Benar seperti perkiraan, aku tiba pada jam di saat kemacetan pasti masih meraja. Beda dengan di sana yang bercuaca hangat, di kota ini, pukul 9 sudah terasa sangat panas, mungkin di atas 30⁰ Celcius. Aku membenarkan posisi kacamata hitamku dan menarik travel bag kecilku menuju pintu keluar bandara. Kulihat beberapa manusia ramai berlalu-lalang, sibuk tanpa mempedulikan satu sama lain. Betapa aku sudah lama kehilangan suasana seperti ini. Beberapa yang lainnya tampak menjemput orang yang mereka tunggu, sedangkan aku tak akan memperoleh perlakuan yang sama, bukankah aku tidak memberitahukan kepulanganku pada siapa pun, termasuk padanya.
Sebuah taksi berwarna kuning terang bersedia mengantarkanku ke rumah. Taksi ini mengingatkanku akan tempat di mana aku tinggal saat ini. Di sana, sebagian besar taksi juga berwarna kuning terang seperti ini. Sepanjang perjalanan, kususun kembali kenangan-kenangan akan kota ini. Sebuah sejarah panjang yang dimulai sejak aku masih kecil dan akhirnya meninggalkan kota ini, lalu kembali lagi ke sini.
Kudorong tubuhku sendiri memasuki
rumah. Di ruang tengah, kusempatkan memandang ke arah jendela besar yang
mengarah ke taman kecil di luar dengan pohon besar dan rumah kayu tua di
atasnya. Entah sudah berapa lama kutinggalkan semuanya, seperti ada rindu yang
terlalu kuat dan asing. Kenangan masa kecilku kembali berputar. Lalu, tiba-tiba
muncul keberanianku untuk meraih ponsel dan menghubungi sebuah nomor.
“Hai, kau rindu padaku?”
“Tunggu! Biar aku tebak siapa
ini.” Jawab suara di ujung sana.
Aku menunggu suara itu
melanjutkan kata-katanya. Suara yang tidak akan pernah berhenti membuatku
nyaman, sejak dulu.
“Ahhh, kapan kau tiba? Mengapa tidak
mengabari kami? Sungguh aku . . . . menunggu hari ini, Da.”
“Bagaimana kabarmu? Ryry? Nisya kecil-ku?”
Tanyaku lagi.
“Semua baik, selalu baik, dan
tidak pernah sebaik ini.” Lanjut Nisya.
“Itu yang kuharapkan.”
“Lalu . . . . bisakah kau
menyempatkan waktu untuk menemui kami?”
“Kalau tidak keberatan, besok
kami yang akan datang ke sana.” Lanjutnya lagi.
Setelah kuhabiskan malamku
kembali di kota ini, aku terbangun pagi itu dengan peluh yang membasahi kaus
putihku. Mengapa tempat ini semakin panas saja? Sudah pukul 8, dua jam lagi dia
akan datang. Aku beranjak dan membenahi diri. Tampaknya cukup pula waktu untuk
mempersiapkan hati.
Beberapa ketukan yang kutunggu
terdengar dari pintu luar. Bergegas aku mendekati arah suara. Sebenarnya antara
siap dan tak siap. Namun, ada perasaan yang lebih kuat dari sekadar rasa sakit.
Dan, rasa itu membuat wajahku menghangat gembira saat kulihat sosoknya di balik
pintu. Seorang wanita yang sangat kurindukan. Tak menyangka akan bertemu
dengannya lagi. Kali ini dengan keadaan berbeda. Di sebelahnya, berdiri Ryry
yang tersenyum padaku. Lalu, dalam dekapan lelaki itu, sepasang mata bundar
menggemaskan menghiasi wajah cantik seorang gadis kecil. Lengkap dan bahagia,
meski tanpaku. Sebuah pelukan kemudian menyadarkanku.
“Kami merindukanmu, Eda. Bagaimana
London?” Tanya Nisya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar