraih kertasnya dan tertawa pelan. Ternyata memang sebuah gaun yang cantik di balik kesederhanaannya. Setelan jas itu pun tampak gagah dan memang hanya pantas untuk Ryry, menurutku. Aku harap hasilnya akan sebagus sketsanya. Beberapa menit kemudian, kami membuat kesepakatan dan pergi dari toko itu. Bel besi kembali berbunyi saat kami membuka daun pintu dan melangkah keluar.

Kami meninggalkan bridal shop itu dengan perasaan lega. Satu hal telah terselesaikan, meski masih banyak hal yang harus dilakukan. Aku memandang ke arah wajahnya dan dia menggenggam tanganku, bersentuhan dengan jemariku yang telah ia sematkan sebuah penanda, bahwa aku akan menjadi miliknya sendiri.  Bahagia. Satu kata klasik dan sederhana, namun itu yang benar-benar terasa.

Aku merogoh clutch bag-ku, meraih ponsel yang bergetar karena pesan masuk. Dari Eda:

Ada hal yang harus ku beri tahu. Namun karena kau sibuk, tampaknya aku tidak bisa menemuimu sampai hari itu tiba. Sukses dengan persiapannya J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar