Aku berkata setengah kaget karena tak kukira dia berdiri
tepat di depanku begitu aku membuka pintu rumah, sehingga aku hampir mencium dadanya.
Sekilas kurasakan wajahku menghangat karena bahagia.
“Mungkin terlalu telat untuk makan malam, tapi tidak untuk
secangkir kopi.”
Malam ini ia tampak lebih sedikit rapih; rambut panjangnya
yang kali ini diikat, blazer cokelat yang melapisi kaus putih favoritnya, sneakers, dan tidak lupa kacamata
bulatnya.
“Ayo, kita berangkat sekarang, bila kau tidak ingin pulang
lebih pagi.” Katanya asal diselingin dengan tawa yang tertahan.
Aku berjalan di samping kirinya, bersama melewati trotoar
sepanjang jalan menuju tempat kami akan mengahabiskan separuh sisa malam di
kota kecil ini. Hembusan tipis angin malam yang cukup dingin membawa wangi
tubuhnya masuk ke dalam indraku, kemudian berputar dalam otakku menjadi sebuah
titik, dan pecah menjadi beribu sari pati mimpi yang akan membuncah saat
tidurku nanti.
Begitu terduduk di hadapannya, seketika terdengar alunan
musik dengan unsur khas sinkopisasi dan blue note. Pilihan tempat yang lumayan
romantis, pikirku. Seperti membaca raut wajahku, dia menjelaskan:
“Ya, itu memang terdengar seperti jazz, namun lebih tepat
disebut bazzanova. Kamu pasti mendengar suara beberapa alat musik yang berbeda
di sini. Ada trombon, saksofon, dan bahkan terompet. Unik bukan?”
Terompet…
Pembicaraan kami terhenti sebentar oleh datangnya dua
cangkir kopi yang kami pesan. Kesan riang tergambar dari sudut matanya yang
terhalang lensa itu, uap-uap panas seakan tak menghalanginya untuk menciumi
aroma minuman favoritnya itu. Di sini kami menunggu detik-detik penting ini
mengubah perasaan kami masing-masing, entah ke arah yang sama atau berbeda. Dan
aku siap menunggunya, atau mendengar kisahnya di sisa malam ini.
Dia bercerita tentang musiknya, mimpinya, perjalanannya,
kemudian berceletuk bahwa beberapa lirik favoritnya cocok menjadi ide cerita
dalam tulisan-tulisanku kelak. Sudahlah, tidak kau beritahu pun aku selalu
menjadikan apa yang kau lakukan sebagai ide.
Malam itu tak pernah dingin selama bersamanya. Seperti saat
kami berjalan pulang, dia menggengam tanganku saat kami menyebrangi jalan, walau tidak lama sampai kami tiba di
ujung trotoar. Bahunya menyenggol lenganku, di depan pekarangan rumah ketika
kami akan berpisah.
“Makasiiihhhh, Nisya. Sudah bersedia pergi malam ini,
denganku.” Senyumnya tipis.
“Semoga kopi malam ini tidak membuatmu sulit tidur ya. Belum
terlalu larut kan untuk mengembalikanmu ke rumah?”
“Tidur larut justru membantuku menulis, Ry. Dan aku juga
senang malam ini bisa keluar sejenak, terima kasih.”
“Good night, semoga tidur nyenyak.” Beberapa detik dia
mengacak rambut di puncak kepalaku sebelum pergi.
Sambil menaiki tangga kayu untuk masuk ke rumah, aku
sempatkan diri melihat punggungnya yang perlahan menghilang tertutup kabut yang
mulai turun. Tangga kayu ini berderit ketika kakiku yang mulai terasa lelah menapakinya.
Aku menutup pintu dan naik ke kamarku. Meletakkan tubuhku, lalu memejamkan mata
untuk kembali bertemu Ryry, kali ini dalam ilustrasi tak nyata tentunya.
Selasa-02.00 A.M-Lantai dua, kamar Nisya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar