Aku menunggu kedatangan metro
yang akan membawaku pergi. Di sepanjang jalur, tampak banyak orang pun
melakukan hal yang sama, menunggu. Kebanyakan mereka bergerombolan atau
berpasang-pasangan. Ada juga para backpacker yang tertidur di lantai stasiun
London Underground System ini. Berbaris-baris dengan kantung tidur yang menjadi
alas dan tas-tas besar yang menumpuk di sisi kanan-kiri mereka. Tampak nyenyak
kelelahan dan tak memperdulikan keramaian.
Tak lama, metro yang kutunggu
datang. Kulangkahkan kakiku masuk melalui salah satu pintu dan duduk di tempat
kosong di depan seorang lelaki tua. Lelaki itu mengangguk-angguk karena kantuk,
sementara tangannya menggenggam sebuah surat kabar yang menampilkan halaman
utama tentang London Summer Festival di Hampton Court. Sebuah festival besar
yang sempat kudatangi sekita dua bulan lalu, bersamanya saat musim panas,
sekarang semua orang sudah mengenakan kembali mantel-mantel wol mereka untuk
menghalau udara lembab dan dingin. Karena sudah musim gugur di sini. Sementara,
metro yang kutumpangin terus berjalan menembus sinar-sinar lampu yang
berpenjar, mengantarkanku ke bandara Heathrow. Tak tahu kapan akan kutemui lagi
semua hal di sini.
Hawa dingin, ras kaukasian, metro
yang sunyi, dedaunan yang mulai berjatuhan ke tanah, wangi hamburger dari
pedagang-pedagang sepanjang jalan, dan orang-orang yang berjalan cepat. Semuanya
kususun menjadi memori tersendiri dalam otakku sebelum kutinggalkan tempat ini.
Kini, aku berada di terminal V bandara. Aku melihat sebuah cafetaria di salah
satu sudut. Tak sakit namun keraba pelipisku. Mengingat sebuah kenangan yang masih
tersimpan erat. Di sanalah aku menemukan bagian takdirku. Urutan-urutan mulai
dari; aku menemukan visa tertinggal, melihat seorang gadis dengan dua orang
polisi yang sedang adu mulut, pulang ke Indonesia, kembali ke London dan
menemukan suatu kebetulan bahwa gadis itu tinggal serumah denganku, London
Summer Festival, surat dari Middlesbrough, pesan chat setiap malam, dan sebuah e-mail balasan dari Indonesia, semua menambah
berat langkahku. Namun, seperti janjiku pada Nadia bahwa aku akan mengambil
langkah, maka setengah jam kemudian aku telah berada di atas pesawat yang akan
membawaku ke suatu tempat. Kesenderkan kepala ke atas kursiku, memejamkan mata,
dan berusaha menenangkan diri sendiri bahwa semua akan berjalan sesuai rencana.
Sudah mulai gelap ketika kutiba. Memandang
ke sekeliling dan aku tau bahwa keadaan di sini tak jauh berbeda dengan London.
Merasa lelah, aku duduk sambil meluruskan kaki di sebuah kursi besi. Kuraih
ponsel menghubungi seseorang.
Aku sudah sampai tujuan.
Oh, syukurlah. Aku senang kan dapat mengambil keputusanmu dengan
berani. Sekarang, temui dia.
Ya, terima kasih, Nisya.
Kuletakkan kembali ponselku ke
dalam saku kananku, dan meraih sebuah benda bulat di saku kiriku. Kubuka tutupnya
dan berpendarlah cahaya tipis dari benda berwarna emas. Aku tersenyum
untuk menghilangkan gemetar. Baiklah. Mari selesaikan apa yang harus
diselesaikan, apa pun itu hasilnya.
Berjalan keluar bandara,
kuhentikan taksi, menyebutkan sebuah alamat, dan meninggalkan tempat itu. Sebuah
papan besar berwarna perak seakan menyambutku. Middlesbrough Airport.
Re: .....
Dari: Eda
Kepada: Nisya
Sent: Monday, August 18, 07.02 P.M
Tentu saja bukan aku bila
se-ringan kau (Just kidding). Menurutmu, bagaimana dengan pergi ke Middlesbrough
dan menemui Nadia. Mungkin dengan membawa sebuah cincin, lalu mengajaknya
pulang ke Indonesia. Kau pun ingin melihatnya kan? Tentu saja, bila nasib mengizinkanku, maka aku tak akan gagal.
Re: ......
Dari: Nisya
Kepada: Eda
Sent: Monday, August 18, 04.13 P.M
Sent: Monday, August 18, 04.13 P.M
Apa maksudmu dengan pulang ke
Indonesia? Bukan seperti Eda yang kukenal. Ayolah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar