Perlahan, aku mengepalkan tangan siap mengetuk daun pintu,
namun kembali ku urungkan. Aku yakin dia berpikir bahwa kehadiranku di sini
untuk alasan yang dapat ditebak, namun apa dia bisa menerima kehadiranku
sebelum kecurigaannya lebih dahulu
menang. Akhirnya, ku ketuk pintunya beberapa kali. Ternyata, tidak terlalu lama
sampai terdengar suara langkah kaki mendekati pintu, disusul bunyi derit pelan,
dan akhirnya kami berdiri berhadapan. Walau sudah ku siapkan diri sebelumnya,
aku tetap memasang wajah setengah kikuk saat dia memandang mataku dengan tatapan
yang tak bisa ku tebak. Alisnya nampak naik dan bibirnya terkatup, tangannya
yang sedari tadi terletak di lehernya bahkan tak kunjung turun untuk sekadar
menyalamiku atau memberi gerakan selamat datang, entah dia kaget atau malas
dengan kedatanganku. Ya, wajar dia memasang tampang seperti itu, selain karena
masalah hati, mungkin aku pun telah mengganggu tidurnya.
“Hai, kau rupanya. Sepagi ini. Masuklah,” katanya sambil
membalikkan badan dan berjalan malas.
Aku mengikutinya masuk ke sebuah ruangan yang dari sana
dapat dilihat sebuah taman kecil. Taman yang ditumbuhi sebuah pohon besar dan
ada sisa kerangka rumah kayu di atasnya.
Taman yang dilengkapi dua ring basket, namun yang satu pun telah dimakan
usia. Ingatanku secara otomatis terputar pada beberapa cerita yang telah lalu. Cerita
tentang sebuah rumah yang nyaman dan hangat. Rumah yang memiliki taman kecil
dengan rumah pohon dan lapangan basket. Taman kecil tempat sepasang sahabat kecil
bermain sepanjang waktu, tertawa bersama dan terkadang bertengkar. Ya, Nisya
beberapa kali pernah mengisahkannya padaku dengan binar-binar kebahagiaan yang
tak dapat ditutupi.
“Apa yang membawamu ke mari? Ini, minumlah,” dia
menghentikan lamunanku.
“Sudahlah, kamu pikir aku meracunimu dengan minuman ini,”
Aku tertawa pelan, lalu meraih segelas besar hot chocolate yang dia tawarkan. Nisya pernah
bercerita kalau ini minuman favorit mereka berdua saat bersama. Aku menyesap
cairannya saat dia duduk menyusul di sebelahku. Beberapa detik tercipta
keheningan sebelum aku membuka mulut.
“Ku pikir, kau akan langsung memukulku begitu tau aku yang
mengetuk pintu rumahmu sepagi ini.”
“Untuk apa?” Dia
tertawa. Tanpa menjawab pertanyaannya aku berkata:
“Hmm, akhir-akhir ini Nisya bercerita kalau engkau sulit
ditemui atau bahkan sekadar menghubunginya. Kenapa?”
Eda hanya memandang ke dalam gelas besarnya dan meminum
isinya sebelum benar-benar menjawab pertanyaanku.
“Sebenarnya, kau tidak perlu khawatir, begitupun Nisya. Aku
sudah mengatakan padanya, aku akan menemuinya saat aku siap.”
“Siap?”
“Ya, saat aku benar-benar menerima bahwa dia kini
sepenuhnya milikmu.”
“Aku tau apa masalahmu, tap di balik semuanya, kau tetap
sahabatnya, bukan?”
“Selalu! Aku selalu jadi sahabatnya, dan karena itu aku harus
tau porsiku, hanya saja kau pasti tau rasanya kehilangan.”
“Ya, aku harap kau bisa menerima hal ini, tidak membenciku, atau bahkan membuat dia khawatir.”
Dia memandang ke arahku dengan tatapan yang lebih tenang. Di
sini aku makin yakin dia tidak akan memukul atau meracuniku karena cemburu.
“Aku berusaha. Berusaha bisa menerima hal ini, berusaha
tidak membencimu, dan berusaha membuat Nisya tak khawatir. Terima kasih kau
peduli”
Lalu, imajinasiku kembali pada sepasang sahabat kecil yang berlarian di sebuah taman kecil. Mereka akhrinya dibawa oleh waktu ke sebuah kenyataan yang baru.
Siang itu, ku tinggalkan rumahnya dengan perasaan yang
saling berlawanan. Tenang karena tahu dia tak memberi respons yang sebelumnya
ku khawatirkan, namun merasa bersalah karena keinginanku akan seorang perempuan
membuatnya justru tak bisa meraih apa yang ia inginkan, bahkan mungkin tak akan
pernah bisa selama aku ingin Nisya tetap menjadi punyaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar