Rabu, 07 Maret 2012

Sore dalam Dunia Kami

Aku memunguti kertas-kertas yang bertebaran di belakang langkahnya. Angin sore yang pelan bertiup ini membelai rambutnya, namun juga ikut menerbangkan kertas-kertas itu. Dengan tangkas aku menangkap satu kertas terakhir, gitar yang tergantung di punggungku ikut bergerak naik-turun saat aku berjalan cepat berusaha mengimbangi langkahnya yang semakin cepat dengan tangan terkepal di kanan-kirinya.

Aku tahu dia menyadari kedatanganku, tapi tak ingin sebentar saja berhenti menungguku. Dia langsung terduduk dengan muka masam di bangku kayu putih di taman ini. Suara pesawat terbang berulang kali terdengar dari atas kepala. Bergantian lalu-lalang melintas langit senja yang berwarna merah dan kekuningan. Taman ini memang berdekatan dengan sebuah bandar udara di kota kecil ini, tempat yang seharusnya tidak cocok untuk bersedih karena bising. Namun, pemandangan langit sore dengan burung-burung besi itu memang sangat indah, bagiku tentu saja. Entah apa yang ada di dalam pikiran dia hingga sengaja datang ke tempat ini juga.

"Hai, sulit juga ya mengimbangi langkahmu," aku berlagak menghapus peluh di pelipis.

Dia hanya memandang dengan sudut matanya, ke arahku. Pandanganku teralihkan oleh suara kencang pesawat terbang yang tiba-tiba melintas cukup rendah dari pandangan. Benda besi hasil ciptaan Wright bersaudara itu pun mengganggu fokusnya, hingga dia ikut menengok ke atas.

"Itu jenis pesawat Concorde, memang jarang ditemui. Pesawat supersonik ini digunakan untuk tujuan komersial, namun tidak sebanyak atau sesering pesawat jenis lain yang sering kita dengar sehari-hari."

"Kamu tahu?"

"Ya. Aku pernah membacanya"

"Istilah Concorde yang aku pernah dengar justru untuk sebuah jenis kertas," jawabnya masih dengan muka masam.

Aku menahan tawa, antara tak tega dan kagum dengan sosok ini. Walau terkadang cenderung diam, namun dia ketus saat berbicara. Mengatakan apa yang ingin dia katakan, menuangkan isi pikirannya begitu saja. Itu juga yang membuatku menyukai tulisannya. Tapi, mungkin nasib belum mengizinkan dia berhasil dengan hobinya itu. Aku langsung dapat menebak bahwa hari ini dia gagal mendapatkan kepastian bagi naskah itu agar dapat menjadi sebuah karya yang diterbitkan. Padahal, menurutku, dia bisa mencoba ke penerbit lain. Apa lagi yang kuketahui dia baru sekali dua kali mencoba menerbitkan karyanya.

"Lalu, kau membuang begitu saja kertas-kertasmu ini, Nisya?"

Dia masih diam.

Angin masih membawa hawa senja yang perlahan mulai makin gelap karena matahari perlahan turun untuk tenggelam. Aku dan dia juga masih sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Tampak dia membenarkan posisi duduknya, entah karena lelah atau kedinginan. Aku merapatkan badanku lebih dekat dengannya, hanya ingin agar dia dapat merasakan bahwa ada orang yang peduli padanya, aku ingin dia merasakan apa yang akan kulakukan sebentar lagi.

Sebuah intro dari lagu milik Eric Martin mulai kugetarkan dari gitarku. Lagu yang cukup lama, namun manis dan hangat, rasa yang ingin kuberikan padanya untuk membuatnya tersenyum lagi. Aku tahu dia mencintai lagu ini, kuharap akan ada pendar lagi yang terlihat dari wajahnya.

"I like the feel on your name on your lips..."

Baru satu bait yang kuucapkan, tak dinyana kepalanya langsung menengok pelan ke arahku yang kini sudah semakin merasa erat dengan tubuhnya, walau kami tidak saling merengkuh. Ini yang kutunggu, bias-biasa samar lalu mulai tampak semakin jelas muncul dari matanya. Kekecawaannya mulai terlihat pudar dan akan hilang, tentu saja. Dunia kami akan kembali seperti awal kami berpijak di atas kebahagiaan yang telah kami lalui. Dunia kami.

Seketika kami menyanyi bersama. Terkadang, mudah sekali membujuk sosok ini agar dapat kembali bersinar. Mainkan saja beberapa lagu karena hidupnya adalah kata-kata dan nada. Seperti dua buah diagram Venn yang memotong satu zona, maka Nisya ada di dalam potongan itu.

"But i love the way you love me, strong and wild, slow and easy..."

Ryry.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar