Bila aku berkata apakah aku boleh kembali dan menemuimu, maka itu
dengan membawanya dan mengenalkannya padamu.
Dan, mungkin nasib akan membawaku untuk memenuhi janjiku padamu bahwa
kita akan kembali bertemu saat kita sudah menemukan kebahagiaan kita masing-masing.
Sepertinya, tiga pernyataan itu
terus-menerus kuingat dalam kepalaku untuk meyakinkan bahwa hari ini aku telah
menang. Tiga kalimat itu seolah lebih penting untuk kuikrarkan dibanding
janji-janji terlontar yang bergaung di pagi itu, janjiku pada Nadia di salah
satu hari bersejarah dalam hidup kami. Mataku memandang ke sekelilingku. Pernahkah
aku membayangkan saat ini akan datang? Pernah, ya mungkin pernah. Tapi dulu,
saat aku belum menemukan Nadia. Bayangan bahwa aku akan bersama dengan
seseorang yang pada akhirnya tak memilihku, kecuali untuk menjadi sahabat
sejatinya. Dia yang telah mengajarkan bahwa masih ada yang harus kucari, selain
dirinya. Dia yang sekarang memberiku selamat. Dia yang datang bersama lelakinya
dan gadis kecilnya yang sudah pandai berbicara. Nisya memelukku dan Nadia bergantian.
Tampak setetes air mata di ujung matanya. Air mata kebanggaan karena aku telah
memenuhi janji kami, untuk bahagia. Sementara Nadia terlihat sangat cantik
dengan gaun merah bernuansa keemasan yang dikenakannya hari ini. Bunga-bunga
merah terlihat dari berbagai sudut. Aku pun menyentuh kemeja berwarna senada yang
terbalut tuksedo.
“Apa kau tahu sesuatu, Nad?”
Tanyaku.
“Apa?”
“Aku bahagia.”
Dia tersenyum dibalik bibirnya
yang berlapis lipstick berwarna
terang, namun tak memandangku.
“Mungkin tak akan sebahagia ini
andai yang telah kita lalui terlalu mudah.” Jawabnya.
“Dan andai kita tidak saling
menguatkan.”
“Atau bila kita tak pernah merasa ingin
menyerah.”
“Bisa ini disebut kemenangan?”
“Tidak. Selama masih ada hal lain
yang akan kita mulai setelah hari ini.”
“Oh ya, aku lupa! Ini hanya
sebuah titik awal.” Jawabku.
Sontak aku memeluk tubuh Nadia,
walau tanpa aba-aba dari siapa pun, kecuali dari dalam diriku sendiri.
“Me love you.”
“Aku tahu.”
“Selama ini aku merasa bosan
karena hanya menemukan aku sebagai diriku saja, aku butuh untuk dimiliki.”
“Maka, jadilah milikku selamanya.”
Jawab Nadia menutup romantika dalam dekapanku.
Sebenarnya terlalu sederhana bila
dibandingkan dengan yang telah kami lalui. Selayaknya hanya sebagai perayaan,
maka hari ini tidak akan berarti apa-apa bila telah berakhir. Hal yang lebih
menyenangkan adalah peristiwa-peristiwa yang telah mengantar kami sampai pada
hari ini. Keterpurukan dalam kisah lama, keberanian untuk memulai, jarak,
keraguan, dan apa pun itu. Tiba-tiba Ryry memanggilku.
“Hei, ada yang ingin berbicara
dengamu.” Katanya sambil menyerahkan sebuah ponsel.
Selamat berbahagia. Maaf kami tidak bisa datang. Echi pun sangat
menyesal tak dapat datang ke hari penting adiknya sendiri. Kata Argi di
seberang sana.
Karena kau terlalu sibuk, huh?
Ya, mungkin minggu depan kami akan ke Indonesia. Sampaikan salam kami
untuk Nadia, dan Nisya tentu saja.
Baiklah. Apa kabar di sana?
Kau sudah melewatkan musim dingin. Its summer again here. Kapan kembali
ke sini?
Segera
Aku menutup telepon dan membisiki
Nadia.
“Kau berminat pada kisah Hunchback
of Notre Dame dalam teater di Old Royal Naval College?”
“Dalam festival musim panas lagi?
Ke London?” kata Nadia sumringah.
“Ya, musim di mana kita bertemu.”
Jawabku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar