Kisah hidup seorang anak perempuan
dengan kakak lelaki yang sudah menjadi teman bertengkar sejak kecil. Lalu,
berubah menjadi partner in crime
semenjak sama-sama beranjak dewasa.
Gue adalah seorang anak bungsu
dari lima bersaudara dengan dua orang kakak perempuan dan dua orang kakak
lelaki. Hubungan antara gue dan keempat kakak gue cukup dekat bagai terman
walau jarak di antara kami lumayan berjauhan. Jarak umur gue dan kakak pertama gue
adalah 17 tahun dan jarak dengan kakak keempat adalah enam tahun. Ya, dia,
kakak keempat gue, seorang lelaki yang kini berumur 29 tahun, namun masih
menyisakan perilaku mudanya yang sedikit (mungkin sangat) disfungsional.
Seorang kakak lelaki yang telah gue ceritakan pada paragraf pertama narasi ini.
Seorang kakak yang menjadi teman bertengkar, namun sekaligus partner in crime bagi gue. Bisa
dibilang, kami adalah pasangan kakak beradik yang sama-sama disfungsional.
Oh iya, kakak gue ini adalah
seorang anak lelaki yang sejak masa sekolah, terutama masa SMA, dikenal sangat
bandel, mulai dari tawuran dan harus dijemput oleh ayah ke kantor polisi,
hingga pulang sekolah dengan leher terluka oleh senjata tajam. Tapi, entah
mengapa, dia selalu menjadi teman yang cocok bagi gue. Berikut adalah beberapa
kisah yang gue rasakan sejak dulu bersamanya, beberapa kisah dari sekian banyak
tentunya. Kebaikan di balik kebandelannya. Kisah unik di balik sifatnya yang
keras dan pembangkang.
Suatu hari, Marta (nama sang
kakak), ingin pergi main basket bersama seorang temannya yang juga gue kenal
baik. Seorang lelaki tinggi dan manis yang umurnya lebih muda dari Marta. Saat
itu, hari menjelang sore dan mendung. Saat gue mengintip ke luar rumah untuk
mengecek apakah hujan sudah turun, gue melihat Marta sedang mengakat ummm…maaf...underwear koleksi gue yang sedang
dijemur. Padahal, saat itu dia sudah berpakaian olahraga lengkap. Dapat gue
tangkap isi pembicaraannya, seperti ini:
Marta : “Coba, kurang baik apa gue sama adek gue, celana
dalem aja gue angkatin.”
Sang teman : (Cuma duduk dengan cool,
sambil memandang Marta yang mengangkat setumpuk underwear).
Ternyata, di balik kelakuannya
yang sangat pembangkang, Marta memiliki kepedulian soal efisiensi waktu penjemuran
pakaian yang akan memakan waktu bila terkena air hujan kembali. Hmmm…
Di lain waktu, Marta berniat
menikah dengan pacarnya yang hanya berbeda umur satu tahun dengan gue. Kebetulan,
gue mengenal cukup baik calon istrinya ini dan gue sangat terkejut dengan
keputusan Marta untuk menikah dengan pacarnya yang saat itu baru berumur 18
tahun. Apalagi, gue mengenal Marta sebagai sesosok Player…
Gue : “Kak, lo yakin mau merid?”
Marta : “Iya, kenapa? Gue yakin kok bakal sayang dan tanggung jawab sama
istri gue ini nanti.”
Gue : “Tapi, lo kan masih anak kecil (dalam artian
kekanak-kanakan).”
Marta : (Dengan enteng menjawab) “Gue anak kecil, tapi udah bisa bikin
anak kecil.”
Gue : “Hmmmm oke… (speechless)”
Satu hal lagi, hal yang tidak
dapat gue ubah dari Marta adalah sifatnya yang pemalas. Dia bahkan masih
‘bolong-bolong’ dalam hal ibadah sholat dan puasa. Saat bulan Ramadhan, gue
akan sangat terkesan bila dia berpuasa satu hari penuh. Keterlaluan memang.
Suatu hari, saat gue hendak makan siang di kantor, ada sebuah SMS darinya…
Marta : Sudah jadi beli notebook-nya
dek?
Gue : Nanti pulang ngantor kak. Kenapa?
Marta : Gak apa-apa, hati-hati ya nanti.
Gue : Iya. Lah lo gak shalat jumat kak?
Marta : Ini lagi ngisi khotbah kok.
Gue : (speechless)
Lain hari, kakak ipar gue, sedang
membereskan gudang di ruang bawah rumah kami. Kakak ipar gue ini memang dikenal
rajin dan berjiwa keibuan walau umurnya hanya beda satu tahun dari gue. sangat
mengimbangi sifat Marta yang cenderung ‘nyeleneh’ dan kadang kekanakan. Dalam
kegiatan bersih-bersih itu, kakak ipar gue menemukan sebuah koper milik Marta
saat dia masih kecil. Sebuah koper usang berwarna cokelat. Saat kakak ipar gue
hendak membuang koper tersebut, Marta melarangnya.
Istri : “Kopernya udah jelek, dibuang aja ya, Yah? Kalau gak
dikasihin aja sama orang.”
Marta : “Jangan! Jangan, Bu!”
Istri : “Kenapa? Udah gak kepake gini.”
Marta : “Buat nanti anak kita sudah gede mau ayah ajarin jadi mafia. Kan
butuh koper-koper gitu.”
Istri : (geleng-geleng).
Pernah pula suatu hari, kakak
ipar gue bercerita bahwa acap kali anaknya yang saat itu masih duduk di bangku Pre School atau Pendidikan Anak Usia
Dini menangis sebelum pergi ke sekolah. Tebak mengapa? Saat orangtua lain
memaksa anaknya untuk pergi tepat waktu dan sekolah dengan rajin, namun di sisi
lain si anak merasa malas, Marta justru membuat anaknya menangis karena hal
yang berlawanan. Sangat tidak masuk di akal, Marta justru melarang anaknya
pergi sekolah dengan alasan seperti ini:
Marta : “Ngapain masih kecil udah ngoyo pergi ke sekolah, nyantai aja
sekali-kali.”
(Dan di sisi lain, sang anak
meraung ingin pergi ke sekolah)
Lagi-lagi gue yang mendengar
cerita tersebut dari mulut kakak ipar gue hanya bisa… speechless…
Itulah beberapa kisah tentang
kakak lelaki gue, Marta. Dia yang selalu merebut makanan gue saat gue masih
kecil, hingga gue sempat menyembunyikan makanan di balik lipatan baju dalam
lemari pakaian. Marta yang pernah gue lempar dengan hiasan gelas kayu milik ibu
gue hingga mengenai kepalanya dan dia menangis. Marta yang gue tendang tulang
kering di kakinya saat gue kalah dalam adu argumen. Marta yang suka menentang
aturan sangat berbeda dengan gue yang cenderung menyukai sesuatu yang teratur,
namun terkadang dibuat malu dengan keteraturan itu sendiri. Gue cenderung
tertata, namun sering kali malu-maluin.
Ya, gue dan Marta sepertinya sama-sama seseorang yang disfungsional. berikut
adalah beberapa hasil dari ke-disfungsional-an gue:
Setiap pagi, saat duduk di bangku
SMA, gue berangkat pukul 7 pagi dengan menaiki kendaraan umum seperti ojek
untuk berangkat ke sekolah. Urutan kegiatan hendak berangkat sekolah sangat
terjadwal dan teratur dalam otak gue, namun entah mengapa suatu hari, urutan
itu teracak. Biasanya, sebelum berangkat sekolah, gue meminta izin kepada ayah gue
dengan mencium tangannya dan mengucapkan salam sebelum menutup pintu rumah,
lalu pergi ke luar gerbang untuk menghentikan ojek.
Pagi itu…
Gue : “Yah, Desi pergi dulu ya. (Mencium tangan) Assalamu’alaikum.”
(Ke luar rumah, menghentikan
ojek)
Saat ada sebuah motor ojek lewat,
gue menghentikannya…
Gue : (Begitu menaiki boncengan) “Bang, Assalamu’alaikum.”
Hah? Gue menyadari ucapan gue.
harusnya gue mengatakan: “Bang, jalan!” Untungnya, si abang ojek itu tidak
menyadari ucapan gue. Malu.
Lain pagi, lagi-lagi kisah dengan
tukang ojek…
Tukang ojek : (Begitu gue menaiki boncengan) “Sekarang
jam berapa ya neng?”
Gue : “Ke SMA XXXXX bang.”
Ops, lagi-lagi tidak nyambung
karena gue sudah terprogram untuk menjawab seperti itu setiap kali menaiki ojek
saat ingin berangkat sekolah.
Kejadian saat duduk di bangku SMP
juga pernah membuat gue malu di depan teman gue. saat itu, gue hendak pergi ke
kantor pos terdekat dengan sekolah saat waktu istirahat tiba. Seorang teman
mengantar. Gue termasuk tipe orang yang tidak mudah mengingat jalan atau
tempat, walaupun sudah pernah mendatangi kantor pos tersebut satu kali
sebelumnya.
Saat memasuki sebuah gedung yang
dituju…
Gue : (Melihat ke sekitar ruangan dengan perasaan agak
asing) “Mbak, beli perangko yang harga tiga ribu, dua biji ya.”
Penjaga : (Memandang agak heran) “Wah, Dek, kantor posnya di
gedung sebelah. Ini tempat bayar rekening telepon.”
Gue : (Malu) “Oh, makasih ya mbak. Pantes kok tadi
ngerasa kantornya agak berubah.”
Teman gue : “Bego, lo kan udah pernah ke kantor pos sekali. Malu-maluin
gue aja lo.”
Gue : (Ngeloyor).
Ternyata, banyak juga hal unik
dari sifat yang terlalu tertata. Bukan hanya keunikan dari sifat pembangkang
yang sering Marta buat. Kami adalah dua orang bersaudara yang memiliki sifat
bertolak belakang. Namun, kami sama-sama memiliki sisi ‘aneh’.
Semoga sifat-sifat kami ini
paling tidak dapat membuat orang sekitar kami sedikit terhibur, atau justru
kesal. Walau akhirnya membuat kami terlihat seperti badut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar