“Jadi, ke tempat ini kau ingin
mengajakku pergi?”
“Ya, menggantikan rencana kita
beberapa hari lalu yang gagal karena hujan.”
“Memang bukan taman bermain yang
ingin kita kunjungi, ini hanya sekadar tempat orang menenangkan diri atau
mencari ide untuk karya mereka,” lanjutku.
Tempat ini justru mirip sebuah
hutan kecil. Oh, oke, bukan hutan. Namun, sebuah kompleks pepohonan heterogen
rimbun dengan tanah yang membukit,
beberapa kursi kayu yang dicat putih, tanaman perdu yang merambat
menutupi tanah subur, pemandangan hijau menghiasi tiap sudut, dan beberapa
orang yang kebanyakan datang tanpa teman. Jelas mereka datang ke sini hanya
untuk dirinya sendiri.
Aku mengajaknya mendekati sebuah
kolam kecil di tengah-tengah, dan menunjukkan sesuatu padanya. Kepalanya tampak
bergerak-gerak mencari apa yang ku maksud.
“Kau pasti tahu apa ini.”
“Daun semanggi?”
“Ya, atau yang disebut clover, tapi ada hal yang unik, lihat
jumlah daunnya.”
Tanpa menunggu dia menjawab, aku
meneruskan kalimatku.
“Sebenarnya ini hanya mitos,
namun dalam berbagai kisah disebutkan bahwa clover
berdaun lima membawa keberuntungan.”
Dia tampak tersenyum remeh dan
mengangkat satu sisi ujung bibirnya. Aku tahu bahwa dia tidak menyukai segala
sesuatu berbau mitos atau sekadar legenda. Tapi, kemudian dia mengambil daun
itu dari tanganku.
“Baiklah. Biar ku pegang daun
ini, berharap akan muncul hal-hal yang menyenangkan datang padaku hari ini.”
Dia menarik tanganku dan kami berjalan
bersisian, namun tidak saling menggenggam. Sesekali dia tertawa terbahak
mendengar ceritaku. Rambutnya berjatuhan menutupi dahi saat dia berusaha
mengejar langkahku yang ku percepat untuk menggodanya. Raut wajahnya sedikit mengguratkan
sipu saat aku melepas begitu saja sweater biruku di depannya agar dapat dia pakai menutupi kausnya
yang terkena tumpahan air iced lemon tea yang kami beli. Beberapa orang tua
memperhatikan tingkah kami, namun kami hanya tak peduli.
Lalu, aku mengajaknya naik ke
bagian tanah yang berbukit. Bagian dengan perdu dan rumput yang lebih
menghijau. Di sana, dia terduduk di sampingku yang berbaring di atas
rerumputan. Punggungnya tampak naik turun karena kelelahan harus menaiki bukit
kecil ini. Langit senjakala yang mulai memperlihatkan warnanya, membuat dia
ikut merebahkan diri di sebelahku. Di tempat ini, kami merasa lebih dekat
dengan langit. Warna senja yang merah, kekuningan, dan bercampur ungu tampak
seperti kapas manis aneka rasa. Beberapa saat kami terus tertawa
dan bercerita, hingga aku mengeluarkan benda berwarna merah tua dari saku
celanaku. Hadiah yang sedianya ku berikan di hari ulang tahunnya kemarin. Aku duduk,
memintanya mengikuti, lalu mengeluarkan kata-kata yang seharian kemarin terus
berputar di kepalaku. Aku tahu dia menangkap maksudku saat ku tunjukkan benda
itu padanya, namun ia masih menunggu kata-kata.
"Ti amo, mi vuoi sposare?"*
Dia hanya terdiam penuh arti, dan tidak ada penolakkan saat aku meraih jari manisnya.
*I love you, would you marry me?" (in Italian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar