Aku memperhatikan Echi dan Nadia
sibuk memasukkan roti ke dalam alat pemanggang otomatis dan menangkap roti yang
telah matang dan terlontar keluar dari alat tersebut. Tak jauh dari sana, Argi
duduk membaca koran pagi sambil menikmati sarapannya, semangkuk telur orak-arik
dan segelas orange juice. Lama
tinggal jauh dari negara kelahiran, tampaknya juga telah mengubah selara
makannya. Aku menghampiri mereka dan mengambil satu lembar roti panggang yang
telah tertata rapi di atas piring. Tak lama, kami sudah duduk berempat
mengelilingi meja makan untuk menikmati sarapan. Ada yang berbeda di sini.
Sejak Nadia datang, kami terbiasa berkumpul berempat saat jam-jam sarapan atau
makan malam. Perempuan itu sekarang duduk di sebelahku, sibuk dengan
makanannya, ketika Echi membuka percakapan.
“Nad, hari ini kau ingin ikut
denganku, berdiam diri di rumah, atau berjalan-jalan sendiri lagi?”
Tanpa mengalihkan pandangan dari
makanannya, Nadia menimpali.
“Kupikir lebih baik aku pergi
keluar, udara terlalu panas untuk membuatku tinggal di rumah.”
“Kalau begitu, mungkin Eda bisa
menemanimu. Ya, bila dia atau kau tidak berkeberatan.”
Aku berhenti mengunyah dan
memandang mereka bergantian.
“Tentu saja. Aku dengan senang
hati bersedia bila Eda tidak sibuk.”
Hei! Kupikir dia akan menolak
ditemani kesana-kemari layaknya anak kecil, namun dengan menunjukkan barisan
giginya yang rapih itu dia justru bersuka cita untuk pergi dengan orang yang
baru dia kenal. Ya, baru kenal kembali sejak pertemuan pertama di bandara
tentunya.
Maka sore itu, aku mengekori
langkahnya, namun kemudian berjalan di sebelahnya. Keputusanku bukan karena
terpaksa, kupikir pergi keluar sore hari adalah hal yang selalu menyenangkan.
Dan pilihanku jatuh pada menikmati tea
time di sebuah restoran pastry
kecil di tengah kota, sedangkan dia hanya menyetujui pilihanku tanpa harus
menyanggahnya terlebih dahulu.
“Restoran yang tidak terlalu
ramai, tapi menyenangkan.” Pendapatnya.
“Kau akan semakin jatuh cinta
pada tempat ini setelah kau cicipi menu-menunya nanti.” Jawabku.
“Dan, sore ini kau boleh memesan
apa pun yang kau suka. Tempo hari, kau telah menolongku. Maka, izinkan aku
membalasnya.”
Aku tertawa mengetahui niatnya.
Pantas, dia tak menolak untuk pergi denganku. Hanya sekadar balas budi, heh? Sungguh sebuah hal aneh karena
baru, namun tak terasa asing. Dia banyak bercerita, bahkan mungkin terlalu
terbuka. Nadia layaknya seseorang yang berasal dari sebuah planet yang tak
kukenal. Tiba-tiba datang dengan berbagi banyak cerita, terkadang terkesan
dramatis. Dia yang datang ke negara ini untuk mengejar sebagian mimpi, atau dia
yang bosan dengan kehidupannya yang lama, berusaha membakar kenangan-kenangan
pahit tentang kisah klasik broken home yang ia alami atau kisah tentang
hubungannya yang tetap berjalan baik dengan seorang yang ia cintai namun lebih
memilih menikahi wanita lain. Bahkan, beberapa cerita tersebut tak pernah
kudengar dari Echi.
“Mengapa tidak kau tulis saja
ceritamu sendiri menjadi buku?” Tanyaku.
“Umm, mengetahui dan menuliskan
masalah lain di luar bebanku sendiri, membuat aku tahu bahwa aku tak sendiri di
dunia ini.”
Kami menghabiskan sore dan teh
dalam cangkir masing-masing dengan saling bertukar kata, tentu saja aku lebih
banyak mendengarkan. Kemudian, sinar matahari yang mulai turun ke ufuk barat
membuat mataku terpicing. Di balik jendela kaca besar kami duduk berhadapan.
Bibirnya bergerak-gerak lincah, mengajarkanku beberapa hal. Sambil menggigit
ujung pastry terakhir aku tersadar,
saat ini mungkin aku sedang mencari kebahagiaanku sendiri, seperti janjiku pada
Nisya dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar