Kedua kakinya berayun-ayun cepat
ketika dia duduk di bingkai jendela kamarku. Sementara, angin panas bertiup
masuk ke kamarku dan menerbangkan rambutnya. Dengan santai dia berucap, seolah
meledekku. Apa begitu sederhana dunia dalam pandangan matanya. Baru saja, aku
sedikit memberanikan diri untuk bercerita, tentang diriku dan hal-hal yang
ingin kulupakan,walau tak akan pernah bisa. Bahkan, aku menunjukkan foto-foto
gadis cilik di layar laptopku. Mungkin itu yang justru membuatnya berani berkata demikian. Mengapa tidak mencoba denganku? Sudah pergi kemana akalnya
perempuan di depanku ini. Terlalu banyak menuliskah dia? Atau masalah-masalah
di masa lalunya yang membuat dia seperti ini?
Seseorang yang pernah kukenal.
Dia begitu berbeda dengan Nadia. Kesamaan mereka hanya terletak pada obsesi
menulis. Nadia, tampak sangat suka bercerita lewat obrolan, sedangkan orang itu sering kali hanya menjadi pendengar dan menjawab dengan singkat kata. Gadis ini
sangat ringan dan seenaknya, sedangkan Nisya selalu berpikir panjang dan butuh
untuk diberitahu, selalu. Lalu, mengapa
aku harus membandingkan mereka berdua? Di mana aku meletakkan pikiranku? Kalau
begitu . . . .
“Bagaimana dengan pergi makan
malam keluar?” Tanyaku.
Dia tertawa, lalu berdiri
menghampiriku. Sambil meninju pundakku, dia menggigit bibirnya dan tampak berpikir.
“Baiklah. Kita harus mencoba.”
Jawabnya.
Malam itu, aku menunggu dia di
depan pintu kamarku. Aku telah siap dengan beberapa ke-formal-an dalam
pakaianku, dan aku harus menaikan alis saat melihatnya keluar kamar. Dia memakai kemeja flanel besar, blue jeans,
dan sebuah fedora di atas kepalanya. Aku mengahampirinya dan meraih topi itu
dari kepalanya.
“Kita tidak berangkat untuk
menonton konser Jaz, Nad.” Protesku.
“Oh, sebuah kencan yang cukup
serius. Alright?” Jawabnya sambil
mengumbar senyum lebar.
Kembali aku harus menunggunya di
sini hingga kami benar-benar pergi berdua malam itu. Sepanjang perjalanan tak
henti-henti kudengar mulutnya menimpali apa yang dia lihat atau sekadar
menyanyikan lagu-lagu kesukaannya. Sepertinya aku sudah melupakan rasa laparku
karena sibuk memperhatikan perempuan ini. Keberadaannya di sebelahku memberikan
beberapa rasa baru yang mungkin sebelumnya asing. Sesuatu di dalam dirinya
telah membuatku membuka diri, tanpa disadari. Dia memang bukan hal terbaik
dalam hidupku, setidaknya sampai sata ini. Kenyataannya, aku selalu tertarik untuk menikmati hariku
bersamanya. Seperti cokelat murni yang rasanya tidak terlalu manis sampai
diberi tambahan rasa, namun mampu membuat seseorang menjadi pencandu. Begitupun
hal-hal baru yang dia perlihatkan dalam duniaku, aku tidak pernah merasa puas,
namun butuh lebih.
“Hei, Nad!”
Dia menengok ke belakang
melihatku yang mulai tertinggal karena terlalu banyak berpikir.
“Ya?”
“Kau tahu jenis cokelat Couverture
atau real chocolate?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar