Selasa, 06 Maret 2012

Pulang

Tepat di bawah jendela kamarku di lantai dua, dia berdiri sambil mendongakkan kepalanya. Kedua tangannya terkepal di dalam saku celananya. Tampak ketidaksabaran tergambar di wajahnya. Aku harus segera turun sebelum dia terus-menerus meninggalkan missed called di layar ponselku.

Aku berteriak meminta agar dia bersabar. Segera kutengok layar laptop yang sedari pagi menampilkan tulisan-tulisan acak yang layaknya ingin kujadikan sebuah buku. Berbagai tulisan tentang Ryry. Ya, Ryry selalu menjadi inspirasiku. Kututup layar laptop, mengenakan flat shoes merahku, meraih sweater oversize, dan segera turun.

Sisa gerimis pagi masih tampak di ujung-ujung dedaunan halaman rumahku. Di salah satu sudut dia berdiri, masih dengan wajah tak sabar, selalu menarik walau sering kali memunculkan raut khawatir.

"Lama, dan kemungkinan telat, Nisya!"

"Maaf, aku harus menyelesaikan beberapa paragraf lagi."

"Cerpen? Tentang dia lagi? Baiklah."

"Kamu yakin sudah sehat?" Lalu, dia meraba keningku.

"Ya, sudah lebih baik sejak pagi."

"Dan kamu yakin akan pulang ke Malang hari ini." Tangannya belum juga lepas dari sana, bahkan raut khawatirnya masih jelas.

"Ya!"

"Baiklah keras kepala, ayo aku antar ke stasiun." Kemudian ia membawakan ranselku dan merapatkan sweaterku dengan segera.

"Kemana sepedamu?"

"Kamu pikir aku akan membiarkan kamu sakit lagi gara-gara harus kena angin kencang seperti ini!"

Aku membuntutinya ke arah family car yang entah dia pinjam dari siapa.

"Nona yang rindu akan kampung halamannya, Anda siap jalan sekarang?"

Aku hanya membalasnya dengan senyum di ujung bibirku, sambil melihat ke arah gerimis yang mulai turun lagi, terurai jatuh satu-satu dari angkasa yang abu-abu.

"Semoga kau tidak lupa membawa kertas-kertas dan laptopmu, Nona."

Segera aku memeriksa tas yang ada di atas pangkuanku, sekadar memastikan.

"Bukankah imajinasimu tidak pernah terlelap. Tidak peduli sumber inspirasimu sekarang entah ada di mana, bersama musiknya itu."

Sekilas sisa gerimis membiasakan aura Ryry ke dalam kepalaku. Rambutnya yang berantakan, kacamatanya, ujung jarinya yang menyentuh dawai, juga sikap spontannya yang berbeda dari lelaki di sebelahku ini.

"Hati-hati. Jangan pernah berhenti mengabariku. Segera kembali bila merasa sudah cukup di rumah." Sesampainya di tujuan dia berkata dan mengulaskan senyum yang tidak pernah membuatku tidak terpesona.

Aku bergegas mencari gerbong dan bangkuku. Tak lama kereta berjalan, aku masih sempat melihat tangannya terangkat untukku. "Bye," itulah yang aku baca dari mulutnya.

"Thanks a lot, Eda. See you two weeks again."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar