Di singgasana
kebesarannya, Ayah tampak gusar. Ibunda duduk di sebelahnya sambil menenangkan
Ayah, tak kalah gusar. Prajurit kebanggan Ayah, Lenox, berjalan cepat
menghampiri singgasana dengan cepat didampingi dua pengawal kepercayaannya.
Bila Ayah selaku pemimpin di kerajaan ini mengumpulkan orang seisi istananya,
pastilah ada hal besar yang akan terjadi. Baju kebesarannya berwarna keabuan,
seolah senada dengan kegelisahannya. Seketika Lenox langsung meletakkan lututnya
di lantai saat tiba di depan Ayah.
“Apa hal penting yang telah
membuat Raja mengumpulkan kami di sini?” Tanyanya.
”Pasukan yang dikirim Raja Troy
sudah mendekati daerah kita. Dalam waktu dua jam mungkin meraka sudah tiba di
sini.”
“Apakah kami harus segera
menyelamatkan penduduk ke tempat yang lebih aman, Raja?”
“Ya, usahakan dalam waktu satu
jam, utamakan wanita dan anak-anak, termasuk istriku dan puteriku.”
Aku memandang
Ayah dan Lenox bergantian. Tatapan kami bertemu di satu titik. Raja Troy
bukanlah seorang raja yang bijak. Otoriter dan kejam. Sayangnya, kerajaan yang
dipimpin Ayah harus memiliki permusuhan yang mendarah daging dengan Troy sejak
dulu. Lenox menyanggupi amanat ayah dan memerintahkan pada seluruh pasukan
untuk bergerak. Semua penduduk masuk ke ruang bawah tanah melewati lorong
menuju hilir sungai Vein. Aku sengaja menolak pergi lebih dahulu bersama ibu,
aku ingin menemuinya. Di ruang ganti,
para prajurit mengenakan pakaian perang dan menyiapkan senjata. Di sini, pun
aku ikut sibuk memakaikan baju kebesarannya, berlapis besi dan dipenuhi tali.
Dari cermin di depannya, aku menangkap rautnya yang tampak berat meninggalkan
orang yang ia sayangi, istrinya, aku. Namun, dia adalah prajurit kebanggan
Ayah, dan akan memberikan yang terbaik untuk Ayah.
Semua sudah
siap, kuda-kuda telah ramai meringkik seolah ikut merasakan semangat para
prajurit dan aroma bahaya dari kejauhan. Kuda terakhir, paling kuat dan
berwarna cokelat gelap, menunggu penunggangnya. Sementara dia, masih di gerbang
besar memeluk wajahku dengan dua tangannya. Kami sama-sama tahu bahwa setiap
saat masa seperti ini akan datang. Masa di mana kami harus rela dipermainkan
oleh harapan hidup dan mati dalam membela kerajaan. Begitupun saat Ayah
mengabulkan keinginan Lenox untuk menikahiku tiga tahun lalu, pada tanggal ini,
dan pada jam yang sama seperti malam ini. Dia mencium punggung tanganku dan
mengecup pelan bibirku sebelum menaiki kudanya.
“Doakan kami dan kerajaan ini.
Selamat peringatan tahun ketiga pernikahan kita, Puteri Viola. Aku
mencintaimu.”
Lalu, dengan
sekali aba-aba, dia memimpin ribuan pasukan menuju area mematikan. Aku hanya
bisa melambaikan sehelai kain di tangan kananku. Merasakan semangat yang sama
dengan mereka. Aku seolah hanya ingin di sini, menantinya pulang dengan luka di
pipi, namun dengan kemenangan yang nyata.
30 Second To Mars – This Is War
Tidak ada komentar:
Posting Komentar