Rabu, 06 Februari 2013

Almond dan Trigonometri


Pagi ini kamu tampak berantakan. Sebagian baju seragam belum dimasukkan dengan rapi. Rambut yang masih separuh basah sedikit menutupi kening. Bahkan, buku-buku pelajaran masih tergenggam di tanganmu, belum sempat dimasukkan ke dalam tas. Pasti kamu hampir telat lagi. Lima menit saja langkahmu diperlambat, maka gerbang sekolah akan ditutup. Pantas, aku lihat napasmu tersenggal dan wajahmu memerah. Mengapa kamu tetap menarik?

Sikapmu, seperti biasa, selalu ceriwis ketika ada pekerjaan rumah. Masih ada beberapa menit sebelum Pak Harjo, guru Matematika, datang dan meminta tugas. Kamu yang pintar, tapi pemalas, segera duduk di sampingku dan dengan menyebalkan menarik-menarik buku tugas yang sedang aku simpan. Berjanji akan membelikan semangkuk mie ayam atau sebatang cokelat almond kalau aku mau membagi jawaban. Mengapa aku selalu baik padamu?

Angka-angka Trigonometri terpampang di papan tulis. Istilah Sinus, Cosinus, dan Tangen memenuhi otak. Derajat-derajat angka menghasilkan nominal lain. Dengan suara lantang sang guru berkata-kata. Semua mata melihat ke depan, takluk. Aku tak perlu takut karena ini mata pelajaran kesukaanku. Tapi, mengapa justru pikiranku tertuju padamu?

Tiba waktu makan siang, aku bergegas berdiri namun kamu lebih dulu menahanku untuk pergi. Dengan raut manis dan tatapan tajam kamu memperlihatkan barisan rapi gigi-gigi di balik senyummu yang dengan kuatnya akan membuatku sulit terlelap malam nanti. Sepersekian detik kamu memegang tanganku, menyentuh kulitku, terasa sampai ke naluri hingga menyadarkan aku dari khayalan singkat. Wangi tubuhmu pada akhirnya membuat aku terjatuh lebih larut dalam daya pikir imajiner. Mengapa aku begitu tergoda?

“Boleh aku bicara?” Katamu. Tentu saja aku mengangguk, dengan cepatnya. Kembali terduduk di sampingmu dan sempat mematung kalut. Kalut karena bahagia dan merasakan debaran unik. Bibirku sedikit ragu memulai bicara karena terlalu banyak yang ingin dikatakan. Bicara saja. Aku sudah terlanjur takjub dengan adanya kamu. Aku tak akan pergi, bahkan berdiri. Aku pikir kita memang cocok. Berteman sejak lama dan saling bercerita. Hingga kamu buka kata-kata itu. Mengapa kamu ternyata mencintai sahabatku?


Note: Maafkan aku yang (mungkin) sudah merusak keadaan kita

Dear: Sahabatku, cinta pertamaku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar