Selasa, 20 Maret 2012

Menemui Kisah Lama

Cahaya terang matahari pagi membuka kedua kelopak mataku yang menghitam karena kurang tidur. Sejak malam memang aku sengaja tidak menutup jendela agar sinar matahari menjadi alarm khusus yang membangunkanku agar dapat mempersiapkan segala sesuatu lebih tepat waktu. Alarm dari jam weker sering kali hanya menjadi suara selingan sebelum aku tidur kembali. Pagi ini, aku harus bangun lebih awal untuk mempersiapkan sesuatu. Semalam, aku memikirkan kata-kata Argi beberapa hari yang lalu. Dengan penerbangan malam hari, aku akan pulang.

Lebar-lebar, dengan masih di atas kasur ini, aku merentangkan kedua tangan dan kaki dan menghirup udara pagi yang berbau segar. Terasa hangat temperatur di kamar ini, sebentar lagi suhu mungkin akan mencapai 20⁰C, suhu standar siang hari di musim semi yang sebentar lagi berakhir. Aku menghentakkan kakiku terlalu semangat ketika turun dari tempat tidur, kuharap kelakuanku ini tidak membuat Argi atau Echi berteriak marah karena letak kamar ini tepat di atas kamar mereka. Kubuka jendela double-glazing yang dirancang untuk musim dingin dan membuat ruangan ini akan terasa sangat pengap saat musim panas. Wangi bunga yang entah hanya imajinasiku atau nyata seketika menyatu dengan nafasku. Sebuah tas yang terlalu besar di atas lemari tampaknya cukup untuk melengkapi kepulanganku yang tidak akan lama. Aku mempersiapkan beberapa hal yang harus dibawa; tentu saja beberapa dokumen penting, pakaian, dan oh . . . .  tentu saja aku tak akan membawa baju dingin, di sana udara hanya terbatas pada panas atau hujan, dan tentu saja aku tak perlu membawa terompetku. Kupandangi jam dinding, pukul 7 pagi, saat ini mungkin dia di sana sedang makan siang bersama keluarga kecilnya. Kuangkat bahu dan berdiri untuk segera turun menemui kedua sahabatku. Mereka belum tahu tentang rencanaku malam ini.

“Tidak akan lama. Hanya mengikuti saranmu, mungkin untuk melepas rindu atau menyelesaikan beberapa hal.” Jawabku atas pertanyaan Argi atas kepulanganku yang tiba-tiba.

“Kau memilih penerbangan pukul 8 malam?”

“Ya, aneh menurutmu?”

“Kau akan tiba di sana sekitar pukul 9 keesokan harinya. Bagaimana dengan kemacetan?”

“Justru itu salah satu hal yang ingin kurindukan.” Jawabku konyol.

Argi dan Echi menitipkan ratusan pesan yang seharusnya hanya pantas bagi anak remaja yang ingin bepergian jauh untuk pertama kali. Untuk menghentikan bicara, aku hanya mengatakan bahwa aku akan kembali saat musim panas belum berakhir. Ya, sebentar lagi memasuki bulan Juni, bulan di mana kebanyakan penduduk di negara ini menghabiskan waktunya untuk berjemur di pantai.

Aku sengaja berangkat lebih awal untuk menikmati cuaca sore hari. Melewati sebuah taman yang cukup besar di pusat kota, aku tersenyum lebar melihat hamparan bunga-bunga musim semi; crocus, bluebells, dan daffodila. Walau musim ini sebentar lagi berakhir, namun bunga-bunga itu masih bermekaran dengan marak. Andai suatu hari aku dapat melihat Nisya duduk dengan memegang kertas-kertasnya di tengah taman ini, atau justru sambil mendorong kereta bayinya. Lamunanku terhenti karena sebuah bis merah yang akan membawaku ke bandara berhenti tepat di dekatku.

Tiba di bandar udara Heathrow dengan tanpa hambatan, aku memiliki waktu lebih dari satu jam untuk menikmati makan malam. Aku memasuki sebuah kafetaria dengan pintu kaca putar dan duduk di salah satu sudut. Kupesan dua potong sandwich tuna dan segelas besar hot chocolate, dua buah hal yang mengingatkanku akan sosok Nisya, dan tentu saja masa kecil kami. Segera kuhabiskan pangananku karena tak lama lagi waktu keberangkatan pesawat tiba. Perhatianku tiba-tiba tertuju pada sebuah benda berwarna putih di atas meja di sebelahku; sebuah visa. Siapa yang dengan bodohnya telah meninggalkan benda sepenting ini di tempat umum? Tanpa benda ini, orang tersebut tak memiliki perizinan untuk masuk dan tinggal di negara ini. Kubaca identitas pemiliknya. Nadia Astriani. Jakarta, Indonesia. Aku tertawa mengetahui bahwa pemiliknya berasal dari negara yang sama denganku. Aku bergegas pergi dari kafetaria sambil mengantongi visa itu.

Tak jauh dari Gate V tempat aku seharusnya lewat, kulihat dua orang petugas keamanan sedang berbincang serius dengan seorang wanita yang tampak kukenal. Wanita itu tampak panik, sehingga sesekali bahasa asingnya menjadi tak lancar.

Umm, sorry. She’s my friend from Indonesia. Can I speak with her, for a minutes, if you mind?”

Wanita itu tampak kaget dan heran, namun akhirnya tetap mengikuti arah tanganku untuk mengikutinya.

“Maaf, waktuku tak lama. Tapi, aku pikir kau adalah pemilik visa ini. Wajahmu sama dengan foto yang kulihat di dalam visa. Kau Nadia?”

“Ya, dan barusan aku hampir saja tidak dapat keluar dari bandara ini. I lost my Visa.”

“Beruntunglah kau. Ini ambillah, aku harus segera pergi.”

“Hei, bahkan kita tak saling memperkenalkan diri.”

“Aku Eda, dan berasal dari Jakarta, sama denganmu.”

“Terima kasih, Eda. Kuharap lain waktu kita dapat berjumpa lagi.”

“Ya, semoga. Nikmatilah suasana kota ini.”

Aku melambaikan tangan sebelum meninggalkannya. Wanita itu membalas sambil sesekali membenarkan earphone di telinganya yang tertutup rambut panjang. Wanita yang beruntung, pikirku. Tentu saja karena aku berhasil menemukan visa-nya.

Di dalam pesawat, aku duduk di bangkuku sambil memandang keluar. Tiga belas jam dari sekarang, aku akan menikmati pemandangan dan udara yang lain. Beberapa hal yang telah lama hilang dari hidupku, namun selalu akan memanggilku pulang. Suara mesin pesawat semakin kencang menandakan keberangkatan. Entah mengapa, layaknya merasakan perjalanan perdanaku ke negara ini, jantungku berdetak lebih kencang. Kali ini bukan karena aku akan merasakan pengalaman pertama ke negara baru, namun justru untuk kembali merasakan hal-hal yang tidak akan pernah bisa kulupakan walau telah menjadi sejarah. Aku akan menemui kalian, Nisya dan Nisya kecil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar