Senin, 26 Maret 2012

Ujung Pastry Terakhir

Aku memperhatikan Echi dan Nadia sibuk memasukkan roti ke dalam alat pemanggang otomatis dan menangkap roti yang telah matang dan terlontar keluar dari alat tersebut. Tak jauh dari sana, Argi duduk membaca koran pagi sambil menikmati sarapannya, semangkuk telur orak-arik dan segelas orange juice. Lama tinggal jauh dari negara kelahiran, tampaknya juga telah mengubah selara makannya. Aku menghampiri mereka dan mengambil satu lembar roti panggang yang telah tertata rapi di atas piring. Tak lama, kami sudah duduk berempat mengelilingi meja makan untuk menikmati sarapan. Ada yang berbeda di sini. Sejak Nadia datang, kami terbiasa berkumpul berempat saat jam-jam sarapan atau makan malam. Perempuan itu sekarang duduk di sebelahku, sibuk dengan makanannya, ketika Echi membuka percakapan.

“Nad, hari ini kau ingin ikut denganku, berdiam diri di rumah, atau berjalan-jalan sendiri lagi?”

Tanpa mengalihkan pandangan dari makanannya, Nadia menimpali.

“Kupikir lebih baik aku pergi keluar, udara terlalu panas untuk membuatku tinggal di rumah.”

“Kalau begitu, mungkin Eda bisa menemanimu. Ya, bila dia atau kau tidak berkeberatan.”

Aku berhenti mengunyah dan memandang mereka bergantian.

“Tentu saja. Aku dengan senang hati bersedia bila Eda tidak sibuk.”

Hei! Kupikir dia akan menolak ditemani kesana-kemari layaknya anak kecil, namun dengan menunjukkan barisan giginya yang rapih itu dia justru bersuka cita untuk pergi dengan orang yang baru dia kenal. Ya, baru kenal kembali sejak pertemuan pertama di bandara tentunya.

Maka sore itu, aku mengekori langkahnya, namun kemudian berjalan di sebelahnya. Keputusanku bukan karena terpaksa, kupikir pergi keluar sore hari adalah hal yang selalu menyenangkan. Dan pilihanku jatuh pada menikmati tea time di sebuah restoran pastry kecil di tengah kota, sedangkan dia hanya menyetujui pilihanku tanpa harus menyanggahnya terlebih dahulu.

“Restoran yang tidak terlalu ramai, tapi menyenangkan.” Pendapatnya.

“Kau akan semakin jatuh cinta pada tempat ini setelah kau cicipi menu-menunya nanti.” Jawabku.

“Dan, sore ini kau boleh memesan apa pun yang kau suka. Tempo hari, kau telah menolongku. Maka, izinkan aku membalasnya.”

Aku tertawa mengetahui niatnya. Pantas, dia tak menolak untuk pergi denganku. Hanya sekadar balas budi, heh? Sungguh sebuah hal aneh karena baru, namun tak terasa asing. Dia banyak bercerita, bahkan mungkin terlalu terbuka. Nadia layaknya seseorang yang berasal dari sebuah planet yang tak kukenal. Tiba-tiba datang dengan berbagi banyak cerita, terkadang terkesan dramatis. Dia yang datang ke negara ini untuk mengejar sebagian mimpi, atau dia yang bosan dengan kehidupannya yang lama, berusaha membakar kenangan-kenangan pahit tentang kisah klasik broken home yang ia alami atau kisah tentang hubungannya yang tetap berjalan baik dengan seorang yang ia cintai namun lebih memilih menikahi wanita lain. Bahkan, beberapa cerita tersebut tak pernah kudengar dari Echi.

“Mengapa tidak kau tulis saja ceritamu sendiri menjadi buku?” Tanyaku.

“Umm, mengetahui dan menuliskan masalah lain di luar bebanku sendiri, membuat aku tahu bahwa aku tak sendiri di dunia ini.”

Kami menghabiskan sore dan teh dalam cangkir masing-masing dengan saling bertukar kata, tentu saja aku lebih banyak mendengarkan. Kemudian, sinar matahari yang mulai turun ke ufuk barat membuat mataku terpicing. Di balik jendela kaca besar kami duduk berhadapan. Bibirnya bergerak-gerak lincah, mengajarkanku beberapa hal. Sambil menggigit ujung pastry terakhir aku tersadar, saat ini mungkin aku sedang mencari kebahagiaanku sendiri, seperti janjiku pada Nisya dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar