Lebar-lebar, dengan masih di atas
kasur ini, aku merentangkan kedua tangan dan kaki dan menghirup udara pagi yang
berbau segar. Terasa hangat temperatur di kamar ini, sebentar lagi suhu mungkin
akan mencapai 20⁰C, suhu standar siang hari di musim semi yang sebentar lagi
berakhir. Aku menghentakkan kakiku terlalu semangat ketika turun dari tempat
tidur, kuharap kelakuanku ini tidak membuat Argi atau Echi berteriak marah
karena letak kamar ini tepat di atas kamar mereka. Kubuka jendela
double-glazing yang dirancang untuk musim dingin dan membuat ruangan ini akan
terasa sangat pengap saat musim panas. Wangi bunga yang entah hanya imajinasiku
atau nyata seketika menyatu dengan nafasku. Sebuah tas yang terlalu besar di
atas lemari tampaknya cukup untuk melengkapi kepulanganku yang tidak akan lama.
Aku mempersiapkan beberapa hal yang harus dibawa; tentu saja beberapa dokumen
penting, pakaian, dan oh . . . . tentu
saja aku tak akan membawa baju dingin, di sana udara hanya terbatas pada panas
atau hujan, dan tentu saja aku tak perlu membawa terompetku. Kupandangi jam
dinding, pukul 7 pagi, saat ini mungkin dia di sana sedang makan siang bersama
keluarga kecilnya. Kuangkat bahu dan berdiri untuk segera turun menemui kedua
sahabatku. Mereka belum tahu tentang rencanaku malam ini.
“Tidak akan lama. Hanya mengikuti
saranmu, mungkin untuk melepas rindu atau menyelesaikan beberapa hal.” Jawabku atas
pertanyaan Argi atas kepulanganku yang tiba-tiba.
“Kau memilih penerbangan pukul 8
malam?”
“Ya, aneh menurutmu?”
“Kau akan tiba di sana sekitar
pukul 9 keesokan harinya. Bagaimana dengan kemacetan?”
“Justru itu salah satu hal yang
ingin kurindukan.” Jawabku konyol.
Argi dan Echi menitipkan ratusan
pesan yang seharusnya hanya pantas bagi anak remaja yang ingin bepergian jauh
untuk pertama kali. Untuk menghentikan bicara, aku hanya mengatakan bahwa aku
akan kembali saat musim panas belum berakhir. Ya, sebentar lagi memasuki bulan
Juni, bulan di mana kebanyakan penduduk di negara ini menghabiskan waktunya
untuk berjemur di pantai.
Aku sengaja berangkat lebih awal
untuk menikmati cuaca sore hari. Melewati sebuah taman yang cukup besar di
pusat kota, aku tersenyum lebar melihat hamparan bunga-bunga musim semi;
crocus, bluebells, dan daffodila. Walau musim ini sebentar lagi berakhir, namun
bunga-bunga itu masih bermekaran dengan marak. Andai suatu hari aku dapat
melihat Nisya duduk dengan memegang kertas-kertasnya di tengah taman ini, atau
justru sambil mendorong kereta bayinya. Lamunanku terhenti karena sebuah bis
merah yang akan membawaku ke bandara berhenti tepat di dekatku.
Tiba di bandar udara Heathrow
dengan tanpa hambatan, aku memiliki waktu lebih dari satu jam untuk menikmati
makan malam. Aku memasuki sebuah kafetaria dengan pintu kaca putar dan duduk di
salah satu sudut. Kupesan dua potong sandwich tuna dan segelas besar hot chocolate, dua buah hal yang mengingatkanku
akan sosok Nisya, dan tentu saja masa kecil kami. Segera kuhabiskan pangananku
karena tak lama lagi waktu keberangkatan pesawat tiba. Perhatianku tiba-tiba tertuju
pada sebuah benda berwarna putih di atas meja di sebelahku; sebuah visa. Siapa yang
dengan bodohnya telah meninggalkan benda sepenting ini di tempat umum? Tanpa benda
ini, orang tersebut tak memiliki perizinan untuk masuk dan tinggal di negara
ini. Kubaca identitas pemiliknya. Nadia Astriani. Jakarta, Indonesia. Aku tertawa
mengetahui bahwa pemiliknya berasal dari negara yang sama denganku. Aku bergegas
pergi dari kafetaria sambil mengantongi visa itu.
Tak jauh dari Gate V tempat aku seharusnya
lewat, kulihat dua orang petugas keamanan sedang berbincang serius dengan
seorang wanita yang tampak kukenal. Wanita itu tampak panik, sehingga sesekali
bahasa asingnya menjadi tak lancar.
“Umm, sorry. She’s my friend from
Indonesia. Can I speak with her, for a minutes, if you mind?”
Wanita itu tampak kaget dan
heran, namun akhirnya tetap mengikuti arah tanganku untuk mengikutinya.
“Maaf, waktuku tak lama. Tapi,
aku pikir kau adalah pemilik visa ini. Wajahmu sama dengan foto yang kulihat di
dalam visa. Kau Nadia?”
“Ya, dan barusan aku hampir saja
tidak dapat keluar dari bandara ini. I lost my Visa.”
“Beruntunglah kau. Ini ambillah,
aku harus segera pergi.”
“Hei, bahkan kita tak saling
memperkenalkan diri.”
“Aku Eda, dan berasal dari
Jakarta, sama denganmu.”
“Terima kasih, Eda. Kuharap lain
waktu kita dapat berjumpa lagi.”
“Ya, semoga. Nikmatilah suasana
kota ini.”
Aku melambaikan tangan sebelum
meninggalkannya. Wanita itu membalas sambil sesekali membenarkan earphone di telinganya yang tertutup
rambut panjang. Wanita yang beruntung, pikirku. Tentu saja karena aku berhasil
menemukan visa-nya.
Di dalam pesawat, aku duduk di
bangkuku sambil memandang keluar. Tiga belas jam dari sekarang, aku akan
menikmati pemandangan dan udara yang lain. Beberapa hal yang telah lama hilang
dari hidupku, namun selalu akan memanggilku pulang. Suara mesin pesawat semakin
kencang menandakan keberangkatan. Entah mengapa, layaknya merasakan perjalanan
perdanaku ke negara ini, jantungku berdetak lebih kencang. Kali ini bukan
karena aku akan merasakan pengalaman pertama ke negara baru, namun justru untuk
kembali merasakan hal-hal yang tidak akan pernah bisa kulupakan walau telah
menjadi sejarah. Aku akan menemui kalian, Nisya dan Nisya kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar