Pagi ini kamu tampak berantakan. Sebagian
baju seragam belum dimasukkan dengan rapi. Rambut yang masih separuh basah sedikit
menutupi kening. Bahkan, buku-buku pelajaran masih tergenggam di tanganmu,
belum sempat dimasukkan ke dalam tas. Pasti kamu hampir telat lagi. Lima menit
saja langkahmu diperlambat, maka gerbang sekolah akan ditutup. Pantas, aku
lihat napasmu tersenggal dan wajahmu memerah. Mengapa kamu tetap menarik?
Sikapmu, seperti biasa, selalu
ceriwis ketika ada pekerjaan rumah. Masih ada beberapa menit sebelum Pak Harjo,
guru Matematika, datang dan meminta tugas. Kamu yang pintar, tapi pemalas,
segera duduk di sampingku dan dengan menyebalkan menarik-menarik buku tugas
yang sedang aku simpan. Berjanji akan membelikan semangkuk mie ayam atau
sebatang cokelat almond kalau aku mau membagi jawaban. Mengapa aku selalu baik
padamu?
Angka-angka Trigonometri
terpampang di papan tulis. Istilah Sinus, Cosinus, dan Tangen memenuhi otak. Derajat-derajat
angka menghasilkan nominal lain. Dengan suara lantang sang guru berkata-kata. Semua
mata melihat ke depan, takluk. Aku tak perlu takut karena ini mata pelajaran
kesukaanku. Tapi, mengapa justru pikiranku tertuju padamu?
Tiba waktu makan siang, aku
bergegas berdiri namun kamu lebih dulu menahanku untuk pergi. Dengan raut manis
dan tatapan tajam kamu memperlihatkan barisan rapi gigi-gigi di balik senyummu
yang dengan kuatnya akan membuatku sulit terlelap malam nanti. Sepersekian detik
kamu memegang tanganku, menyentuh kulitku, terasa sampai ke naluri hingga
menyadarkan aku dari khayalan singkat. Wangi tubuhmu pada akhirnya membuat aku
terjatuh lebih larut dalam daya pikir imajiner. Mengapa aku begitu tergoda?
“Boleh aku bicara?” Katamu. Tentu
saja aku mengangguk, dengan cepatnya. Kembali terduduk di sampingmu dan sempat
mematung kalut. Kalut karena bahagia dan merasakan debaran unik. Bibirku
sedikit ragu memulai bicara karena terlalu banyak yang ingin dikatakan. Bicara saja.
Aku sudah terlanjur takjub dengan adanya kamu. Aku tak akan pergi, bahkan
berdiri. Aku pikir kita memang cocok. Berteman sejak lama dan saling bercerita.
Hingga kamu buka kata-kata itu. Mengapa kamu ternyata mencintai sahabatku?
Note: Maafkan aku yang (mungkin) sudah
merusak keadaan kita
Dear: Sahabatku, cinta pertamaku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar