Dari aku di Ibu Kota, menulis untuk sebuah wilayah di
seberang pulau.
Sudah hampir tujuh tahun aku jauh. Tidak terlalu jauh bila
lama perjalanan kira-kira delapan jam dianggap sebentar. Sebuah perjalanan
darat sekaligus laut, hingga aku benar-benar menginjak tanahmu lagi.
Lahir dan besar di rengkuhan daratan ujung Sumatera yang
masyarakatnya heterogen dan mayoritas mencari hidup dengan berkebun. Itu aku.
Seorang anak keturunan Sumatera dan Banten, namun justru dianggap orang Lampung
asli karena sedari bayi sudah ada di sana. Itu kamu. Sebuah tempat yang menjadi
saksi aku tumbuh hingga aku tinggalkan.
Dulu, saat kecil, aku ingat selalu berlari-lari berkejaran
dan bermain dengan kawan-kawan saat sore datang. Di belakang rumahku, mengalir
sungai yang airnya kecokelatan. Gemericik alirannya merdu dan membuat rindu.
Kala siang, suaranya bisa membuat teduh. Kala malam, suaranya membuat nyaman.
Udaranya sejuk dan bahkan dingin saat malam, walau sekarang sudah tidak seperti
dulu. Langitnya gelap pekat hingga miliaran bintang bisa terlihat nyata, tidak
seperti di kota besar yang nyalanya karena lampu-lampu jalanan. Itu semua kamu.
Sekarang desa sudah berkembang menuju kota. Jalanan berbatu
menjadi aspal halus. Minimarket tumbuh berbalapan. Becak-becak dengan pengemudi
berpeluh berganti ojek dan angkot yang membuat jalanan pasar macet. Sungainya
semakin pekat. Siang sudah bukan hangat, tapi terik membuat dahaga. Tapi, aku
tetap rindu untuk kembali ke tanahmu lagi. Bagaimanapun karenamu aku tumbuh dan
menjadi sekarang. Cerita di tanahmu akan menjadi sejarah masa kecilku. Tempat yang
selalu membuat aku ingin pulang. Bertemu rumah induk semangku, keluargaku, dan
teman-teman lama yang selalu berbagi cerita. Itu semua kamu, ada di kamu.
Lampung, di ujung pulau Sumatera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar