Rabu, 23 Januari 2013

Chamomile Bumi


Teruntuk teman langitku

Halo gadisku, gadis di negeri asing, negeri bertanah empuk serba putih. Bagaimana harimu?

Hai, apa surat ini selamat sampai tujuannya? Aku was-was surat ini terlanjur rusak dihajar kilat atau diterpa hujan sebelum sampai ke tangan penerimanya. Tapi, aku kembali tenang mengingat semua suratku sebelumnya selalu kamu balas. Kecuali satu surat yang memang tak sampai, bukan karena hujan atau angin puyuh, namun karena ditangkap oleh anak-anak dari kawananmu yang mengira suratku sejenis burung kertas. Lalu, mereka memainkan dan merusaknya begitu saja. Untunglah kamu mengirim surat lebih dulu setelahnya.

Bagaimana makan siangmu hari ini? Apa dengan menu biskuit bulat dari ekstrak jahe langit atau dengan pie apel ungu yang selalu kamu bangga-banggakan itu. Kalau minumannya kamu pasti memilih jus bit dari kebun dewi Nirmala, tetanggamu itu. Sebenarnya aku sangat penasaran dengan semua panganan tersebut. Kamu pasti senang bukan kepalang, besar kepala bila aku mengatakannya. Di bawah sini, lagi-lagi aku harus makan siang dengan menu bubur gandum dan susu sapi dingin. Tapi, kamu pasti penasaran juga dengan menuku ini. Iya kan? Jadi, kapan kamu bisa turun dan masuk lewat cerobong asap rumahku?

Sore nanti, aku akan membantu Ayah mengambil rumput untuk panganan kuda-kuda kami. Mereka hanya makan rumput segar biasa. Pasti sangat berbeda dengan makanan pegasus-pegasus peliharaanmu. Mungkin mereka makan rumput berwarna emas atau justru biji gandum sepertiku. Aku menyempatkan pergi ke tanah lapang untuk menerbangkan suratmu ini. Kali ini cuaca memang serba biru dan putih. Begitu cerah hingga aku yakin surat ini akan hinggap dengan manisnya di atas kepalamu. Anginnya sangat sejuk dan tenang. Apa dewa-dewa peniup angin di atas sana habis menang berjudi hingga hati mereka sedang senang?

Aku rindu di atas sana. Mengingat kali pertama kita bertemu. Kamu yang sedang turun mencari bunga chamomile bumi tiba-tiba menangkap sosokku yang tergeletak pingsan di tanah ladang, pingsan, dan terluka parah karena diserang kuda-kuda liar hutan. Kamu membawaku ke negerimu. Bulu tengkuk pegasus adalah raja segala obat katamu. Setelah sadar dari tidurku, kamu mengajakku bekeliling negeri awan. Mengajakku berlarian di atas tanah empuk berwarna putih, tanpa takut terjatuh. Mengintip dari sela-sela awan ke bentangan birunya langit. Mendengarkan petuah bijak dari para dewa musim yang bersenandung dari balik sayap-sayap mereka yang mengembang. Lalu, menunjukkan pohon kacang raksasa yang menjalar hingga nyaris menyentuh bumi. Ingatan paling kuat yang melekat di otakku adalah saat kamu menari-nari lembut mengikuti irama yang dibawa angin yang bahkan aku sendiri tak dapat mendengarnya. Menari hingga menerbangkan ujung-ujung gaun putihmu dan menggoyangkan tiara kecil di atas rambutmu. Aku ingat semua detail keindahan yang ada dan mampu membuatku selalu merindukan negerimu.

Halo, gadis di atas awan, di negerimu yang damai dan penuh bahagia. Balaslah suratku ini segera. Aku menunggu tiap cerita yang akan kamu tuliskan. Aku harus segera ke kebun. Sekian suratku kali ini. Salam untuk para dewa musim dan jagalah diri.

Teman bumimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar