Malam kesekian di musim panas. Kali
ini aku duduk sendiri di Hyde Park, menunggu. Kami janji untuk bertemu setelah
urusannya selesai. Kulihat sisi kanan dan kiriku, tidak terlalu ramai di sini. Udara
juga sangat bersahabat, tak ada rasa dingin ataupun angin yang mengigilkan
badan. Aku membenarkan ikatan rambutku, melepas syal yang kugunakan karena
udara menghangat, lalu mengangkat kedua kakiku ke atas bangku kayu panjang yang
kududuki. Posisi yang sangat nyaman mengingat tujuanku kesini selain menunggu
juga untuk “bermain” dengan hobiku. Kebetulan teman-teman lama mengajak bertemu
secara online malam ini. Aku membuka layar laptop dan tak lama pikiranku telah
tenggelam dalam tulisanku, juga masih menunggu dia di sini. Sebuah sapaan
muncul dalam kotak Yahoo Messanger. Salah seorang teman
dekatku.
Hi, Nad. Sibuk?
Just lil bit. Aku juga sedang menunggu seseorang di sini.
Lelaki yang tinggal di dapan kamarmu itu?
Pembicaraan kami tentang dia
bukanlah yang pertama. Bahkan, aku telah bercerita bagaimana dia masih setengah
terpuruk dalam keinginan dan pengharapannya atas seseorang di masa lalu. Seseorang
yang baginya sangat berarti. Dia tak bisa melepas semuanya semudah meniupkan
tumpukan debu. Saat ini, keputusannya untuk memutar arah dan menjalani hal yang
baru bersamaku mungkin hanya sebuah kesepakatan yang terlalu berani, atau
terkesan sembarangan. Ya, kami hanya mencoba. Tak ada salahnya dalam kata “mencoba”.
Aku pun datang dari sebuah kegagalan.
Kau berpikir dia akan menikmati hidupnya dengan cara yang kalian
bentuk?
Kami tidak tahu. Tapi berusaha ke sana.
Lalu, bagaimana kalau akhirnya dia tak berhasil “pindah”?
Risiko
Kau pun belum sepenuhnya “pulih”, aku tau
Lalu, kau pikir aku salah saat ini?
Hmm, hanya terkesan seperti mencari pengalihan
Tidak. Namun, kami akan melanjutkan apa yang kami mulai
Tampaknya kau harus berpikir ulang, dan meyakinkan diri…
Aku menghela nafas berat. Senang saat
beberapa orang peduli akan dirimu, tapi terkadang mereka yang peduli justru
membuatmu sulit untuk mempertimbangkan suatu hal. Apa aku salah? Pikiran itu
kembali mengitari otakku. Bukankah setiap orang boleh mengikuti kata hati? Aku yang
mempermudah, tapi mereka memperberat. Tiba-tiba sepasang tangan memeluk
pinggang dan leherku dari belakang. Panas napasnya berhembus di atas tengkukku,
membuatku merasa tidak sendiri lagi.
“Berapa lama aku terlambat?” Tanya
Eda.
“Tidak terlambat sampai kau
sendiri yang mengingatkan.” Jawabku.
Aku berbalik dan memeluk tubuhnya
erat. Mencari ketenangan atas kegelisahan yang sebelumnya tercipta.
“kita hanya beberapa jam
berpisah. Begitu rindukah kau padaku?” Tanyanya mengejek.
Dengan anggukan, tanpa kata
terucap dari bibirku, aku menjawab pertanyaannya. Sebenarnya lebih dari semua
rasa itu, aku sedang menguatkan diri sendiri. Juga meyakinkan diri, bahwa aku sungguh telah
menyayanginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar