Detak jantungku berdetak lebih cepat seolah tak
menuruti keinginan sang empu yang mati-matian menjaga wajahnya agar tak
terlihat pucat atau tegang. Terlintas tiba-tiba pikiran seolah aku terlalu
berani mengambil sebuah keputusan, seperti keberanian jatuh cinta tapi di sisi
lain merasa takut untuk patah hati. Namun, melihat dia berdiri sendiri dalam
ruangan yang bersebelahan, perlahan rasa gelisahku memudar. Tak tampak ekspresi
ragu dari gurat parasnya. Ya, ini seharusnya menjadi saat yang telah ku tunggu
sejak lama, berdiri di hari ini, dan tak membiarkan apa pun mengambil apa yang
seharusnya menjadi takdirku. Aku akan memberanikan diri, menanggung pilihanku.
Pagi sakral itu, semua biru dan
putih, seperti langit dan awan yang berdampingan. Semua terasa hangat, hangat
seperti peluknya, hangat seperti genggaman tangannya, dan hangat seperti cinta
kami di atas bukit hijau dengan langit senja berwarna kapas manis. Setelah perhelatan
sederhana dan singkat, diiringin doa-doa tulus, juga pemberian restu, dia
menghampiriku. Beberapa tamu tampak bersuka cita menikmati apa yang kami
sediakan, lagu-lagu cinta tanpa berhenti mengiringi hari kami, sahabat-sahabat
yang memberikan selamat dan pelukan haru, semua hanya menjadi awal bagiku dari
masa yang baru, sisi hidupku yang lain namun dengan rasa memiliki dan dimiliki.
Kami berdua berjalan menghampiri keramaian,
lalu berlawanan menuju ke tempat yang lebih tenang. Di sisi kanan halaman rumahku
yang teduh, dia berkata;
“Terima kasih mau menjadi
penyempurna sisa hidupku, tampaknya tak ada cukup kata untuk mengungkapkan
semua, tapi..terimalah kejutan satu ini.”
Dia menggeser posisi tubuhnya
yang semula berdiri tepat di hadapanku. Muncul sosok yang sudah ku nanti sejak
awal acara, bahkan sejak berminggu lalu saat aku disibukkan dengan segala
persiapan. Wajahku tercekat. Dia sangat gagah layaknya pria lain yang menjadi
bintang utama hari ini. Mengenakan kemeja putih bersih yang lengannya digulung
sampai siku dan kancing atas yang dibiarkan tak terpasang, celana berwarna beige, dilengkapi rona wajah yang tak
pernah tak mempesonaku, dia menghampiriku, sementara Ryry memberi kami waktu
untuk berdua.
“Selamat memulai bagian baru dalam hidupmu,
Nisya.”
Aku tak lantas menjawab, namun
merasakan genangan panas di mataku yang perlahan turun. Seperti dahulu, dia
menyentuh pipiku dengan ibu jarinya untuk menghapus air mataku.
“Hei, kau menangis?”
Refleks aku memeluk tubuhnya dan
terisak pelan di bahunya yang tegap.
“Terima kasih, Da. Senang kau
akhirnya datang. Terima kasih, sekali lagi.”
Dia membelai punggungku, mengangguk,
dan menarik lenganku agar kami dapat bertatapan. Eda mencium keningku, pelan
dan cukup lama.
“Mungkin bisa menjadi hadiah
kecil,” katanya dengan senyum tipis.
“Seperti yang ku katakan dalam
pesan singkat beberapa hari lalu, aku datang pada harinya, aku ingin mengatakan
sesuatu,” lanjutnya.
Diiringin suara ramai para tamu
dan musik dari kebun belakang rumah, aku mendengar keputusannya.
“Soal pendidikan musikku . . . Nisya,
aku harus pergi. Mungkin tidak lama dan tidak jauh selama kita menganggapnya bukan
masalah besar.”
“Itu suatu keharusan?” tanyaku
gundah.
Dia menyentuh pundakku, penuh
sikap menenangkan.
“Demi mimpi. Dan aku akan
kembali. Maukah kau menungguku seperti kita saat kecil yang menunggu saat kita dewasa, dan seperti aku menunggumu merasakan hal yang sama dulu?”
Lalu apa lagi yang dapat aku
katakan. Isakku semakin terasa mengganggu telingaku sendiri. Bajunya basah oleh
airmata saat ku kembali menangis di pelukannya yang hangat, hangat seperti hari
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar