Senin, 05 Maret 2012

Aaaaaaaaaa

For: @nindasyahfi
“Kau ingin kemana?” Lirik ku dengan cepat ke arahmu yang berdiri sepersekian detik lalu. 
“Maaf, aku sedang berjanji dengan seseorang. Dia menungguku sejak 15 menit lalu. Aku harus jalan sekarang. Maaf, Nasya.”
Lalu, kau meninggalkan aku yang sejak tadi terduduk di sisi kananmu di bawah pohon oak tua ini. Tangan kiriku masih menggenggam secarik kertas yang diisi hanya satu paragraf tulisan yang bahkan belum selesai. Belum selesai karena inspirasinya baru saja lepas dari titik imajinasi dalam otakku. Pergi dari tempat duduknya, entah menemui siapa, yang jelas ia tampak penting.
Aku memandang punggungmu yang perlahan mengecil oleh jarak pandang, angin bertiup cukup kencang menyibak rambut ikalku membawanya ke depan mataku yang tertutup lensa minus 0,75. Masih nanar pandanganku ketika dari depan muncul sosok tegap bersepeda menghampiriku. Di punggungnya tersandang sebuah tas besar yang menyembulkan sebentuk alat musik kesukaannya, terompet. Lelaki ini meletakkan sepedanya dengan asal dan berdiri 5 cm saja di depanku. Dia memandang tajam aku yang bergegas berdiri.
“Hai, Eda. Kau … . .”
“Ya, aku tahu, aku selalu tahu kemana kau akan pergi dengan kertas-kertasmu ini. Sekarang ikut aku.” Seperti tahu akan isi otakku Eda berkata cepat.
Aku lalu mengikutinya, berdiri di atas sepedanya, dan kami berlalu cepat dari pohon oak tua pemberi imajinasi itu. Aku merengkuh bahunya yang menyandang tas berisi terompet kesayangannya, dan tersenyum.
“Kemana Nisya.” Gumam Ryry ketika langkah kakinya kembali menapaki bayangan pohon oak. Wajahnya bingung sambil memainkan gagang kacamata bundarnya, sedangkan tangan yang lain menggenggam sebuah gitar. 
“Mungkin lebih baik aku menunggu hingga sore sambil memainkan lagu yang ingin kutunjukkan padanya nanti. Mungkin sore dia akan kembali ke sini. Lagi pula gitar ini sudah susah-susah diperbaiki oleh Ayah.” 
Ryry terhadap Nasya, terhadap pohon oak tua, tehadap lirik dan kata-kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar