Bila mendengar kata "pahlawan" kebanyakan dari
kita akan berpikir tentang orang-orang yang berjuang di medan perang untuk
memperjuangkan hak bersama atau mempertahankan integritas bangsa. Pahlawan
memang identik dengan usaha mewujudkan kemerdekaan atas penindasan apa pun itu,
baik penjajahan, pembodohan, atau pembatasan hak mutlak individu. Kini, tentu
makna pahlawan telah mengalami perluasan seiring dengan perkembangan zaman.
Kita yang sudah dihadiahi kemerdekaan oleh para pendahulu tentu saja tinggal
menikmati hasilnya. Negara merdeka, pengakuan dunia, dan bahkan kerja sama
menguntungkan dengan negara-negara yang pernah menjajah sebelumnya. Namun,
bukan berarti istilah pahlawan hanya dapat disandang oleh orang-orang yang
berperang pada masa dulu. Justru sekarang, kita dapat melebarkan maknanya,
bahkan menjadi pahlawan itu sendiri tanpa harus berperang melawan kebatilan.
Dulu, para pemuda harus memanjat hotel Yamato, Surabaya, untuk merobek bagian biru pada bendera Belanda agar menjadi sang saka merah putih mahakarya Ibu Fatmawati. Dulu, harus ada W. S. Mallaby yang terbunuh hingga menjadi pencetus pertempuran pribumi dan pihak penjajah. Dulu, harus ada Soekarno-Hatta yang disembunyikan di Rengasdengklok demi untuk mewujudkan hari proklamasi. Dulu, harus ada 3,5 abad di bawah tindihan otoritas warga Belanda. Kita semua sekarang patut bersyukur tidak lagi hidup di masa itu. Namun, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, saat ini semua orang dapat menjadi pahlawan. Manusia tidak harus seperti tokoh Hiro Nakamura yang dapat menembus ruang dan waktu atau menjadi Peter Petrelli yang memiliki keabadian dalam serial Heroes. Serial yang menceritakan tentang orang-orang yang memiliki kekuatan tak biasa yang ditujukan untuk melindungi dunia dan masa depan. Tentu saja karena hal tersebut fiktif belaka dan karena definisi pahlawan di dunia modern sekarang ini justru lebih sederhana.
Dari sekian banyak definisi pahlawan, salah satu yang pernah saya dengar adalah bahwa pahlawan merupakan orang yang berani melakukan sesuatu hal di saat yang lain tidak ingin. Tentu saja kita bisa menyetujui pendapat ini atau mencetuskan opini lain. Kita pun tentu memiliki pahlawan masing-masing. Mungkin itu ibu, guru, atau siapa pun. Lalu, apa makna bahwa "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa"?
Tanda jasa. Sebuah benda atau keabsahan yang diberikan badan tertentu kepada orang yang berpengaruh. Guru? Mereka adalah orang-orang yang menghabiskan hampir seluruh masa hidupnya untuk belajar agar dapat mengajar. Menyumbangkan ilmu dan berbagi pengalaman. Mereka rela menempuh pendidikan untuk akhirnya mendidik. Belajar mengajar bagi mereka adalah semangat sekaligus hasrat hidup. Bahkan, seseorang pernah berkata pada saya bahwa terdapat dua profesi yang akan sangat dihormati walau oleh orang yang memiliki jabatan di atas kita. Dua profesi itu adalah dokter dan guru. Tidak heran tentunya. Siapa yang tidak membutuhkan seorang guru sejak ia kecil bahkan sampai dewasa. Long life education. Walau pendidikan tidak hanya secara formal, namun tidak dipungkiri bahwa pendidikan formal dengan peran guru di dalamnya seolah menjadi kebutuhan pokok setiap manusia. Ilmu yang diberikan guru dapat menjadi bekal hidup bagi kita. Membuat kita siap terjun ke masyarakat. Membuka mata akan hal yang sebelumnya buram, bahkan hitam. Mengantarkan kita ke pintu gerbang dunia yang lebih luas. Bahkan sejak kita diajar hal terkecil, yaitu membaca dan menghitung. Sejak saat itu pintu dunia seolah terbuka lebih lebar bagi kita.
Keberadaan guru sebagai seorang pahlawan kadang masih diragukan oleh sebagian orang. Mengapa? Karena totalitas guru sekarang dan terdahulu sudah berbeda. Dulu, tidak perlu sesulit saat ini bila hendak menjadi seorang guru. Setiap orang yang memiliki kemampuan dan kemauan dapat terjun menjadi pendidik. Terlebih lagi saat Indonesia masih dalam masa penjajahan dan saat baru saja merdeka. Sulit untuk mencari sumber daya manusia yang benar-benar mau menyumbangkan kemampuannya sebagai guru. Sekarang, harus ada beberapa kriteria tertentu yang dipenuhi seseorang agar dia dapat menjadi guru.
Dulu, para pemuda harus memanjat hotel Yamato, Surabaya, untuk merobek bagian biru pada bendera Belanda agar menjadi sang saka merah putih mahakarya Ibu Fatmawati. Dulu, harus ada W. S. Mallaby yang terbunuh hingga menjadi pencetus pertempuran pribumi dan pihak penjajah. Dulu, harus ada Soekarno-Hatta yang disembunyikan di Rengasdengklok demi untuk mewujudkan hari proklamasi. Dulu, harus ada 3,5 abad di bawah tindihan otoritas warga Belanda. Kita semua sekarang patut bersyukur tidak lagi hidup di masa itu. Namun, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, saat ini semua orang dapat menjadi pahlawan. Manusia tidak harus seperti tokoh Hiro Nakamura yang dapat menembus ruang dan waktu atau menjadi Peter Petrelli yang memiliki keabadian dalam serial Heroes. Serial yang menceritakan tentang orang-orang yang memiliki kekuatan tak biasa yang ditujukan untuk melindungi dunia dan masa depan. Tentu saja karena hal tersebut fiktif belaka dan karena definisi pahlawan di dunia modern sekarang ini justru lebih sederhana.
Dari sekian banyak definisi pahlawan, salah satu yang pernah saya dengar adalah bahwa pahlawan merupakan orang yang berani melakukan sesuatu hal di saat yang lain tidak ingin. Tentu saja kita bisa menyetujui pendapat ini atau mencetuskan opini lain. Kita pun tentu memiliki pahlawan masing-masing. Mungkin itu ibu, guru, atau siapa pun. Lalu, apa makna bahwa "Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa"?
Tanda jasa. Sebuah benda atau keabsahan yang diberikan badan tertentu kepada orang yang berpengaruh. Guru? Mereka adalah orang-orang yang menghabiskan hampir seluruh masa hidupnya untuk belajar agar dapat mengajar. Menyumbangkan ilmu dan berbagi pengalaman. Mereka rela menempuh pendidikan untuk akhirnya mendidik. Belajar mengajar bagi mereka adalah semangat sekaligus hasrat hidup. Bahkan, seseorang pernah berkata pada saya bahwa terdapat dua profesi yang akan sangat dihormati walau oleh orang yang memiliki jabatan di atas kita. Dua profesi itu adalah dokter dan guru. Tidak heran tentunya. Siapa yang tidak membutuhkan seorang guru sejak ia kecil bahkan sampai dewasa. Long life education. Walau pendidikan tidak hanya secara formal, namun tidak dipungkiri bahwa pendidikan formal dengan peran guru di dalamnya seolah menjadi kebutuhan pokok setiap manusia. Ilmu yang diberikan guru dapat menjadi bekal hidup bagi kita. Membuat kita siap terjun ke masyarakat. Membuka mata akan hal yang sebelumnya buram, bahkan hitam. Mengantarkan kita ke pintu gerbang dunia yang lebih luas. Bahkan sejak kita diajar hal terkecil, yaitu membaca dan menghitung. Sejak saat itu pintu dunia seolah terbuka lebih lebar bagi kita.
Keberadaan guru sebagai seorang pahlawan kadang masih diragukan oleh sebagian orang. Mengapa? Karena totalitas guru sekarang dan terdahulu sudah berbeda. Dulu, tidak perlu sesulit saat ini bila hendak menjadi seorang guru. Setiap orang yang memiliki kemampuan dan kemauan dapat terjun menjadi pendidik. Terlebih lagi saat Indonesia masih dalam masa penjajahan dan saat baru saja merdeka. Sulit untuk mencari sumber daya manusia yang benar-benar mau menyumbangkan kemampuannya sebagai guru. Sekarang, harus ada beberapa kriteria tertentu yang dipenuhi seseorang agar dia dapat menjadi guru.
Dalam dunia perkuliahan salah satunya. Seorang calon guru
harus menuntut ilmu di universitas dengan jurusan kependidikan, sehingga saat
dia lulus dia akan mendapat sertifikat tertentu yang disebut Akta IV sebagai
modal untuk mengajar. Kabar terakhir yang saya dengar adalah bahwa sekarang
seorang lulusan pendidikan yang mendapat Akta IV pun harus kembali menempuh
pendidikan selama kurang lebih satu tahun untuk mendapat ilmu pengajaran. Bila
dibandingkan dengan masa sebelumnya, bukankah proses menjadi guru sekarang
lebih sulit? Mungkin program ini bertujuan membentuk tenaga yang benar-benar
berkualitas. Namun sayangnya hal ini membatasi orang-orang yang memiliki
kemauan dan kemampuan tapi tidak memiliki latar belakang yang cocok atau tidak
mampu menjalani proses yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pendidik.
Sulitnya perjalanan untuk menjadi seorang pendidik hendaknya
dapat diimbangi dengan kualitas yang baik mengenai pribadi pendidik. Namun, apa
yang akan kita katakan mengenai masih adanya tindak kekerasan yang dilakukan
guru terhadap muridnya di berbagi institusi? Padahal, dalam perkuliahan
pendidikan guru biasanya mendapat mata kuliah yang berkaitan dengan psikologi
anak didik. Bukankah seharusnya mereka memahami tata cara memperlakukan
pembelajar dengan ilmu mereka? Paling tidak, mereka bisa memposisikan diri
mereka sebagai orang tua murid yang menerima perlakuan kasar.
Dalam hal ini, memang tidak ada pemecahan yang mudah. Tidak bisa
dilakukan pengawasan terus-menerus terhadap tindak tanduk guru. Terkadang,
masalah ini baru diketahui saat sebuah kasus kekerasan sudah terjadi. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah
sosialisasi demi sosialisasi dari berbagai pihak dalam tiap kesempatan akan
pentingnya penerapan disiplin tanpa kekerasan. Sosialisasi ini dapat datang dari
guru lain atau kepala sekolah saat dilakukan pertemuan, seperti upacara dan
rapat guru. Selain itu, pemerintah melalui menteri pendidikan juga perlu
membuat suatu langkah pemecahan mengingat tindak kekerasan masih banyak
terjadi. Tindakan lain yang dapat dilakukan masyarakat adalah saling
mengingatkan agar selalu mengawasi anak-anak mereka apabila mendapat tindakan
tidak menyenangkan dari guru mereka agar mau segera melaporkan kepada keluarga.
Kita juga dapat menulis artikel bahkan buku mengenai masalah ini agar dapat
membantu membuka mata masyarakat, siapa pun itu, agar dapat mewujudkan
pendidikan yang bersih dari kekerasan.
Intinya, semua bagian masyarakat ternyata dapat membantu
menciptakan kondisi dan iklim pendidikan yang aman dan nyaman. Membantu mewujudkan
peran pendidik yang juga bersih dari tindakan sewenang-wenang terhadap anak
didiknya. Bukankah anak didik adalah calon pendidik bagi generasi berikutnya,
baik dalam keluarga atau masyarakat. Contoh yang diberikan tak pelik akan
mereka praktikan dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu ada baiknya kita,
khususnya para pendidik, memberikan contoh yang baik dalam proses pembelajaran. Hal ini perlu dilakukan karena sekali lagi guru adalah pahlawan (yang memang)
tanpa tanda jasa. Jasa mereka adalah kekal. Pemberian mereka adalah bekal. Ilmu
mereka adalah penyelamat bagi mereka sendiri. Berharga di dunia dan tabungan di
akhirat. Oleh karena itu, gelar sebagai pahlawan tak patut dikotori oleh
penilai buruk karena tindakan mereka yang tak patut terhadap anak didiknya. Semoga
akan masih banyak orang-orang yang menjadikan belajar dan mengajar sebagai
tujuan hidup mereka. Semoga masih ada pula orang-orang yang mampu membayar
kebaikan para guru dengan cara masing-masing. Terima kasih guruku, selamat hari
pahlawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar