Minggu pagi ini, aku memang berencana melakukan beberapa hal bersamanya. Umm, sebenarnya bukan berencana, tapi dia ingin menunjukkan suatu hal kepadaku, begitu katanya dalam pembicaraan telepon semalam. Kakinya berderak-derak berat dan pelan di belakangku. Ku lihat dia membenarkan rambutnya yang pendek dengan ujung jemarinya. Dia pasti mengendarai sepedanya kemari. Dia melepaskan sepatunya, lalu melemparkannya begitu saja ke sudut ruang tamu. Aku menarik nafas dan berjalan terus ke dapur.
"Wangi cokelat panas, lalu apa ini? Kau membakar kue?"
"Ya, minggu pagi kali ini lebih cocok dihabiskan dengan segelas besar minuman hangat dan potongan kue."
Dia memasukkan sebuah kue yang telah matang. Mengunyahnya dengan cepat dan memutar bola matanya, tampak berpikir dan merasa. Sambil ku raih segelas besar cokelat panas untuknya:
"Ini milikmu, minumlah sebelum dingin. Bagaimana kue itu?"
Dia tak menjawab, tapi mengambil lagi kue itu, kali ini dua potong, dan meminum cokelatnya. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku jaket biru mudanya yang ber-capuchon. Sebuah kaset yang diacungkan di depan wajahku. Mana aku pernah bisa menebak maksudnya. Dia hanya memintaku diam dan mengikutinya. Di ruang tengah, dia menggeser beberapa kursi dan sebuah meja kayuku, menciptakan ruang yang lebih luas. Lalu, dia meletakkan kaset tersebut di dalam music player, menunggu beberapa detik, lalu berdiri ke arahku.
"Mungkin bagimu konyol. Sebentar lagi kau akan mendengar jenis musik
ballroom dance, yah bisa kau sebut waltz."
Tanpa ada ragu atau malu, dia memegang tangan kananku, lalu tangan yang lain memeluk pinggangku.
"Semalam, ibu mengajariku tekniknya. Kaset ini pun aku dapatkan dari koleksinya."
Ia tertawa, namun tetap mengikuti hentakan pelan nada yang diputar. Aku yang tak ahli hanya bisa mengikuti geraknya dengan kikuk, sesekali mengeluh.
"Jadi, ini tujuanmu menyingkirkan kursi-kursi itu?"
"Ya, butuh celah untuk menari, Nisya."
Pada beberapa gerakan, tangannya semakin kuat memegang dan mendekapku. Aku dapat merasakan wangi parfumnya, memegang pundaknya yang kuat, sesekali masuk ke dalam matanya, dan menyesap berbagai gambaran yang muncul dari rautnya yang berubah mengikuti alunan.
"Kau perlu tahu sesuatu, ku pikir," kataku sekadar membuat diriku tersadar dari lamunan akan lukisan Tuhan yang indah di depanku ini.
"Apa itu?"
"Ku harap kau tidak.. Emm, maksudku.. Semalam, Ryry mengungkapkan apa yang kutunggu."
Dia masih memegangku, tetap menari, hanya saja langkahnya terasa tak senada dengan apa yang kami dengar. Apakah yang ada di dalam pikirannya?
"Lalu, kau menerimanya? Ah, iya maaf. Aku tahu kau pasti menerimanya. Itu yang tertunggu sekian lama."
Kami berhenti menari lalu duduk bersebelahan, namun tak saling bercakap. Layaknya berada di tempat terpisah, kami hanya berusaha memecahkan isi pikiran sendiri-sendiri.
"Cepat atau lambat, hal ini akan terjadi. Dan ku pikir aku harus siap. Ya, aku...berharap...ah, sudahlah," sialnya dia tetap menampakan wajah tak-terjadi-apa-pun.
"Anggap saja, ini adalah bagian akhir dari sebuah perjuangan, yang ku lakukan entah untuk apa."
Aku menyusulnya saat dia mulai beranjak dari tempatnya. Dia keluar dengan capuchon yang menutupi kepalanya, lalu menengok ke arahku.
"Aku tetap menjadi bagian dari ceritamu bukan."
Entah itu sebuah pertanyaan, atau pernyataan. Ada genangan di ujung mata yang mulai turun. Ibu jarinya menghapus tetesan di wajahku sebelum dia sesungguhnya benar-benar pergi dari tempat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar