Sudah memasuki pukul 7 malam,
namun cuaca masih terang benderang. Di saat musim panas atau musim semi, memang
siang hari terasa lebih panjang di sini. Akan tetapi, cuaca malam hari tetaplah
dingin. Kepulan uap keluar dari mulutku saat aku menghembuskan nafas sambil
menggosokkan kedua tanganku untuk menghangatkan diri. Aku berhenti di depan
sebuah rumah bergaya khas. Rumah dengan lantai kayu yang dilengkapi dengan
tangga menuju pintu depannya, mengingatkanku akan sebuah rumah yang dulu sering
kusinggahi, rumah dari seseorang yang
kusayangi, teman masa kecilku yang sekarang telah menjalani kehidupan
barunya. Rumah ini cukup besar,
berlantai dua, berdinding warna
abu-abu, berdaun jendela merah tua, atap dan tiang penyangganya berwarna putih,
serta memiliki cerobong asap cukup besar. Rumah yang terlihat nyaman dan hangat
untuk melarikan diri dari udara malam tak bersahabat. Aku merasa beruntung bisa
tinggal di rumah ini. Saat kedatanganku ke negara ini setahun yang lalu, nasib
membawaku untuk bertemu dengan seorang teman lama yang kebetulan juga
melanjutkan sekolah musiknya di sini, hanya saja dia telah lebih dulu lama
datang ke negara ini, dan kini dia tinggal bersama istrinya. Mereka berbaik
hati mengizinkanku tinggal bersama mereka, memberiku sebuah kamar besar di
lantai dua, dan menjadikanku bagian dari keluarga mereka.
Aku memasuki pintu depan dan
melepaskan baju hangatku. Tidak terdengar suara siapa pun dari dalam. Biasanya,
jam-jam seperti ini mereka sedang mempersiapkan makan malam di dapur. Mungkin mereka
masih di luar atau Argi, nama temanku itu, masih sibuk di kampusnya, dan sang istri
menunggu di sebuah restoran kecil yang khusus menjual pasta yang terletak di
depan kampus kami. Mereka sering melakukan ritual tersebut. Sebuah rutinitas
yang manis dari sepasang anak manusia, kembali mengingatkanku akan hal-hal yang
telah berusaha kulupakan. Apakah di sana dia juga sebahagia Argi dan istrinya
di sini?
Melepas lelah, kurebahkan badanku
di atas sofa empuk berwarna hijau toska di ruang tengah yang memiliki tungku
perapian. Ketika hampir terlelap, aku mendengar suara langkah kaki masuk
diiringin suara canda tawa. Aku menyunggingkan senyum mengetahui siapa yang
datang, ingin kupejamkan lagi mataku, namun tergagalkan karena mendengar namaku
dipanggil.
“Hai, Da! Sudah pulang rupanya?”
Argi menyapaku.
“Kebetulan sekali, kami baru saja
membeli bahanan makanan untuk makan malam, dan guess what? Malam ini kita akan makan masakan Indonesia.” Echi
melanjutkan.
Aku berdiri dan menghampiri
mereka.
“Dari mana kalian mendapatkan
semua bahan ini? Chinatown?”
“Yes, kupikir akan sempat memasak opor ayam dan sup tofu untuk makan malam.” Jawab Echi.
“Ya, aku rindu makanan-makanan
rumah. Masakan malam ini akan semakin membuatku ingin pulang.” Aku bersungut-sungut.
Argi tertawa dan memegang bahuku.
“Lalu, apa yang masih
menghalangimu untuk pulang? Kau kesulitan membawa terompetmu?” Candanya.
“Aku belum ingin pulang, itu
saja, entah mengapa.” Jawabku.
“Afraid about something, aren’t you?”
“Hei, apa maksudmu?” Aku menjawab
sambil mengalihkan pandangan, namun kemudian menjawab:
“Ya, mungkin benar katamu.”
Echi memandangi kami sambil terus
membereskan meja makan. Dia menghampiri kami berdua.
“Sekarang, bersihkanlah diri
kalian, lalu kembali ke dapur ini saat kupanggil.”
“Baiklah.” Jawab Argi.
Aku mendahului langkah menuju
kamarku di lantai dua. Masih mendengar tawa Argi atas celetukan Echi yang
menegurnya karena telah menggodaku. Aku memasuki kamar disambut dengan wangi
apel dari pengharum ruangan yang bercampur dengan bau masakan dari lantai
bawah. Kututup pintu dan memandang ke arah meja di ujung kamar. Kudekati meja itu
dan membuka layar laptop yang ada di atasnya, sebuah tanda di kiri bawah layar
berkedip-kedip menunjukkan ada satu e-mail
baru masuk.
Hi, uncle Eda. Good night. How
are you there? Here, I enclose some photos of mine. Hope you like it J
Kuunduh beberapa foto yang
dikirimkan dalam e-mail tersebut,
kuputar sebagai slideshow, dan
kulihat paras ceria gadis kecil berumur 3 bulan yang memanggilku Uncle tadi. Tentu saja, ini perbuatan
ibunya. Tak mungkin seorang bayi terbangun di tengah malam dan mengirim e-mail. Aku tertawa. Ya, sudah tengah malam di
Indonesia. Anak ini cantik, secantik ibunya. Dan dia memiliki tatapan yang
tegas, mungkin seperti ayahnya. Aku berjalan membuka jendela, melihat beberapa
kuntum bunga baru mulai bermunculan, mungkin esok siang akan mekar. Tersenyum kuingat
wajah mungil dalam foto-foto tadi, kehembuskan nafas dengan kencang, lalu berbalik berniat segera membersihkan
diri. Ya, sebelum pasangan itu marah-marah menungguku dengan kelaparan,
sebaiknya aku segera bersiap makan malam. E-mail itu adalah sebuah “kado” yang membuat
lelahku lenyap terbawa malam. Nisya selalu mengingatku, aku tak perlu khawatir.
Memang sekarang dia menjalani kehidupan yang lebih kompleks dan baru, begitupun
aku. Tapi, tak masalah selama kami masih saling mengingat dan merindukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar