Minggu, 03 Februari 2013

Kelahiran

Dari balik kaca jendela mobil Ayah

Aku baik-baik saja, Mas. Jangan terlalu khawatir. Aku benci melihat wajahmu yang dirundung gelisah dan kalut. Buktinya, aku masih bisa menulis surat untukmu. Selesaikanlah segala urusanmu, setelah itu segera datang.

Perjalanan yang cukup lama menuju rumah sakit. Akhir minggu di pinggiran kota ini membuat jalanan begitu padat. Ditambah cuaca yang mendadak gelap dan hujan rintik. Tapi tak mengapa, aku tetap sabar di kursi ini. Sesekali aku lihat sepasang manusia tetap tersenyum gambira di atas motornya walau badan mereka dibasahi hujan. Sang wanita membisiki sang lelaki, tampak manja dan penuh kasih. Aku sontak terenyuh dan ingat kamu. Sepasang lain berteduh di serambi-serambi toko sambil tetap bercengkrama. Ternyata, sebuah kebersamaan lebih menyembuhkan daripada apa pun.

Pembukaan dua. Anak pertama kita. Dalam keadaan seperti ini harusnya aku masih bisa bekerja dengan mesin jahit membuat baju-baju mungil untuk calon bidadari kita. Tapi, dokter berkata pembukaan berikutnya akan terjadi dengan sangat cepat dan mungkin berpengaruh pada fisikku. Oleh karena itu, ayah dan ibu sepakat membawaku ke rumah sakit.

Jangan takut. Walau sedikit tak tenang hatiku karena persalinan pertama ini. Kamu menikahiku. Aku memilihmu, berkata iya. Kamu seorang lelaki penuh tanggung jawab. Kala kita harus dipisahkan benua karena pekerjaanmu, kita tak gentar. Kita calon ayah dan ibu yang baik dan kuat. Selesaikan setiap hal yang kita jalani. Doamu saja aku rasa sudah cukup menghangatkanku. Ketika kamu tiba pasti bidadari kita sudah menyambut dengan garis indah dari bibir mungilnya. Aku menunggumu dengan kasih dan sabar, Mas.


Untuk: Suami terhebat, Mas Reno
Dari: Penyayangmu, Witya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar