Selasa, 29 Januari 2013

Lampung (Seberang Pulau)


Dari aku di Ibu Kota, menulis untuk sebuah wilayah di seberang pulau.

Sudah hampir tujuh tahun aku jauh. Tidak terlalu jauh bila lama perjalanan kira-kira delapan jam dianggap sebentar. Sebuah perjalanan darat sekaligus laut, hingga aku benar-benar menginjak tanahmu lagi.

Lahir dan besar di rengkuhan daratan ujung Sumatera yang masyarakatnya heterogen dan mayoritas mencari hidup dengan berkebun. Itu aku. Seorang anak keturunan Sumatera dan Banten, namun justru dianggap orang Lampung asli karena sedari bayi sudah ada di sana. Itu kamu. Sebuah tempat yang menjadi saksi aku tumbuh hingga aku tinggalkan.

Dulu, saat kecil, aku ingat selalu berlari-lari berkejaran dan bermain dengan kawan-kawan saat sore datang. Di belakang rumahku, mengalir sungai yang airnya kecokelatan. Gemericik alirannya merdu dan membuat rindu. Kala siang, suaranya bisa membuat teduh. Kala malam, suaranya membuat nyaman. Udaranya sejuk dan bahkan dingin saat malam, walau sekarang sudah tidak seperti dulu. Langitnya gelap pekat hingga miliaran bintang bisa terlihat nyata, tidak seperti di kota besar yang nyalanya karena lampu-lampu jalanan. Itu semua kamu.

Sekarang desa sudah berkembang menuju kota. Jalanan berbatu menjadi aspal halus. Minimarket tumbuh berbalapan. Becak-becak dengan pengemudi berpeluh berganti ojek dan angkot yang membuat jalanan pasar macet. Sungainya semakin pekat. Siang sudah bukan hangat, tapi terik membuat dahaga. Tapi, aku tetap rindu untuk kembali ke tanahmu lagi. Bagaimanapun karenamu aku tumbuh dan menjadi sekarang. Cerita di tanahmu akan menjadi sejarah masa kecilku. Tempat yang selalu membuat aku ingin pulang. Bertemu rumah induk semangku, keluargaku, dan teman-teman lama yang selalu berbagi cerita. Itu semua kamu, ada di kamu. Lampung, di ujung pulau Sumatera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar