Aku mengetuk-ngetuk ujung
telunjuk di pipiku, berpikir apa lagi yang kurang. Setelah merasa semuanya
sudah siap, aku menuju dapur kecilku. Semalam aku sudah mempersiapkan beberapa
bahan makanan di atas meja dapur. Roti tawar, berlembar selada , potongan
tomat, lembaran keju, dan daging ikan tuna. Ku harap porsi sandwich yang akan
ku buat cukup untuk mengganjal perut kami nanti. Aku juga mempersiapkan dua
buah lemon tea kaleng sebagai
pelengkap. Lantai kayu berderak-derak saat telapak kakiku mondar-mandir sibuk
mempersiapkan semuanya. Ternyata persiapan kali ini memakan waktu lebih lama
dari biasa, mungkin karena aku berharap hasilnya lebih sempurna. Jatuh cinta
terkadang membuat dirimu lebih sering merasa kurang percaya diri.
Satu jam aku menghabiskan waktu
di dapur. Sembari mengusap sedikit peluh di kening aku berjalan cepat menuju
tangga dan naik ke kamarku. Aku memiliki sisa waktu sekitar tiga puluh menit
untuk menyelesaikan urusan dengan diriku sendiri; bersiap dan memantaskan diri.
Sebenarnya waktu sebanyak itu tidak cukup, lagi-lagi karena urusan sedang jatuh
cinta yang membuat selalu kurang percaya diri dan berharap sempurna.
Benar saja. Begitu aku selesai
dan menghabiskan tambahan waktu sekitar sepuluh menit, dia telah menunggu di
depan pintu rumahku. Penampilannya tidak kalah santai denganku. Hanya dengan
tees abu-abu dan jeans biru. Saat bola mataku memandang ke belakang tubuhnya,
ke atas langit, ternyata saat ini keadaan alam tengah berbanding terbalik
dengan suasana hatiku. Cuaca yang begitu cerah kini menjadi kelabu. Tidak ada
lagi keluarga awan yang berarakan dan suara anak-anak kecil bersepeda, semua
telah menjauh karena satu hal; mendung. Dia menangkap raut wajahku yang ikut
kelabu dan berkata:
“Bolehkah aku masuk dulu, Nisya?”
Aku terkaget, mengangguk, dan
memberi dia celah untuk lewat. Lalu, kami berjalan dan duduk di sofa merah
ruang tengah. Mataku memandang lurus ke arah dapur, ke atas meja di mana telah ku persiapkan
remeh-temeh yang sedianya akan ku bawa ke taman hari ini. Dia mengikuti
pandanganku.
“Oh, rupanya kau sudah
repot-repot menyiapkan panganan,” dia tesenyum.
“Sudah, bila memang hari ini
cuaca tidak memberi kita izin untuk pergi, kita habiskan buatan tanganmu itu di
sini,” dia memainkan ujung rambutku yang ku ikat dengan rapih.
Tak lama, seperti yang sudah
ditandakan oleh alam. Hujan turun dengan derasnya. Membahasi seluruh
pemandangan yang dapat ku lihat dari jendela dan menumbulkan suara-suara berat
di atas genting. Di balik rasa kesal karena rencana yang gagal, entah mengapa
tiba-tiba aku merasa nyaman. Aku melemaskan tubuhku dan mencium bau tanah di
luar. Entah bau ini yang membuatku tenang, entah kehadiran Ryry di sisiku.
“Mengapa kau tersenyum?”
tanyanya.
“Hujan ini ternyata menenangkan.”
“……”
“Ku harap kau tidak terlalu
kecewa karena rencana kita yang terpaksa gagal hari ini.”
“Sudahlah Nona, bukankah tadi kau
yang memasang muka kesal?”
“Justru, sekarang aku berharap
hujan ini terus turun.”
“Ternyata, memang selalu ada dua
sisi. Layaknya kehidupan kita, selalu ada waktu yang menyenangkan dan waktu
yang menyedihkan. Namun, seperti apa kita menilainya, tergantung sudut pandang
kita.”
“Maksudnya…?” Ryry tampak
bingung.
“Mungkin tadi aku berpikir bahwa
hujan ini membuat kita tak jadi menghabiskan waktu bersama. Namun, justru saat
ini hujan membuat kau tertahan di sini, bersamaku, entah sampai kapan,”
jawabku.
Ku tahu Ryry dapat membaca isi
pikiranku sekarang. Lalu, badannya yang sedari tadi tegak karena bingung,
melemas diiringi senyum tipis, lalu kedua tangannya menarik tubuhku ke dalam
dekapannya.
“Dan aku akan menjadi tempatmu
berlindung sampai hujan itu berhenti, dan ketika kau ingin aku ada.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar