Kamis, 15 Maret 2012

Bagian Awal dari yang Baru


Detak  jantungku berdetak lebih cepat seolah tak menuruti keinginan sang empu yang mati-matian menjaga wajahnya agar tak terlihat pucat atau tegang. Terlintas tiba-tiba pikiran seolah aku terlalu berani mengambil sebuah keputusan, seperti keberanian jatuh cinta tapi di sisi lain merasa takut untuk patah hati. Namun, melihat dia berdiri sendiri dalam ruangan yang bersebelahan, perlahan rasa gelisahku memudar. Tak tampak ekspresi ragu dari gurat parasnya. Ya, ini seharusnya menjadi saat yang telah ku tunggu sejak lama, berdiri di hari ini, dan tak membiarkan apa pun mengambil apa yang seharusnya menjadi takdirku. Aku akan memberanikan diri, menanggung pilihanku.

Pagi sakral itu, semua biru dan putih, seperti langit dan awan yang berdampingan. Semua terasa hangat, hangat seperti peluknya, hangat seperti genggaman tangannya, dan hangat seperti cinta kami di atas bukit hijau dengan langit senja berwarna kapas manis. Setelah perhelatan sederhana dan singkat, diiringin doa-doa tulus, juga pemberian restu, dia menghampiriku. Beberapa tamu tampak bersuka cita menikmati apa yang kami sediakan, lagu-lagu cinta tanpa berhenti mengiringi hari kami, sahabat-sahabat yang memberikan selamat dan pelukan haru, semua hanya menjadi awal bagiku dari masa yang baru, sisi hidupku yang lain namun dengan rasa memiliki dan dimiliki.

Kami berdua berjalan menghampiri keramaian, lalu berlawanan menuju ke tempat yang lebih tenang. Di sisi kanan halaman rumahku yang  teduh, dia berkata;

“Terima kasih mau menjadi penyempurna sisa hidupku, tampaknya tak ada cukup kata untuk mengungkapkan semua, tapi..terimalah kejutan satu ini.”

Dia menggeser posisi tubuhnya yang semula berdiri tepat di hadapanku. Muncul sosok yang sudah ku nanti sejak awal acara, bahkan sejak berminggu lalu saat aku disibukkan dengan segala persiapan. Wajahku tercekat. Dia sangat gagah layaknya pria lain yang menjadi bintang utama hari ini. Mengenakan kemeja putih bersih yang lengannya digulung sampai siku dan kancing atas yang dibiarkan tak terpasang, celana berwarna beige, dilengkapi rona wajah yang tak pernah tak mempesonaku, dia menghampiriku, sementara Ryry memberi kami waktu untuk berdua.

 “Selamat memulai bagian baru dalam hidupmu, Nisya.”

Aku tak lantas menjawab, namun merasakan genangan panas di mataku yang perlahan turun. Seperti dahulu, dia menyentuh pipiku dengan ibu jarinya untuk menghapus air mataku.
“Hei, kau menangis?”

Refleks aku memeluk tubuhnya dan terisak pelan di bahunya yang tegap.

“Terima kasih, Da. Senang kau akhirnya datang. Terima kasih, sekali lagi.”

Dia membelai punggungku, mengangguk, dan menarik lenganku agar kami dapat bertatapan. Eda mencium keningku, pelan dan cukup lama.

“Mungkin bisa menjadi hadiah kecil,” katanya dengan senyum tipis.

“Seperti yang ku katakan dalam pesan singkat beberapa hari lalu, aku datang pada harinya, aku ingin mengatakan sesuatu,” lanjutnya.

Diiringin suara ramai para tamu dan musik dari kebun belakang rumah, aku mendengar keputusannya.

“Soal pendidikan musikku . . . Nisya, aku harus pergi. Mungkin tidak lama dan tidak jauh selama kita menganggapnya bukan masalah besar.”

“Itu suatu keharusan?” tanyaku gundah.

Dia menyentuh pundakku, penuh sikap menenangkan.

“Demi mimpi. Dan aku akan kembali. Maukah kau menungguku seperti kita saat kecil yang menunggu saat kita dewasa, dan  seperti aku menunggumu merasakan hal yang sama dulu?”

Lalu apa lagi yang dapat aku katakan. Isakku semakin terasa mengganggu telingaku sendiri. Bajunya basah oleh airmata saat ku kembali menangis di pelukannya yang hangat, hangat seperti hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar