Hari ini, hari ke 25 di bulan Juni
tahun 2011. Di umurku yang menjelang 23 tahun pada bulan Desember esok,
merupakan tahun kelima aku meninggalkan tanah kelahiranku, oh lebih tepatnya
hampir lima tahun sejak aku memutuskan kuliah di Jakarta bulan Agustus tahun 2006.
Yah, kutinggalkan tanah kelahiranku di daerah Talang Padang, Lampung Selatan.
Sebuah wilayah kecil yang menjadi tempatku dibesarkan dengan berbagai momentum
penting dan berkesan.
Lampung sebenarnya menjadi daerah
tujuan tranmigrasi yang cukup diminati oleh penduduk Indonesia, terutama oleh
pendduduk di Provinsi Jawa. Mungkin karena Lampung terkenal kaya akan sumber
daya alam, seperti hasil perkebunan, pertanian, dan juga perikanan karena
sebagian besar wilayah Lampung bahkan belum terjamah atau masih berbentuk lahan
liar. Selain itu, banyak terdapat kawasan perairan di sana. Namun, hal tersebut tidak membuat tempat
itu bersuhu terlalu panas. Di daerahku sendiri, Talang Padang, bersuhu cukup
dingin, sehingga membuatku bisa bergulung dalam selimut tebal pada pukul 10
siang. Suatu hal yang pasti tidak akan bisa kulakukan saat di Jakarta, karena
pukul 6 pagi pun terkadang sudah terasa gerah. Menjadi daerah transmigrasi
membuat Lampung memiliki banyak kekayaan etnis, yaitu orang-orang dari bermacam
suku yang membuat kelompok di desa-desa tertentu, bahkan nama desa-desa
tersebut dapat mencirikan berasal dari mana suku yang mendiaminya. Misal, di
Lampung ada desa bernama Sinar Banten yang sebagian besar penduduknya bersuku
Banten, desa Sinar Semendo yang penduduknya bersuku Semendo (Semendo adalah
suku yang bermigrasi dari daerah Sumatera Selatan) atau desa bernama Wonoharjo
yang dari namanya dapat ditebak bahwa sebagian besar warganya bersuku Jawa.
Begitulah, sekilas cerita tentang
tanah kelahiranku. Ayah ibuku sendiri bukanlah orang Lampung asli. Ayah berasal
dari Banten, beliau datang ke Lampung saat ditugaskan sebagai Pegawai Negeri Sipil yang saat itu bernama
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), sedangkan ibuku berasal dari
Sumatera Selatan dan pindah ke Lampung karena sejak kecil keluarga ibu memang
tinggal di sana, lagi pula ibu juga berprofesi sebagai kepala sekolah sebuah
Sekolah Dasar di daerah Talang Padang, sehingga membuat dia terus tinggal di
sana, sampai akhir hayatnya.
Sejak lahir hingga Sekolah Menengah
Atas, aku tinggal di Lampung. Saat aku duduk di kelas satu Sekolah Menengah
Pertama tempat aku dan keempat kakakku yang lain bersekolah, semester akhir
menjelang kenaikan ke kelas dua, ibuku pergi meninggalkanku untuk selamanya karena
penyakit Leukimia yang dideritanya. Kedekatanku dengan ibu dan kesegananku
terhadap ayahku yang sangat disiplin, bahkan termasuk kolot dalam mendidik
anaknya, membuat aku berkeinginan pindah sekolah ke daerah Serang, Banten, ke
tempat kakak tertuaku tinggal dengan keluarga kecilnya. Keinginan ini
sebenarnya sudah muncul sejak lama, saat ibuku masih ada. Aku tertarik untuk
sekolah dan tinggal di Serang karena kupikir di sana lebih maju dan memiliki
lebih banyak fasilitas dibanding kampungku. Namun, sebelumnya ayah ibuku tidak
pernah mengizinkanku pergi ke sana, mungkin karena saat itu aku masih terlalu
kecil. Setelah kepergian ibuku, entah mengapa ayah memperbolehkan aku tinggal
di Serang. Mungkin karena pengaruh kakakku juga yang membujuknya. Akhirnya,aku
menghabiskan masa Sekolah Menengah
Pertama di sebuah sekolah di sana dan tinggal bersama kakakku selama kurang
lebih dua tahun lamanya. Ya, aku memang merasakan apa yang ingin kurasakan.
Pergi sekolah dengan angkutan umum bersama gerombolan teman-temang sekolahku,
bermain ke mall terdekat saat pulang sekolah, berolahraga ke stadion-stadion
olahraga bagus yang ada di kota tersebut, dan fasilitas lainnya yang seharusnya
membuatku betah, tetapi ternyata tidak. Ketidakbetahanku bukan karena keadaan
kota yang tidak mendukung, tetapi hanya karena aku merindukan tanah kelahiran
dan keluargaku di sana, juga teman-teman lamaku sejak kecil. Hal itu yang
membuatku memutuskan kembali ke Lampung untuk melanjutkan pendidikan di jenjang
Sekolah Menengah Atas.
Kembali ke tanah kelahiran sejak dua
tahun kutinggalkan memunculkan begitu banyak rasa dalam diriku. Aku memang
masih merasakan nikmatnya tinggal di kota berkembang seperti Serang, namun
ternyata aku menyukai tempat tinggalku sejak kecil. Aku tahu di rumah sudah
tidak ada sosok ibu yang menemani, hanya tersisa banyak kenangan dalam rumah
dan kamarnya yang membuatku selalu ingat padanya. Toh, aku masih memiliki ayah
yang semakin terlihat menyayangiku sejak kepergian ibu. Ayah tidak pernah menikah
lagi karena lebih menyayangi anak-anaknya dibanding dirinya sendiri. Aku pun
masih memiliki dua kakak lelaki yang sudah besar dan selalu menjadi teman
bercerita atau justru menjadi partner in
crime. Inilah tempatku seharusnya, tempat aku terjatuh saat berlarian bersama
teman-teman sekolah hingga membuat ibu harus membawaku ke dokter karena luka
yang tercipta cukup parah, tempat di mana aku menangis karena bertengkar dengan
kakak lelakiku hanya karena berebut makanan, tempat aku pertama kali mengagumi
sosok lelaki temanku saat duduk di bangku Sekolah Dasar, tempat aku dimarahi
ayah karena pulang sekolah terlampu telat, tempat aku menemani ibu berbelanja
ke pasar tradisional dan pulang dengan menaiki becak, tempat aku melihat sungai
kecoklatan yang mengalir tepat di belakang rumahku, tempat di mana aku pulang
sekolah dengan berjalan kaki tanpa harus menaiki kendaraan umum atau pergi
bermain ke mall, termasuk tempat di mana akhirnya aku menemukan sosok yang aku
sukai selama empat tahun terakhir.
Selepas lulus SMA, aku memutuskan
untuk berkuliah ke Jakarta. Melalui sebuah tes bertaraf nasional, akhirnya aku
dapat lolos menjadi mahasiswi sebuah universitas negeri di Jakarta. Sebelumnya
aku juga mendaftar untuk masuk di universitas di daerah Lampung, namun aku
justru mendapat jalan untuk berkuliah di ibu kota. Ayah, aku harus
meninggalkannya. Ayah yang sejak kepergian ibu telah berubah menjadi sosok yang
sangat berbeda. Menjadi sosok ayah sekaligus ibu. Dia memintaku untuk pulang
sesering mungkin agar dapat melihat keadaanku. Ya ayah, aku pun akan selalu
merindukan wangi minyak gosok yang selalu tercium dari tanganmu saat kucium
setiap habis shalat atau sebelum pergi sekolah. Aku pun akan selalu merindukan
tanah ini. Udaranya, masyarakatnya, suara air sungai yang mengalir di belakang
rumah, langit malamnya yang selalu dipenuhi bintang, bahkan bunyi pengeras
suara masjid di dekat rumahku. Apapun yang tersisa dari desa ini akan membuatku
pulang kampung kapan pun aku bisa.
Momen di mana aku pasti pulang adalah
saat mudik lebaran. Saat yang selalu aku nantikan. Keluarga besarku akan
berkumpul di rumah induk semang kami. Rumah yang sudah cukup tua, namun sarat
akan banyak kenangan. Kenangan saat aku dibesarkan di desa ini. Desa yang
hampir semua warganya saling menegur saat bertemu. Pekerjaan ayah dan ibu
sebagai PNS dan guru membuat mereka banyak dikenal orang, sehingga ke manapun
kami berjalan, banyak orang yang sekedar menegur atau menyapa. Saat lebaran
tiba, aku dan keluarga besar selalu menjalankan ibadah sholat ied di sebuah
lapangan bola yang cukup dikenal warga di sana. Dapat kulihat, semua orang
dengan suku berbeda berkumpul di sana saat sholat ied. Semakin saja aku
mencintai tempat ini. Setelah sholat kami akan saling mengunjungi rumah kerabat
yang menyediakan berbagai macam makanan tradisonal hingga modern. Ini merupakan
momen yang tidak pernah terlupakan dari desaku. Begitupun dengan sifat kedaerah
yang masih cukup kuat. Orang-orang di sana masih menggunakan bahasa daerah mereka
masing-masing dalam percakapan sehari-hari. Bahkan, terkadang seseorang dari
sebuah suku dapat berbicara dengan bahasa suku lain dengan cukup lancar, semua
itu karena mereka tinggal dan bergaul dengan siapa saja tanpa memandang
perbedaan suku atau mungkin agama. Ayahku mengenal banyak orang yang menjadi
jemaah di sebuah masjid tempat ayahku biasa beribadah, namun ayah juga bersahabat
dengan seorang pemilik toko hasil bumi yang bersuku cina. Di sekolah,
teman-temanku adalah orang dengan suku beragam yang masih sering menggunakan
bahasa ibu mereka saat bercakap. Hal tersebut membuatku mengenal lebih dari
satu bahasa daerah walau aku tidak dapat menerapkannya secara lancar dalam
pergaulan sehari-hari. Hal ini juga menjadi tanda khusus dari tanah kelahiranku.
Ya, suku yang sangat beragam.
Sejarah yang membentuk kehidupan seseorang
di masa depan. Pernyataan itu juga berlaku bagiku. Semua yang kurasakan dan
menjadikanku seperti saat ini juga dipengaruhi oleh masa laluku, terutama
masa-masa saat aku tinggal di tanah kelahiranku. Walau tak dapat dipungkiri,
banyak juga hal di kota ini yang memengaruhiku. Tentu banyak sekali perbedaan
antara kehidupan di desaku dulu dengan tempatku tinggal saat ini. Di desaku,
orang-orangnya memiliki rasa saling menghormati yang lebih besar daripada
masyarakat kota. Individulisme di kota tentu lebih besar karena seriap orang
merasa perlu memburu apa yang mereka butuhkan. Mungkin semacam hedonisme. Di
desaku, bahkan saat ada pengumuman berita duka cita di masjid, orang-orang akan
menghantikan aktivitas atau pergi ke luar rumah hanya untuk mendengar berita
itu secara lebih jelas. Apa di kota akan ditemukan seperti hal seperti itu? Di
desa, orang akan meminta izin saat lewat di hadapanmu atau meminta maaf secara
sungguh-sungguh saat dia menginjak kakimu, sedangkan di kota, orang-orang yang
mengejar waktu tidak akan memperdulikan sekitarnya seperti itu. Di desa, setiap
malam aku masih bisa menikmati pemandangan alam raya seperti bintang atau
bulan, sedangkan di kota ini, semua terhalang oleh light pollution, sehingga hanya cahaya lampu kota yang dapat
memenuhi langit.
Aku yakin aku akan selalu pulang
selama aku bisa. Tidak hanya saat mudik lebaran tiba. Teman-teman sekolahku
saat ini sudah terpencar di berbagai tempat untuk melanjutkan kuliah atau
bekerja. Namun, kami selalu menyempatkan diri untuk berkumpul saat liburan
tiba. Mereka teman-teman dekatku saat Sekolah Menengah Atas. Teman-temanku
dengan suku yang beragam. Mereka juga yang selalu jadi alasan kerinduanku akan
kepulanganku ke kampung halaman.
Kepulanganku pada saat tahun pertamaku
di bangku kuliah, tepatnya pada tahun 2006 menjelang kenaikan ke semester
kedua, menjadi tahun terakhirku dengan ayah. Ayah meninggalkanku menyusul ibu.
Sempat ada kata-kata terlahir dari bibirnya yang selalu dialiri kalimat-kalimat
doa. Ayah yang sangat religius berkata di saat aku menyuapinya dalam sakitnya
yang cukup parah “Semoga kebaikanmu nak, membawa kamu ke surga.” Ayah, aku
harap pun begitu, suatu saat kita dapat bertemu di sana, juga dengan ibu.
Sungguh terasa berbeda keadaan yang terasa setelah kepergiaan ayah menyusul
ibu. Rumah induk semangku di desa, kini diurus oleh salah satu kakak lelakiku.
Namun, aku tidak pernah jera untuk pulang. Karena, desa itu telah memberi
banyak sejarah dalam hidupku. Aku merindukan desa itu selalu. Tempat di mana
aku dibesarkan oleh empat tangan manusia yang saat ini makamnya berdampingan. Karena
itu, aku akan selalu pulang ke desaku, menengok rumah abadi ayah dan ibu walau
hanya saat lebaran tiba.
Aku sudah terbiasa pulang kampung
seorang diri sejak duduk di tahun terakhir Sekolah Menengah Atas. Lagi pula, Lampung
tidak terlalu jauh dari Jakarta, 10 jam perjalanan sudah sampai. Bahkan, bisa
kurang dari itu bila perjalanan lancar. Aku akan melewati perjalanan darat
sekaligus menyebrang laut Selat Sunda. Kenangan yang selalu menyenangkan untuk
diingat adalah saat melewati perjalanan laut ini. Juga saat melewati lahan liar
yang belum disentuh tangan manusia atau jurang-jurang dangkal yang ditumbuhi
berbagai pepohonan. Lahan yang terlihat sangat subur hingga kepulanganku
baru-baru ini ke sana. Pemandangan hijau akan digantikan oleh kota yang semakin
berkembang saat aku memasuki daerah Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi.
Maskot provinsi, patung gajah yang sedang bermain sepak bola menghiasi air
mancur pusat kota. Bukankah Lampung terkenal dengan sekolah gajah Way Kambas
yang sampai saat ini belum pernah aku kunjungi sama sekali. Hamparan kain tapis
yang juga menjadi ciri khas dari Lampung menghiasi berbagai sudut jalan. Kain
tapis yang selalu dipakai dalam berbagai acara adat atau pernikahan, terutama
oleh suku asli Lampung sendiri. Kain berhias benang emas yang sangat indah. Selain
itu, akan tampak deretan toko penjual oleh-oleh khas Lampung, seperti keripik
pisang beraneka rasa dan kopi khas Lampung yang terkenal akan aroma dan rasanya
yang khas. Semua hal itu, akan kutemui dalam perjalanan pulang, pulang ke tanah
kelahiranku.
Selalu ada perasaan yang sama dan
pengalaman baru setiap kepulanganku. Perasaan yang membuatku selalu kembali ke
masa laluku di tempatku lahir. Rasa rindu akan segala hal yang ingin kutemui
kembali. Wangi udaranya, cuacanya, hangatnya selimut tebalku di kamar, bunyi
aliran sungai di belakang rumah, langit siangnya yang sangat biru, suara
gerbang kecil rumahku, suara anak-anak sekolah yang pulang bergerombol, hingga
suara penjual ikan yang melewati depan rumah. Sebenarnya, aku merindukan wangi
minyak angin di tangan ayah dan wangi baju ibuku, namun itu harus bisa aku abaikan.
Karena wangi dapat terhapus oleh waktu, hanya kenangan yang dapat abadi dalam
otakku.
Bulan ini sudah dua kali aku pulang.
Dua-duanya dalam waktu yang singkat untuk menyelesaikan suatu urusan bersama
keluargaku di sana. Kepulanganku bahkan mencuri waktu kerjaku. Kepulanganku
bahkan tidak membuatku menikmati desaku secara sungguh-sungguh karena
singkatnya waktu yang kumiliki. Ternyata, ada sedikit perubahan di desaku.
Bukan pada air sungainya yang masih kecoklatan, bukan juga pada kemeriahan
pasar tradisionalnya. Hanya saja, aku merasakan bahwa desaku ini sekarang sudah
agak terasa panas. Suhu udara yang mulai berubah, entah kenapa. Aku belum
melihat perubahan pada lahan liarnya. Ah, mungkin aku tidak melihat
perubahannya. Mungkin saat ini masyarakat di desaku sudah mulai mengembangkan
kehidupan mereka dengan cara mengubah lingkungan. Semoga tempat ini kelak tidak
menjadi Jakarta berikutnya. Yah, maksudku dalam perubahan alamnya, bukan pada
hal kemajuannya.
Sebesar apa pun keinginanku untuk
pergi mencoba tempat baru, jauh dari desaku, tidak tertutup kemungkinan bahwa
suatu hari hidup baruku akan dimulai kembali dari sana. Mungkin suatu saat aku
akan menemukan pekerjaan di sana atau menemukan masa depanku di sana. Menemukan
calon ayah dari anak-anakku kelak. Mungkin dia orang baru atau bahkan seseorang
yang pernah kukenal dulu. Mungkin aku tidak akan seperti kedua kakak
perempuanku yang tinggal jauh dari tempat kelahiran kami, namun justru
mengikuti jejak dua orang kakak lelakiku yang mendapat jodoh di sana, lalu
membentuk pasukan kecil keluarga mereka. Ya, saat ini aku akui belum ada
keinginanku untuk pulang dan menetap di sana, aku ingin melanjutkan hidupku di
kota ini dulu. Mencari apa yang belum aku dapatkan. Merasakan apa yang belum
pernah aku alami. Mendamba apa yang selalu tampak menarik bagiku. Namun, aku
yakin aku akan selalu kembali ke sana, ke tempat aku lahir dan dibesarkan oleh
empat tangan mulia yang kini makamnya berdampingan. Aku harus memastikan masa
depan itu, entah itu akan tercipta di sana dan akan kutemukan bagian-bagian yang
tercecer dari masa depan itu, yang kelak akan saling melengkapi. Memiliki
tempat untuk diingat adalah hal yang sangat menyenangkan. Oleh karena itu,
beruntunglah aku, seseorang yang memiliki kampung halaman.
lagi iseng iseng eh ketemu blog ini
BalasHapusceritanya keren
aku juga dari talpa, khususnya Jalanbaru :)