Kau tertawa sambil terus mengaduk untuk cangkir yang lain.
“Sudahlah, aku tidak sepikun itu.” Jawabmu.
“Ya, setidaknya setelah tahun perak kita, sebelumnya kau
masih pelupa.”
“Ini, minumlah. Lagipula, pada tahun emas kita, kau masih
saja meminum kopi.”
“Aku tahu minuman ini tak baik untukku. Apalagi, lambungku
mulai tak bisa diajak kompromi. Tapi, aku menyukainya, setiap esapan
mengingatkan aku akan saat-saat terbaik kita.”
“Ya, dulu memang kita sering menghabiskan malam berdua,
dengan kopi dan kue jahe buatan ibuku. Tapi aku sudah tidak meminumnya
sekarang.”
Aku memegang sebelah kiri rongga perutku sambil meringis.
Dia menyadarinya dan membantuku duduk di kursi rotan favoritku.
“Lihatlah akibat kerasnya kepalamu.”
Aku tersenyum di balik sakit.
“Besok pagi kau boleh mengganti isi cangkirku. Memang
harusnya aku belajar sehat, bahkan Dani kita sudah dewasa sekarang.”
Bersamaan dengan itu, lelaki berumur di pertengahan 20-an
masuk menghampiri kami, dia mencium tanganku dan istriku bergantian.
“Jam berapa kau berangkat dari Makassar sehingga sepagi ini
sudah sampai di sini, Dani?” Tanyaku.
“Dengan pesawat paling awal. Aku rindu kalian, Kek, Nek. Selamat
ulang tahun perkawinan ke-50. Aku punya ini untuk kalian.” Katanya sambil
memakaikan sepasang syal hangat berwarna senada di leherku dan istriku
bergantian.
Sheila on 7 - Hingga Ujung Waktu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar